Perkara ganti rugi di IKN ini telah memicu ketidakpuasan oleh sebagian warga yang terdampak.
Ada yang mengaku diganti rugi sebesar Rp300.000 per meter, bahkan ada pula yang Rp95.000 per meter.
Bahkan ada salah satu warga yang menerima ganti rugi sebesar Rp14.000 per meter.
Itu pula yang dikhawatirkan Syarariyah, warga Desa Bumi Harapan, akan menimpa dirinya. Syarariyah tidak memiliki sertifikat atas tanah yang ditinggali keluarganya turun temurun.
Dia ingin menjadi bagian dari IKN, tapi jika pemerintah hanya mengganti tanam tumbuh di atas lahannya saja, dia tidak yakin bisa mendapat tanah yang sepadan dengan yang dia tinggali saat ini.
Sebelum ada IKN, kata Syarariyah, harga tanah di wilayah ini dibandrol sekitar Rp20 juta hingga Rp30 juta per hektare.
Baca juga: IKN, Hotspot Keanekaragaman Hayati dengan Level Endemisitas Tinggi
Sementara sekarang, harga tanah di sekitar wilayah IKN sudah melambung menjadi jutaan rupiah per meter.
“Kalau dihargai segitu kan kami tidak bisa beli lagi di luar. Mau ditempatkan di mana kami kalau lahan kami diambil dan harganya murah? Mungkin kami dapat [tanah seluas] 10x15 meter saja," tutur Syarariyah.
"Sedangkan kami banyak anak, banyak keluarga. Sedangkan kami punya lahan yang begitu luas, yang kami bisa hidup bercocok tanam, bisa beternak."
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan ganti rugi yang tidak sepadan itu secara tidak langsung adalah bentuk penyingkiran bagi masyarakat. Apalagi tanpa dibarengi kebijakan yang memberi tempat bagi mereka di IKN.
"Otomatis mereka terpaksa membeli tanah yang jauh-jauh dari lokasi IKN. Otomatis itu kan penyingkiran. Makanya kami tidak mau masyarakat adat yang sudah turun temurun di sana tersingkir dari IKN karena mereka punya tempat di situ," kata Ketua AMAN Kalimantan Timur, Saiduani Nyuk.
Baca juga: Kembalikan Kejayaan Kalimantan, Pembangunan di IKN Harus Mengacu Rencana Induk Kehati
Padahal rata-rata masyarakat tidak melek hukum. Pada akhirnya, ada yang memilih pasrah menerima penawaran itu.
Dikutip dari Kompas.com, belasan warga sempat menggugat keberatan atas nilai ganti rugi yang diberikan tim apraisal dari Badan Pertanahan. Mereka merasa penilaian harga itu tidak adil.
Tetapi gugatan itu pada akhirnya ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Penajam Paser Utara.
Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia pada pertengahan Februari lalu, Sekretaris Otorita IKN Achmad Jaka Santos mengeklaim proses ganti rugi itu telah sesuai dengan ketentuan undang-undang mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Baca juga: Siapa Dua Investor Malaysia yang Tertarik Bangun Apartemen di IKN?
"Pemerintah itu hanya melaksanakan, kalau tidak sepakat antara angka yang disiapkan oleh negara, rakyat boleh melakukan ke pengadilan. Makanya uangnya ditaruh dikonsignasi," jelas Jaka.
"Jadi kalau bicara harga berbeda bukan berarti tidak adil. Itu semua ada aturannya. Sejauh ini, sepanjang itu sesuai aturan, itulah yang disebut kepastian hukum. Kalau sesuai kemauan masing-masing, ya tidak akan ketemu," sambungnya.
Jaka juga mengeklaim akan ada wilayah-wilayah yang diperuntukkan untuk "pengakuan eksistensi masyarakat adat, serta tempat pembuktian pemberdayaan masyarakat adat".
Hanya saja, kewenangan Otorita sampai saat ini masih terbatas.
"Ada, nanti Insya Allah ada," kata Jaka, sambil menyinggung bahwa komitmen itu juga tertuang dalam Undang-Undang IKN.
