Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka yang Pergi dan Datang di Balik Kemegahan IKN

Kompas.com - 29/03/2024, 15:25 WIB
Rachmawati

Editor

 

Perkara ganti rugi di IKN ini telah memicu ketidakpuasan oleh sebagian warga yang terdampak.

Ada yang mengaku diganti rugi sebesar Rp300.000 per meter, bahkan ada pula yang Rp95.000 per meter.

Bahkan ada salah satu warga yang menerima ganti rugi sebesar Rp14.000 per meter.

Itu pula yang dikhawatirkan Syarariyah, warga Desa Bumi Harapan, akan menimpa dirinya. Syarariyah tidak memiliki sertifikat atas tanah yang ditinggali keluarganya turun temurun.

Dia ingin menjadi bagian dari IKN, tapi jika pemerintah hanya mengganti tanam tumbuh di atas lahannya saja, dia tidak yakin bisa mendapat tanah yang sepadan dengan yang dia tinggali saat ini.

Sebelum ada IKN, kata Syarariyah, harga tanah di wilayah ini dibandrol sekitar Rp20 juta hingga Rp30 juta per hektare.

Baca juga: IKN, Hotspot Keanekaragaman Hayati dengan Level Endemisitas Tinggi

Sementara sekarang, harga tanah di sekitar wilayah IKN sudah melambung menjadi jutaan rupiah per meter.

“Kalau dihargai segitu kan kami tidak bisa beli lagi di luar. Mau ditempatkan di mana kami kalau lahan kami diambil dan harganya murah? Mungkin kami dapat [tanah seluas] 10x15 meter saja," tutur Syarariyah.

"Sedangkan kami banyak anak, banyak keluarga. Sedangkan kami punya lahan yang begitu luas, yang kami bisa hidup bercocok tanam, bisa beternak."

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan ganti rugi yang tidak sepadan itu secara tidak langsung adalah bentuk penyingkiran bagi masyarakat. Apalagi tanpa dibarengi kebijakan yang memberi tempat bagi mereka di IKN.

"Otomatis mereka terpaksa membeli tanah yang jauh-jauh dari lokasi IKN. Otomatis itu kan penyingkiran. Makanya kami tidak mau masyarakat adat yang sudah turun temurun di sana tersingkir dari IKN karena mereka punya tempat di situ," kata Ketua AMAN Kalimantan Timur, Saiduani Nyuk.

Baca juga: Kembalikan Kejayaan Kalimantan, Pembangunan di IKN Harus Mengacu Rencana Induk Kehati

Rumah Sukini terletak persis di pinggir jalan raya yang menjadi akses kendaraan pengangkut material bangunanBBC/OKI BUDHI Rumah Sukini terletak persis di pinggir jalan raya yang menjadi akses kendaraan pengangkut material bangunan
AMAN juga menyoroti bahwa proses ganti rugi ini seakan tidak memberi ruang penolakan bagi masyarakat. Kalau masyarakat menolak, maka otoritas mengarahkan penyelesaiannya pada jalur pengadilan.

Padahal rata-rata masyarakat tidak melek hukum. Pada akhirnya, ada yang memilih pasrah menerima penawaran itu.

Dikutip dari Kompas.com, belasan warga sempat menggugat keberatan atas nilai ganti rugi yang diberikan tim apraisal dari Badan Pertanahan. Mereka merasa penilaian harga itu tidak adil.

Tetapi gugatan itu pada akhirnya ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Penajam Paser Utara.

Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia pada pertengahan Februari lalu, Sekretaris Otorita IKN Achmad Jaka Santos mengeklaim proses ganti rugi itu telah sesuai dengan ketentuan undang-undang mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

Baca juga: Siapa Dua Investor Malaysia yang Tertarik Bangun Apartemen di IKN?

"Pemerintah itu hanya melaksanakan, kalau tidak sepakat antara angka yang disiapkan oleh negara, rakyat boleh melakukan ke pengadilan. Makanya uangnya ditaruh dikonsignasi," jelas Jaka.

"Jadi kalau bicara harga berbeda bukan berarti tidak adil. Itu semua ada aturannya. Sejauh ini, sepanjang itu sesuai aturan, itulah yang disebut kepastian hukum. Kalau sesuai kemauan masing-masing, ya tidak akan ketemu," sambungnya.

Jaka juga mengeklaim akan ada wilayah-wilayah yang diperuntukkan untuk "pengakuan eksistensi masyarakat adat, serta tempat pembuktian pemberdayaan masyarakat adat".

