Agustinus Pohan pun mempersoalkan tindakan Polda Bali yang menahan Anandira yang saat itu memiliki seorang balita menyusui.
Jika merujuk pada ancaman pidana yang termual di Pasal 32 UU ITE yakni di atas lima tahun, maka secara normatif polisi bisa melakukan penahanan.
Hanya saja, ada syarat atau pertimbangan lain bagi polisi memutuskan apakah akan melakukan penahanan atau tidak. Misalnya, ada indikasi melarikan diri, mengulangi perbuatannya, atau merusak barang bukti.
Dalam kasus Anandira, kekhawatiran tersebut tidak berdasar. Apalagi ada pertimbangan dia memiliki anak.
"Jadi di mana urgensi untuk melakukan penahanan ibu ini?"
"Bahkan dalam kejahatan-kejahatan yang serius sering kali penahanan tidak dilakukan," ujarnya merujuk pada sejumlah tersangka seperti Firli Bahuri yang tak kunjung ditahan.
Baca juga: KDRT di Magelang, Istri Dianiaya Suami, 2 Anaknya Histeris
Karenanya, Agustinus Pohan menilai kasus ini tidak layak diteruskan. Sebab, tindakan Anandira bisa dilihat sebagai bentuk pembelaan diri yang wajar dalam mempertahankan rumah tangganya.
Tinggal bagaimana polisi, menurutnya, melihat peristiwa ini apakah wajar atau tidak. Kalau wajar, klaimnya maka perbuatan tersebut "menjadi benar, bukan dimaafkan".
Salah satu contoh kasus pembelaan diri yang kasusnya dihentikan Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah peristiwa pembunuhan dua orang tersangka begal yang dilakukan oleh korban berinisial AS di Lombok Tengah pada tahun 2022.
Korban AS sempat dijerat dengan pasal pembunuhan setelah menewaskan pelaku begal yang menyerangkan. Kasus ini mendapat perhatian besar dari masyarakat dan Menko Polhukam kala itu Mahfud MD.
Baca juga: Aniaya Istri, Pria di Nunukan Kirim Rekaman KDRT ke Kakak Ipar
Namun, terlepas dari itu, Direktur Eksekutif Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet), Nenden Sekar Arum, khawatir kalau polisi meneruskan kasus ini ke pengadilan maka bakal "ditiru" oleh pihak lain untuk tujuan mengkriminalisasi orang-orang.
"Makanya setelah Pasal 27 direvisi, orang-orang yang punya niat mengkriminalisasi mengakali pengunaan pasal lain yang masih cukup longgar atau karet."
"Dan kayaknya Pasal 32 ini menjadi salah satu kasus menarik dan kalau terbukti di pengadilan bisa menjadi contoh bagaimana UU ITE tetap bisa digunakan sebagai alat kriminalisasi."
Dalam perkembangan terbaru, penahanan Anandira telah ditangguhkan berdasarkan permohonan kuasa hukum dan sebagai jaminan orangtuanya pada Selasa (9/4/2024).
Selanjutnya penyidik Polda Bali melakukan penangguhan dan melepaskan Anandira pada Sabtu (13/4/2024).
Pengacara Anandira, Agustinus Nahak, menyebut kasus kliennya terkesan dipaksakan.
"Kenapa dipaksa? Ini kan berhubungan dengan UU ITE. Kalau yang menyebarkan berita hoaks, meng-upload identitas orang itu kan pelakunya harus dihukum.
Baca juga: Kisah Supiati Jadi Korban KDRT hingga Disekap di Kandang Sapi, Kini Minta Suami Dibebaskan
"Kalau Anandira sendiri turut sertanya di mana? Dia sendiri melarang kepada akun itu [untuk mengunggah kasusnya]. Dia hanya memberikan kuasa kepada kantor hukum, dia juga meminta pendampingan secara sah kepada kantor hukum. Dosanya di mana?"
Agustinus berkata, saat ini pihaknya tengah mengupayakan agar status tersangka terhadap Anandira dihapus.
Untuk itu, upaya hukum yang akan dilakukan adalah melalui pra-peradilan.
Selain juga, akan terus mengupayakan agar dalam kasus ini pihaknya diberikan kesempatan untuk melakukan restorative justice (RJ) atau proses penyelesaian suatu masalah secara bersama-sama yang melibatkan semua pihak yang dalam pelanggaran tertentu.
"Kasus ITE itu kan banyak yang penyelesaiannya [ditempuh] secara damai. Restorative justice itu juga harus kita gunakan. Ini kan tidak diberikan kesempatan untuk melakukan RJ. Tidak dipertemukan, tidak ada surat panggilan, [hanya] penetapan langsung ditangkap dan ditahan," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.