Kemudian sepanjang Oktober 2022 hingga November 2023, terdapat 159 pemberitaan yang mengindikasikan tindakan femisida.
Andy Yentriyani mengatakan tak ada ciri saklek yang bisa menentukan apakah laki-laki tersebut akan melakukan kejahatan femisida.
Tapi setidaknya bisa dikenali dari perilakunya.
"Kalau dalam hubungan berpacaran, bisa kita lihat apakah dia posesif yang berlebihan. Ini bisa menjadi alarm dini yang harus diperhatikan apalagi jika menimbulkan pembatasan-pembatasan yang tidak nyaman."
"Lalu apakah dia melakukan kekerasan secara fisik maupun psikis? Kalau saya akan menyarankan untuk lebih waspada jika ada ciri seperti itu, agar situasinya tidak memburuk dan mengarah pada kekerasan."
Itu mengapa, Andy meminta publik tidak menghakimi korban dengan dalih bahwa perempuan sebaiknya tidak menolak cinta laki-laki dengan kasar atau sampai meyakiti hatinya.
Sebab yang menjadi inti masalahnya adalah pemahaman keliru laki-laki yang merasa bahwa perempuan adalah barang yang bisa dimiliki.
"Jadi selain mengoreksi cara pandang konstruksi gender, kita semua harus melakukan deteksi dini dari perilaku-perilaku yang bisa berakibat fatal."
Andy Yentriyani tetap meminta polisi menyelidiki kasus ini dengan objektif.
Menurutnya, pernyataan polisi yang menyebut pelaku melakukan kejahatan karena dalam kondisi pengaruh minuman keras tak bisa dibenarkan.
"Pelaku minum-minuman keras sebuah peristiwa sendiri, tidak berarti dia di bawah pengaruh alkohol lebih beringas. Tapi situasi dia ingin melakukan kekerasan sudah hadir duluan sebelum peristiwa minum-minuman keras itu," tegasnya.
"Sama seperti pemerkosaan, pelaku bilang karena habis nonton film porno. Justru dia nonton karena pelaku punya dorongan seksual yang ingin disalurkan."
"Jadi bukan minuman faktor penyebabnya."
Baca juga: Soal Kasus Ibu Tewas Sambil Peluk Bayi di Pati, Komnas Perempuan: Contoh Femisida
Dalam kasus ini, Polres Penajam Paser Utara menjerat pelaku dengan Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP juncto Pasal 60 ayat 3 juncto Pasal 76 huruf c UU Perlindungan Anak.
Ancaman hukuman mati atau sekurang-kurangnya penjara seumur hidup.
Ahli psikologi forensik, Reza Indragiri, juga menilai kalau polisi ingin mengenakan Pasal 340 KUHP yakni pembunuhan berencana maka unsur yang patut dibuktikan adalah "adanya kesadaran penuh dari seorang pelaku kejahatan".
Itu mengapa, katanya, polisi harus berhati-hati dalam menarasikan pelaku melakukan kejahatannya karena terpengaruh alkohol.
Sebab menurut dia, jika pelaku membunuh dalam keadaan mabuk, pasal yang mungkin dikenakan bukan pembunuhan berencana. Namun penganiayaan berat.
Baca juga: Perempuan Dibunuh Mantan Kekasih dengan Kloset, Komnas: Superioritas Maskulin Mendorong Femisida
"Logikanya orang dalam keadaan mabuk tidak bisa membuat rencana. Perilakunya cenderung menjadi impulsif."
"Demikian pula setelah saya baca kronologi peristiwa dan rangkaian perbuatan pelaku di TKP, tidak mencerminkan orang dalam kondisi mabuk."
Terlepas dari itu semua, keluarga korban meminta pelaku dihukum seberat-beratnya.
"Sesungguhnya hukuman mati pun tidak cukup, karena sudah melakukan pembunuhan berencana, kemudian menyetubuhi dua korban dan mengambil barang korban," ujar pengacara keluarga korban, Bayu Mega Malela.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.