Hanya saja, kewenangan Otorita sampai saat ini masih terbatas.

"Ada, nanti Insya Allah ada," kata Jaka, sambil menyinggung bahwa komitmen itu juga tertuang dalam Undang-Undang IKN.

Potret kemiskinan struktural di balik IKN

Lalu lalang truk pengangkut material bangunan membuat Desa Bumi Harapan menjadi berselimut debuBBC/OKI BUDHI Lalu lalang truk pengangkut material bangunan membuat Desa Bumi Harapan menjadi berselimut debu
Bagi yang masih tinggal di kawasan sekitar IKN pun, hidup pun sudah tidak lagi nyaman.

Jarak rumah Sukini hanya terpaut sekitar empat kilometer dari Istana Negara.

Sejak pembangunan gedung-gedung pemerintahan dimulai, Desa Bumi Harapan yang dulunya sepi dan dikelilingi tanaman hijau, kini berubah drastis.

Proyek pembangunan ini berkejaran dengan waktu karena Presiden Joko Widodo menargetkan akan mulai berkantor di IKN pada Juli 2024.

Setelah itu, upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2024 juga akan digelar di sana untuk pertama kalinya.

Truk-truk pengangkut material bangunan tidak pernah berhenti lalu lalang di jalan raya tepat di depan rumah Sukini. Akibatnya, kawasan itu menjadi berselimut debu.

Baca juga: IKN, Magnet yang Menarik Ekonomi dan Penduduk Keluar dari Jawa

“Setiap hari seperti ini. Capek saya melihat debu. Air minum pun ndak ada di sini bantuan. Saya sampai pakai air hujan itu, ndak ada bantuan dari IKN,” ujar Sukini.

Realita yang dihadapi Sukini sehari-hari begitu kontras dengan kemegahan IKN yang kerap ditampilkan di media sosial.

Bagi warga Desa Bumi Harapan, tidak ada lagi “udara segar” seperti yang dihirup Menteri Agraria dan Tata Ruang Agus Yudhoyono ketika bermalam di IKN bersama presiden dan pejabat lainnya pada akhir Februari lalu.

Di rumah Sukini, tidak ada dinding marmer, lampu hias, atau perangkat ‘smart home’ seperti yang terlihat di rumah menteri di IKN dalam video yang viral beberapa waktu lalu.

Rumah kayu seluas 20 meter persegi itu adalah peninggalan mendiang suaminya yang merupakan keturunan Suku Paser.

Baca juga: Kurun 2022-2024, Pembangunan IKN Telan APBN Rp 71,8 Triliun

Sukini tinggal bersama anak-anaknya di rumah peninggalan mendiang suaminyaBBC/OKI BUDHI Sukini tinggal bersama anak-anaknya di rumah peninggalan mendiang suaminya
Di situ lah Sukini berbagi ruang dengan anak-anaknya. Mereka cuma memiliki satu kasur, sehingga Sukini biasanya tidur di lantai beralas tikar. Di salah satu sudut, terdapat kulkas tua yang sudah usang dan tak lagi berfungsi.

Sukini memiliki empat orang anak. Anak pertamanya sudah menikah dan tinggal terpisah.

Anak keduanya bekerja sebagai wakar (petugas penjaga keamanan area proyek saat malam hari) di IKN dengan upah Rp130.000 per hari. Upah inilah satu-satunya sumber yang menghidupi mereka sekeluarga sehari-hari.

Anak ketiganya, perempuan, sudah berhenti sekolah setelah lulus SD dua tahun yang lalu, sedangkan anak keempatnya masih duduk di bangku SD.

Sukini memiliki ladang di belakang rumahnya, namun dia tidak lagi sanggup berladang sejak menderita asam urat.

Dia juga ragu kehadiran proyek IKN dapat memberi peluang yang lebih baik untuk keluarganya yang berlatar pendidikan rendah.

Baca juga: Selasa Besok, Otorita Resmi Soft Launching Rencana Induk Pengelolaan Kehati IKN

“Anak saya yang bujang itu kan enggak sekolah, jadi ya enggak bisa kerja yang lain kan. Cuma buruh-buruh gitu saja,” tutur Sukini.

Kalau suatu waktu mereka harus pindah dari IKN, Sukini mengaku belum tahu nasibnya akan seperti apa.

“Saya sih sebetulnya ndak mau pindah, mau pindah ke mana kan? Rumah cuma di sini, tanah. Kita mau pindah, pindah ke mana? Kan rumah ndak punya. Cuma satu-satunya ini peninggalan bapaknya,” kata Sukini.

