Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Asa Pria Tua di Balik Kaus "Little Holland"

Kompas.com - 13/08/2013, 09:08 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis


SEMARANG, KOMPAS.com — Memperkenalkan Kota Semarang ke dunia adalah impian Hadi Setyawan. Dengan kreativitas dan semangat "anak muda", Hadi menjadikan Guikuiku, kaus oblong karyanya, kaca pembesar untuk melihat lebih dekat ibu kota Provinsi Jawa Tengah itu.

Ketika mengunjungi kiosnya di Jalan Pandanaran, Semarang, akhir Juli lalu, Kompas.com agar terkejut melihat sosok seorang Hadi Setyawan. Perawakannya tinggi, beruban, dan sudah sepuh.

"Banyak yang terkejut juga, ternyata yang punya Guikuiku itu kakek-kakek," kata Hadi, yang disusul dengan tawa.

Warak Ngendog hingga Little Holland

Ayah satu anak itu menuturkan, Guikuiku diambil dari namanya sendiri. Gui adalah marganya, Kui adalah nama panggilan Hadi, sementara Ku berarti aku. Harapannya, kaus itu merupakan persembahannya kepada tanah kelahirannya sendiri.

Desain kata atau simbol yang dituangkan di dalam kausnya itu, diakuinya, tidak sembarangan. Riset mendalam mesti dilakukannya terlebih dahulu. Dia kemudian mengambil dua kaus dari etalase untuk memberi contoh.

Satu bergambar Warak Ngendog dan satu bergambar bangunan lama dengan tulisan "Little Holland". Warak Ngendog adalah simbol Kota Semarang yang terdiri dari kepala naga, badan kuda dan, memiliki sayap burung burak.

Warak Ngendog adalah simbol kesucian hati seseorang. Biasanya ditampilkan dalam bentuk mainan jelang bulan Ramadhan. Warak Ngendok juga simbol akulturasi budaya, agama, etnis, dan golongan masyarakat Semarang.

Sementara itu, Little Holand adalah julukan bagi Kota Semarang, yang pada zaman penjajahan dipenuhi oleh orang Belanda. Hal itu dapat terlihat dari sisa-sisa bangunan antik berarsitektur Negeri Kincir Angin di kawasan Kota Lama, sebelah barat Kota Semarang.

"Saya enggak mau desainnya misalnya cuma I Love Semarang atau I Love SMG. Garing banget kalau kita impor itu. Harus ada sesuatu yang beda yang buat orang tahu dan cinta Semarang," ujarnya.

"Orang banyak terpaku dengan yang sudah ada. Misalnya bangunan Lawang Sewu, Kota Lama, padahal banyak hal menarik yang bisa digali dari sana, bisa memperkenalkan Semarang," lanjutnya.

Berbekal prinsip melihat Semarang dengan kacamata berbeda, Guikuiku kini telah memiliki lebih dari 30 desain, berkembang pesat dari beberapa desain saja pada saat ia mulai merintis usaha ini. "Sempat khawatir, apa simbol filosofis ini dapat diterima masyarakat. Tapi untungnya laku. Setiap tahun produksinya meningkat terus," ujarnya.

"Pensiunan ngapain cari perkara"

Perjalanan usaha produksi kaus Guikuiku, kenang Hadi, berawal dari masa pengujung kerjanya di salah satu perusahaan penyedia alat tulis di Semarang periode tahun 2000-an.

Hari sering mendapat bonus jalan-jalan ke mancanegara karena target penjualannya yang selalu tercapai. Dari perjalanannya itu dia selalu membawa oleh-oleh khas kota yang dia kunjungi. "Saya berpikir, di Semarang kok tampaknya tak ada barang yang benar-benar khas," kenangnya.

Ketika memasuki masa pensiun pada 2010, Hadi mulai mencari tahu kira-kira apa usaha yang mampu menemaninya menyusuri masa usianya yang sudah senja. Guikuiku-lah jawabannya. Dia menginvestasikan uang pensiunnya demi mengembangkan usaha itu dari hanya dari beberapa kaus, jadi ribuan kaus.

"Pertama anak nggak dukung. Dia bilang, orang pensiunan ngapain sih cari perkara. Saya kalau tidak boleh, malah penasaran. Sampai sekarang saja anak tak menyangka usaha ini jalan," ujar Hadi.

Kondisi saat inilah yang menjadi jawaban bagi keraguan Hadi ketika memulai usahanya. Kala itu dia merasa ragu, apakah jiwa muda yang terperangkap dalam usia senja mampu menaklukkan tantangan hidup.

Hadi mengaku sudah membuktikannya. Tua, tapi bisa meraih laba dan bahagia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com