Jarak rumah Sukini hanya terpaut sekitar empat kilometer dari Istana Negara.
Sejak pembangunan gedung-gedung pemerintahan dimulai, Desa Bumi Harapan yang dulunya sepi dan dikelilingi tanaman hijau, kini berubah drastis.
Proyek pembangunan ini berkejaran dengan waktu karena Presiden Joko Widodo menargetkan akan mulai berkantor di IKN pada Juli 2024.
Setelah itu, upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2024 juga akan digelar di sana untuk pertama kalinya.
Truk-truk pengangkut material bangunan tidak pernah berhenti lalu lalang di jalan raya tepat di depan rumah Sukini. Akibatnya, kawasan itu menjadi berselimut debu.
Baca juga: IKN, Magnet yang Menarik Ekonomi dan Penduduk Keluar dari Jawa
“Setiap hari seperti ini. Capek saya melihat debu. Air minum pun ndak ada di sini bantuan. Saya sampai pakai air hujan itu, ndak ada bantuan dari IKN,” ujar Sukini.
Realita yang dihadapi Sukini sehari-hari begitu kontras dengan kemegahan IKN yang kerap ditampilkan di media sosial.
Bagi warga Desa Bumi Harapan, tidak ada lagi “udara segar” seperti yang dihirup Menteri Agraria dan Tata Ruang Agus Yudhoyono ketika bermalam di IKN bersama presiden dan pejabat lainnya pada akhir Februari lalu.
Di rumah Sukini, tidak ada dinding marmer, lampu hias, atau perangkat ‘smart home’ seperti yang terlihat di rumah menteri di IKN dalam video yang viral beberapa waktu lalu.
Rumah kayu seluas 20 meter persegi itu adalah peninggalan mendiang suaminya yang merupakan keturunan Suku Paser.
Baca juga: Kurun 2022-2024, Pembangunan IKN Telan APBN Rp 71,8 Triliun
Sukini memiliki empat orang anak. Anak pertamanya sudah menikah dan tinggal terpisah.
Anak keduanya bekerja sebagai wakar (petugas penjaga keamanan area proyek saat malam hari) di IKN dengan upah Rp130.000 per hari. Upah inilah satu-satunya sumber yang menghidupi mereka sekeluarga sehari-hari.
Anak ketiganya, perempuan, sudah berhenti sekolah setelah lulus SD dua tahun yang lalu, sedangkan anak keempatnya masih duduk di bangku SD.
Sukini memiliki ladang di belakang rumahnya, namun dia tidak lagi sanggup berladang sejak menderita asam urat.
Dia juga ragu kehadiran proyek IKN dapat memberi peluang yang lebih baik untuk keluarganya yang berlatar pendidikan rendah.
Baca juga: Selasa Besok, Otorita Resmi Soft Launching Rencana Induk Pengelolaan Kehati IKN
“Anak saya yang bujang itu kan enggak sekolah, jadi ya enggak bisa kerja yang lain kan. Cuma buruh-buruh gitu saja,” tutur Sukini.
Kalau suatu waktu mereka harus pindah dari IKN, Sukini mengaku belum tahu nasibnya akan seperti apa.
“Saya sih sebetulnya ndak mau pindah, mau pindah ke mana kan? Rumah cuma di sini, tanah. Kita mau pindah, pindah ke mana? Kan rumah ndak punya. Cuma satu-satunya ini peninggalan bapaknya,” kata Sukini.
“Jangan sampai lah kita hidup di jalanan, anak saya minta-minta di jalanan jangan sampai lah. Susah-susah kita kayak apa caranya, jangan sampai.”
Akan tetapi, dia juga merasa tidak berdaya untuk bisa melawan.
“Kita mau bertahan satu saja di sini kan ndak bisa kalau ndak ada yang bertahan. Namanya pemerintah sudah. Kalau perusahaan kita bisa berkeras. Kalau pemerintah itu kita ndak bisa berkeras. Yang kuminta sesuai, itu saja, anggarannya,” ujar Sukini.
Baca juga: Meski Ada 15.000 Pekerja IKN, Harga Bahan Pokok di Pasar Petung Stabil