“Jangan sampai lah kita hidup di jalanan, anak saya minta-minta di jalanan jangan sampai lah. Susah-susah kita kayak apa caranya, jangan sampai.”

Akan tetapi, dia juga merasa tidak berdaya untuk bisa melawan.

“Kita mau bertahan satu saja di sini kan ndak bisa kalau ndak ada yang bertahan. Namanya pemerintah sudah. Kalau perusahaan kita bisa berkeras. Kalau pemerintah itu kita ndak bisa berkeras. Yang kuminta sesuai, itu saja, anggarannya,” ujar Sukini.

Baca juga: Meski Ada 15.000 Pekerja IKN, Harga Bahan Pokok di Pasar Petung Stabil

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Datangi Gedung DPRD, Puluhan Tenaga Honorer Minta 4.222 Pegawai Diangkat Jadi ASN

Datangi Gedung DPRD, Puluhan Tenaga Honorer Minta 4.222 Pegawai Diangkat Jadi ASN

Regional
BPBD OKU Evakuasi Korban Banjir di 4 Kecamatan

BPBD OKU Evakuasi Korban Banjir di 4 Kecamatan

Regional
Bos Kerajinan Tembaga di Boyolali Dibunuh Usai Hubungan Sesama Jenis, Ini Kronologi dan Motifnya

Bos Kerajinan Tembaga di Boyolali Dibunuh Usai Hubungan Sesama Jenis, Ini Kronologi dan Motifnya

Regional
2 Tersangka Pemalsuan Surat Tanah yang Libatkan Pj Walkot Tanjungpinang Ditahan

2 Tersangka Pemalsuan Surat Tanah yang Libatkan Pj Walkot Tanjungpinang Ditahan

Regional
2 Mobil Mewah Milik Tersangka Kasus Investasi Bodong Berkedok Bisnis BBM di Kalsel Disita

2 Mobil Mewah Milik Tersangka Kasus Investasi Bodong Berkedok Bisnis BBM di Kalsel Disita

Regional
Pengerjaan Jalan di Purworejo Dikeluhkan Warga, DPUPR Sebut Proses Lama karena Ini

Pengerjaan Jalan di Purworejo Dikeluhkan Warga, DPUPR Sebut Proses Lama karena Ini

Regional
Gubernur Kepri Minta Malaysia Lepas Nelayan Natuna yang Ditahan

Gubernur Kepri Minta Malaysia Lepas Nelayan Natuna yang Ditahan

Regional
Banjir di Sumsel Meluas, Muara Enim Ikut Terendam

Banjir di Sumsel Meluas, Muara Enim Ikut Terendam

Regional
Bunuh Anggota Polisi, Remaja di Lampung Campur Racun dan Obat Nyamuk ke Minuman Korban

Bunuh Anggota Polisi, Remaja di Lampung Campur Racun dan Obat Nyamuk ke Minuman Korban

Regional
Rayakan Tradisi Leluhur, 1.500 Warga Baduy 'Turun Gunung' pada 17 Mei 2024

Rayakan Tradisi Leluhur, 1.500 Warga Baduy "Turun Gunung" pada 17 Mei 2024

Regional
Menyoal Perubahan Status Kewarganegaraan Marliah yang Tiba-tiba Jadi WN Malaysia

Menyoal Perubahan Status Kewarganegaraan Marliah yang Tiba-tiba Jadi WN Malaysia

Regional
Susul Sekda Kota Semarang, Ade Bhakti Dijadwalkan Ambil Formulir Pendaftaran Pilkada di PDI-P

Susul Sekda Kota Semarang, Ade Bhakti Dijadwalkan Ambil Formulir Pendaftaran Pilkada di PDI-P

Regional
Pemuda di Sleman Lecehkan Mahasiswi, Awalnya Diajak Ngabuburit

Pemuda di Sleman Lecehkan Mahasiswi, Awalnya Diajak Ngabuburit

Regional
Kecelakaan Beruntun di Depan KIW Semarang, Satu Pengendara Tewas

Kecelakaan Beruntun di Depan KIW Semarang, Satu Pengendara Tewas

Regional
Dugaan Korupsi Lahan Hutan Negara, Keterlibatan Anak Bupati Solok Selatan Diselidiki

Dugaan Korupsi Lahan Hutan Negara, Keterlibatan Anak Bupati Solok Selatan Diselidiki

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com