Dalam kontrak karya itu dijelaskan PT TMS berhak mengeksploitasi emas dan tembaga di enam kecamatan yang terbagi menjadi 80 kampung selama 33 tahun ke depan, dengan wilayah kontrak karya seluas 42.000 hektare atau sekitar setengah pulau.
Butuh waktu sekitar delapan bulan setelah putusan MA ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru mencabut kontrak karya tersebut, tepatnya 8 September 2023.
Dengan demikian, Pulau Sangihe harus bebas dari segala bentuk eksplorasi penambangan, sehingga aktivitas penambangan yang ditemukan adalah ilegal. Namun, di lapangan skala pertambangan emas justru makin meluas.
“Apa yang harus kami lakukan sebenarnya untuk menghentikan pertambangan ini, dampaknya sangat besar di laut,” jelas Elbi.
Seorang nelayan di Pulau Sangihe, Desmon Sondak tinggal di Kampung Bulo yang batas kampungnya hanya berjarak 500 meter dari lokasi pertambangan. Ia mengatakan sebagian pesisir di dekat kampungnya itu sudah rusak karena dialiri limbah tambang emas.
Baca juga: Gempa M 5,2 Guncang Kepulauan Sangihe, Sulut
Padahal, kata Desmon, dulunya lokasi tersebut masih menjadi area andalan bagi nelayan setempat mencari tangkapan laut.
“Kasat mata itu kan, airnya dulunya jernih sekarang sudah keruh. Tidak pernah jernih. Itu dampak sedimen langsung dari daerah tambang. Dia kan langsung ke laut. Limbahnya langsung ke laut,” katanya.
Sekarang, warga sekitar juga tidak lagi mengonsumsi hasil laut dari wilayah pesisir tersebut karena khawatir tercemar logam berat.
Penduduk Kampung Bulo yang mayoritas bekerja sebagai nelayan juga harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli bahan bakar solar demi mencari tangkapan bebas limbah.
“Jadi dari jarak sebelumnya yang tidak pakai ongkos tinggi, tapi apa boleh buat sekarang mereka lebih jauh lagi mencari ikan. Otomatis operasional yang dilakukan aktivitas nelayan itu semakin tinggi,” kata Desmon.
Baca juga: Ratusan Rumah Terdampak Banjir dan Gelombang Pasang di Sangihe, 43 Jiwa Mengungsi
Menurut koalisi LSM dari Save Sangihe Island (SSI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dan Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga keberadaan perusahaan lokal yang menambang secara besar-besaran di Pulau Sangihe.
Aktivis lingkungan dari SSI, Alfred Pontolondo, menengarai terdapat dua perusahaan lokal melakukan kontrak kerjasama dengan PT TMS.
"Mereka melakukan kerjasama itu diumumkan dirilis resmi PT TMS di website Baru Gold Corp. Ini jadi melanggar aturan, melanggar hukum, karena tanpa IUP (Izin Usaha Pertambangan) mereka melakukan kerja sama,“ kata Alfred.
Berdasarkan rilis Gold Corp, dalam kontraknya, kedua perusahaan kontraktor ini bertanggung jawab atas semua biaya operasional, produksi dan perbaikan lokasi. Kontraktor akan menerima 65% dari total penerimaan kotor dari penjualan emas yang diperoleh.
Baca juga: Banjir di Sangihe Sulut, Warga Kampung Laine Diungsikan
Sementara PT TMS akan menerima 35% dari total penerimaan kotor penjualan emas yang diperoleh.