"Jadi tidak serta-merta langsung nangkap orang tanpa melalui prosedur," ujar Jansen kepada wartawan Ade Mardiyati yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
"Polisi tidak akan melakukan upaya paksa kalau prosedur yang ada tidak dipatuhi oleh yang bersangkutan. Jika ada oknum polisi yang melakukan [penangkapan tanpa melalui prosedur], masyarakat bisa melaporkan ke Propam," tambahnya.
Baca juga: Perwira TNI yang Dilaporkan Selingkuh Ternyata Pernah Dihukum 8 Bulan Penjara karena KDRT
Ia kemudian menjelaskan bahwa dalam kasus yang terjadi pada Anandira bukan "penangkapan", melainkan "surat perintah membawa" karena yang bersangkutan, paparnya, tidak memenuhi panggilan penyidik.
Jansen menyebut saat menangkap Anandira dilakukan secara baik-baik. Bahkan, sempat ke rumahnya dan berdiskusi dengan orangtua Anandira.
Pasalnya, orangtua Anandira keberatan anaknya ditangkap dengan alasan memiliki balita yang masih menyusui sehingga mereka minta menunggu sampai kuasa hukumnya datang mendampingi.
"Kesan yang beredar kan dipolitisir, ditangkap, enggak ada [seperti itu]. Diajak baik-baik 'ayo kita lakukan pemeriksaan lebih lanjut kepada kamu karena mungkin dipanggil tidak mau hadir, apalagi posisi kamu di Jakarta jadi mempersulit'. Begitu kan?"
Baca juga: 2 Oknum TNI AL Diduga Aniaya Wartawan, Danlanal Ternate: Komandan Pos Akan Kami Copot
Pada Senin (8/4/2024), sambung Jansen, penyidik melakukan pemeriksaan terhadap Anandira dan selanjutnya dilakukan penahanan di ruang aman Kementerian Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak UPTD PPA Provinsi Bali.
Dalam kasus ini, kata dia, Anandira menjadi tersangka karena disebut melanggar UU ITE lantaran terbukti memviralkan sesuatu informasi yang diduga bohong atau hoaks dan yang masih harus melalui bukti-bukti yang akurat.
Adapun barang bukti yang dikantongi polisi adalah tangkapan layar dari unggahan di akun Instagram @ayoberanilaporkan6 dan keterangan dari para saksi dari pihak korban.
Selain Anandira, Polda Bali juga menetapkan pengelola akun Haris Sulistiyo sebagai tersangka.
Dalam perkara ini, polisi menjerat Anandira dengan sangkaan Pasal 48 ayat (1) Jo Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Pasal 32 ayat 1 berbunyi: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik."
Pakar hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, menyebut penggunaan Pasal 32 UU ITE untuk kasus seseorang yang membongkar perselingkuhan sangat janggal.
Sebab, pasal ini biasanya digunakan untuk kasus kejahatan serius yang berkaitan dengan pencurian data atau dokumen rahasia yang kemudian diubah atau dimanipulasi. Itu mengapa ancaman hukumannya delapan tahun penjara.
Baca juga: Saat Aktivis Lingkungan Karimunjawa Daniel Frits Dikriminalisasi dengan UU ITE
Direktur Eksekutif Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet), Nenden Sekar Arum, sependapat. Sepanjang pengamatannya, Pasal 32 sangat jarang dipakai untuk kasus-kasus begini.
Dulu, kata dia, biasanya pelapor atau polisi akan mengenakan Pasal 27 UU ITE tentang pencemaran nama baik kalau berkenaan dengan tuduhan atas suatu peristiwa, tapi akhirnya direvisi oleh DPR dan pemerintah karena dianggap bermasalah.
"Ini cukup cerdik [polisi] menggunakan pasal, biasanya pasal pencemaran nama baik. Tapi pasal ini sudah direvisi dan tidak berlaku lagi. Jadi cara atau pasal lain dipakai agar si ibu diam," ujar Nenden kepada BBC News Indonesia.
Karena itulah, menurut Nenden, pemakaian Pasal 32 terhadap Anandira bisa disebut sebagai "kriminalisasi".
Pasalnya, kalau betul Anandira mengunggah bukti-bukti dugaan perselingkuhan suaminya dengan perempuan lain maka bisa disebut sebagai bentuk ekspresi atas perasaannya-dan itu mestinya dilindungi.
Baca juga: Koalisi Save Karimunjawa Desak Aktivis Daniel Dibebaskan dari Jeratan UU ITE
Agustinus Pohan juga sepemikiran.
Perbuatan Anandira, menurutnya, bisa dikategorikan sebagai pembelaan diri yang wajar lantaran ada kepentingannya yang diserang oleh orang lain -dalam kasus ini diduga selingkuhan suaminya.
"Contohnya begini, saya mau dicopet karena ketahuan saya pukul tangan orang itu. Tindakan memukul melanggar aturan, tapi saya sedang membela diri. Maka wajar enggak kalau saya mau dicopet, orangnya saya pukul tangannya?"
"Berdasarkan norma sosial dan ukuran kepatutan, hal semacam itu wajar-wajar saja, maka itu dianggap pembelaan diri yang bisa dibenarkan," jelas Agustinus.
"Dalam kasus ini, apakah itu [mengunggah bukti-bukti dugaan perselingkuhan] bentuk pembelaan diri yang secara normal sosial merupakan hal yang bisa dibenarkan atau tidak dibenarkan?"
"Rasanya kalau dari 10 orang yang ngomong, sembilan orang di antaranya akan mengatakan itu suatu bentuk pembelaan yang wajar."
Baca juga: Kronologi Eks Casis Bintara Asal Nias Dibunuh Oknum TNI AL, Jasad Dibuang ke Jurang 1,5 Tahun Lalu