SEMARANG, KOMPAS.com- Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut seorang kepala negara boleh memihak kepada calon tertentu dalam kontestasi pesta demokrasi ramai menyedot perhatian publik.
Pro kontra muncul terkait pernyataan Jokowi tersebut.
Mulai dari pernyataan yang berdasar dan diperbolehkan dalam Undang-Undang hingga tudingan bahwa Jokowi tidak memiliki sikap kenegarawan.
Kendati demikian, banyak kalangan menyayangkan sikap Jokowi tersebut lantaran hilangnya netralitas kepala negara dalam sebuah pesta demokrasi.
"Saya kira kenegarawan Pak Jokowi sudah mulai terkikis, sudah niretika, saya khawatirnya cenderung menjadi Machiavelistis, menghalalkan semua cara untuk memenangkan pilpres," ucap pengamat politik dari Undip Wahid Abdulrahman, melalui sambungan telepon, Rabu (25/1/2024).
Baca juga: 20.965 Anggota KPPS di Purworejo Dilantik, Dilarang Like, Komen, dan Share soal Capres-Cawapres
Baca juga: Mahfud Tegaskan Bansos Diberikan oleh Negara, Bukan Milik Pejabat Tertentu
Menurut Wahid, dengan menjabat sebagai presiden RI dua periode, mestinya Jokowi sudah naik level menjadi negarawan. Namun pernyataan, tindakan, sikap Jokowi menunjukkan sebaliknya.
"Sudah jelas siapa paslon yang didukung, untuk pasangan 02, namanya anak biologis, bagaimana pun akan diusahakan semaksimal mungkin untuk menang," katanya.
Dosen FISIP Undip itu sangat menyayangkan sikap Jokowi yang disebut mulai gelap etika.
Padahal masyarakat masih belum menerima persoalan putusan MK yang meloloskan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka maju menjadi cawapres.
"Kalau presidennya sudah niretika, kenegarawannya terkikis, cenderung Machiavelistis, menghalalkan segala cara untuk memenangkan paslon 02, maka itu akan ditiru oleh bawahannya, menteri, bahkan mungkin nanti bisa gubernur, bupati/wali kota karena kepala negaranya sudah begitu," tegasnya.
Baca juga: Siap Menangkan Prabowo-Gibran Satu Putaran, Hercules: Mendukung Calon Lain Langsung Pecat
Wahid menilai dalam perspektif etika dan kebangsaan, kenegarawan perilaku Jokowi sudah tidak sehat.
Kendati mengaku boleh menunjukkan keberpihakan selama tidak menggunakan fasilitas negara, tidak ada pengawasan pasti terkait hal itu.
Apalagi belakangan saat melakukan kunjungan kerja di Salatiga muncul gestur tangan berpose angka dua dari dalam mobil presiden.
Belum lagi bansos yang disebut oleh Mendag Zulhas sebagai kemurahan hati Jokowi.
Baca juga: Mahfud Ingin Mundur dari Menko Polhukam, Zulkifli Hasan: Haknya Orang
Hingga munculnya paket beras Bulog yang dibagikan untuk warga ditempel stiker Prabowo-Gibran.
"Contoh tersebut, penggunaan fasilitas negara itu nanti pasti akan semakin banyak, mulai dari yang sederhana, itukan simbol ya, gedung kementerian, itu kan milik negara," bebernya.
Untuk itu, Wahid berharap masyarakat turut bijak mengawasi jalannya kontestasi pemilu kali ini. Terlebih mengingat keberpihakan Jokowi membuat Bawaslu semakin terbatas dalam pengawasan.
"Kalau kita hanya mengandalkan lembaga penegak atau pengawas pemilu, saya kira tidak akan bisa maksimal. Data faktanya sudah terlihat beberapa kejadian potesi pelanggaran. Apalagi kalau nanti (pelanggaran) dilakukan oleh presiden. Saya pesimis kalau itu bisa ditindak dengan adil," pungkasnya.
Baca juga: Dirikan Posko Netralitas TNI-Polri, Polda Jateng: Bila Menemukan Pelanggaran, Silakan Melapor
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.