KOMPAS.com - Gencarnya pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) , yang diklaim sebagai kota “inklusif”, justru membuat masyarakat asli “merasa diusir dan disingkirkan” dari tanah mereka. Meskipun di sisi lain, IKN juga menjadi "magnet ekonomi baru" bagi mereka yang ingin mengadu nasib.
BBC News Indonesia mengunjungi IKN pada pertengahan Februari lalu dan berbincang dengan warga sekitar soal bagaimana megaproyek ambisi Presiden Joko Widodo ini telah berdampak bagi kehidupan mereka.
“Di sini mau jadi kota, kalau kami mau diusir sama saja. Ndak melihat kami kota itu,” kata Sukini, salah satu warga Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara.
Baca juga: Menuju Daerah Khusus, IKN Akan Menjadi Tandem Jakarta
Perempuan berusia 50 tahun itu mengaku tidak turut merasakan suka cita atas pembangunan IKN.
Desa tempat dia tinggal berhimpitan dengan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP). Selama ini, Desa Bumi Harapan dihuni oleh masyarakat keturunan Suku Balik, Suku Paser, serta transmigran.
Suara senada diutarakan oleh Syarariyah, 48, warga keturunan Suku Paser yang keluarganya telah tinggal turun temurun di wilayah itu.
Ketika kabar bahwa ibu kota negara akan pindah ke Penajam Paser Utara, Syarariyah dan suaminya termasuk yang turut menyambutnya. Namun perasaan itu telah berganti menjadi kekhawatiran karena disingkirkan.
“Katanya nanti di IKN ini ada teknologi canggihnya, pakai motor listrik, kami ingin lihatlah itu IKN bagaimana nantinya,” kata Syarariyah ketika ditemui BBC News Indonesia, Februari silam.
Baca juga: Keren, KTP Warga Argo Mulyo Sepaku Bakal Berubah Jadi KTP IKN
Persoalannya, kata Syarariyah, proses penawaran ganti rugi disampaikan kepada warga satu per satu sehingga mereka kesulitan menggalang kekuatan untuk memperjuangkan hak-haknya.
Terkadang, dia bahkan tidak tahu kapan tetangganya pindah.
Ada yang terpaksa menjauh dari IKN karena uang ganti rugi yang mereka terima tidak sebanding dengan kenaikan harga tanah yang drastis.
“Sedih lah, dijauhkan dari keluarga kita yang tadinya dekat bisa ngumpul, bisa tahu kabar, dan lagi orang tua juga jauh. Sedikit-sedikit masyarakat di sini sudah tersingkir dengan IKN ini,” ujar Syarariyah.
Baca juga: PT SMI Sebut Ada 6 Investor Akan Masuk ke IKN, Bakal Bangun Perumahan
Hal serupa terjadi pada Rini dan Hamidah.
Rini, perempuan keturunan Suku Paser berusia 26 tahun, kini hidup terpisah dengan keluarganya setelah pindah ke Batu Engau yang jaraknya sekitar sembilan jam perjalanan dari IKN.
Sedangkan Hamidah kini tinggal di wilayah Waru yang berjarak dua jam perjalanan dari IKN. Dia membeli rumah baru dari uang ganti rugi, lalu membuka warung untuk bertahan hidup.
Kehidupan Hamidah memang relatif membaik secara ekonomi setelah berbulan-bulan meninggalkan IKN. Itu dia upayakan sendiri tanpa pendampingan pemerintah.
“Saya diusir suruh pindah, dipindah itu ke mana? Ndak ditunjukkan,” kata Hamidah.
“Kalau memang disuruh, ‘Kamu bangun di situ lagi, ndak usah jauh-jauh’. Ya, aku bikinkan di situ kan. Itu ndak banyak ngomong, diam. Yang penting disuruh pindah, sudah.”
Pasalnya, janji-janji Otorita IKN untuk membangunkan kampung adat atau memberikan lahan untuk relokasi warga yang tergusur sampai ini belum tampak wujudnya.
Baca juga: Pekerja Konstruksi IKN Bakal Mudik Lebaran Pake Hercules