SAMARINDA, KOMPAS.com - Polisi melayangkan surat panggilan kepada Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa - Keluarga Mahasiswa (BEM - KM) Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Abdul Muhammad Rachim karena mengkritik Wakil Presiden Maruf Amin sebagai patung istana.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda menilai panggilan itu sebagai bentuk kriminalisasi dan membungkam kritikan.
"Postingan (unggahan poster patung istana) oleh BEM itu menurut kami bagian kebebasan berpendapat. Banyak interpretasi dari kata patung, itu sebuah kritik," ungkap Direktur LBH Samarinda Fathul Huda Wiyashadi dalam wawancara pers daring, Rabu (10/11/2021).
Baca juga: Sebut Wapres Patung Istana, Presiden BEM Unmul Diperiksa Polisi
Menurut Fathul, polisi tidak punya basis teori yang kuat menjelaskan bahwa istilah patung istana yang disematkan ke Wapres sebagai sebuah hinaan ataupun merendahkan martabat Wapres.
"Karena itu kami minta polisi (Polresta Samarinda) segera hentikan penyelidikan," tegas Fathul.
Sementara, akademisi dari Fakultas Hukum Unmul, Herdiansyah Hamzah menilai istilah patung istana yang dilontarkan BEM Unmul merupakan bentuk kalimat metaforik bernada kritik dan sedikit sarkastik.
Metafora, kata dia, adalah gaya bahasa tingkat tinggi yang mencerminkan tingkat intelektualitas seseorang.
Baca juga: Unmul Minta Unggahan Wapres Patung Istana Dihapus, Presiden BEM: Kami Tidak Akan Hapus
Sedang, sarkasme serupa kata-kata pedas, atau ejekan yang biasanya dibungkus dengan perumpamaan dan sedikit humor.
"Dan dalam tradisi kritik, selain satire dan sinisme, sarkasme juga kerap digunakan untuk mengekspresikan rasa kesal dan amarah. Dan dalam kapasitas pejabat publik, sarkasme itu adalah hal yang lumrah," kata Herdiansyah yang juga dosen Fakultas Hukum Unmul.
Karena itu, dengan polisi memproses kritikan BEM sama saja mematikan kecerdasan mahasiswa dalam melontarkan kritikan.