Dia menambahkan, majelis hakim sudah mempertimbangkan tuntutan secara materil maupun pemenuhan unsur-unsur pasal dakwakan.
“Itu yang kita apresiasi dari putusan itu. Intinya apa yang kami dakwakan sudah dipertimbangkan majelis hakim sehingga terbukti dakwakan satu yang dibacakan majelis hakim,“ katanya.
Namun, putusan itu mendapat penolakan dari beberapa kelompok masyarakat yang hadir di persidangan. Usai vonis dibacakan terdengar teriakan “bebaskan Daniel“.
Daniel lalu terlihat memeluk orang tuanya dan berkata, "[Perjuangan] kita tidak berhenti di sini".
Ayah Daniel yang bernama Harry Luntungan Tangkilisan mengatakan, “Kalau kita kalah sekarang, anak cucu kita kalah, Karimun kalah. Bebaskan Daniel. Save Karimunjawa,“ ujarnya.
Di luar persidangan, beberapa kelompok masyarakat melakukan aksi demonstrasi meminta Daniel untuk dibebaskan.
Salah satunya adalah Lafi'i, 58 tahun, seorang nelayan yang rela tidak melaut selama tiga bulan demi mengawal kasus Daniel.
Baca juga: Iluni UI Bantu Pembelaan Hukum untuk Aktivis Karimunjawa yang Ditangkap Polisi Terkait UU ITE
Lafi’i mengaku dia dan puluhan warga Karimunjawa merasa terpanggil atas kasus yang dia sebut kriminialisasi yang dialami Daniel.
Dia pun mengaku sangat kecewa dengan putusan hakim.
“Saya kecewa berat karena masalah seperti itu bisa divonis tujuh bulan,“ kata Lafi’i, yang tergabung dalam perkumpulan Lingkar Juang Karimunjawa.
Lafi’i mengatakan, Daniel adalah sosok yang berkontribusi besar dalam pelestarian lingkungan di Karimunjawa.
“Saya rela bolak balik Karimunjawa - Jepara karena Daniel memberikan pengalaman dan pembelajaran mengenai pelestarian lingkungan Karimunjawa dan menyadarkan mengenai kerusakaan alam Karimunjawa,“ katanya.
Sebagai nelayan, Lafi’i mengaku bahwa tambak udang di Karimunjawa telah mencemari lingkungan.
Aktivitas itu, ujarnya, telah menyebabkan terumbu karang rusak, budidaya rumput laut dan ikan masyarakat tercemar.
Lebih dari itu, katanya, limbah tambak udang juga membuat gatal-gatal pada kulit, bahkan menciptakan gesekan sosial antar-masyarakat.
“Dan sampai sekarang masih aktif pencemaran dan tambaknya masih beraktivitas,“ keluhnya.
Selain Daniel, rangkaian jeratan hukum juga dihadapi oleh sekelompok masyarakat yang peduli dengan lingkungan di berbagai daerah, seperti yang dialami Sorbatua Siallagan, petani di IKN, dan warga Rempang.
Raynaldo melihat, aparat penegak hukum baik polisi dan jaksa dapat dengan mudah memproses kasus pidana yang dikategorikan sebagai Anti-SLAPP.
Padahal, ujarnya, terdapat aturan yang melindungi masyarakat dalam memperjuangkan lingkungan, yaitu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup dan juga Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Baca juga: Pasal Sebar Hoaks yang Bikin Onar Dihapus, Kontras Harap Bisa Tekan Kriminalisasi Aktivis
"Selain itu, regulasi kita, KUHAP, memberikan kewenangan yang mudah kepada aparat penegak hukum melakukan upaya-upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, pengeledahan dan lainnya untuk kasus HAM dan lingkungan. Ini bisa mengancam kebebasan sipil setiap orang,“ katanya.
Untuk itu, kata Raynaldo, perlu adanya mekanisme penyaringan yang ketat di awal proses hukum dalam kasus-kasus yang bernuansa Anti-SLAPP, baik dilakukan oleh hakim komisaris atau hakim pemeriksa.
“Jadi kalau ada upaya paksa, harus ada izin dari otoritas lainnya. Izin diperlukan dalam rangka proses-proses HAM. Saya tidak setuju kalau ada yang mengatakan, kan nanti ada mekanisme koreksi melalui pra-peradilan, masalahnya pra-peradilan sering kali masyarakat sudah ditahan dulu,“ tambahnya.
Terakhir, menurut Raynaldo, adalah pemahaman aparat penegak hukum tentang perlindungan HAM dan lingkungan yang belum cukup memadai.
Baca juga: Mahasiswa, Dosen dan Aktivis di Sumbar Demo Minta DPR Gunakan Hak Angket
Dia mencontohkan, sering kali aparat penegak hukum memaknai norma-norma hukum hanya dari yang tertulis saja, bukan sebagai satu kesatuan.
“Misalnya dia hanya melihat yang tertulis di UU ITE saja, atau UU Minerba saja. Padahal normanya tidak seperti itu.
"Perintangan dalam UU Minerba itu dimaksudkan ke konflik kepentingan antarkorporasi, bukan untuk masyarakat yang memperjuangkan kebebasan berekspresinya. Begitu juga UU ITE, yang dilihat harusnya dalam konteks hate side, bukan hate speech,” katanya.