Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Hurriyah, mengatakan caleg yang memiliki keterbatasan finansial memiliki potensi yang kecil untuk menembus parlemen.
“Kalau hitung-hitungan matematiknya menurut saya relatif berat [terpilih],” kata Huriyah, yang juga menjabat sebagai Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) tersebut.
Mengapa demikian? Hurriyah menjelaskan terdapat tiga modal utama yang harus dimiliki caleg untuk dapat terpilih, yaitu modal finansial, politik, dan sosial.
Modal finansial, menurutnya, berfungsi penting untuk membiayai kerja-kerja kampanye yang kian hari semakin mahal, mulai dari persiapan alat peraga kampanye (APK), upah tim sukses dan sosialisasi, hingga digunakan oleh sekelompok caleg untuk politik uang.
Baca juga: Baliho Caleg Bikin Taman Salak Condet Ngumpet, Warga: Ganggu Pemandangan!
Kemudian modal politik, tambahnya, adalah untuk menempatkan caleg berada di nomor urut yang strategis.
Berdasarkan kajian Puskapol UI tentang pemilu 2014 dan 2019, nomor urut menjadi salah satu faktor penting yang menentukan preferensi para pemilih dalam mencoblos.
“Lebih dari 60% pemilih cenderung memilih nomor urut tiga besar karena menganggap mereka adalah orang-orang penting dan kompeten,” katanya.
Selanjutnya adalah modal sosial, seperti popularitas atau ketokohan dari seorang calon yang dikenal luas oleh masyarakat.
“Makanya ada parpol yang cenderung memilih caleg dari latar belakang selebritas karena mereka dianggap punya modal sosial yang besar, mereka popular,” ujar Hurriyah.
Untuk itu, kata Hurriyah, ketika salah satu modal itu lemah maka akan menurunkan kesempatan mereka mendapatkan kemenangan.
Baca juga: Ruwetnya Pemasangan Alat Peraga Kampanye di Condet, Stiker Caleg Kotori Halte Bus
Hurriyah menambahkan mahalnya biaya politik yang ditanggung para politisi yang berkontestasi dalam pemilu disebabkan oleh model pencalonan dan kampanye yang kandidat sentris (candidate-centered campaigns).
Artinya, jelas Hurriyah, partai politik hanya berperan sebagai penjual tiket pencalonan, sedangkan beban kampanye, logistik hingga tim sukses dilimpahkan seluruhnya kepada masing-masing kandidat.
Faktor kedua, menurut Hurriyah adalah masifnya praktik politik uang yang kemudian menjadi "kelaziman untuk dilakukan", dan menciptakan pandangan di masyarakat bahwa para caleg adalah "sinterklas yang bagi-bagi hadiah".
Baca juga: 10 Caleg di Banten Meninggal Dunia, KPU: Masih Bisa Dicoblos
“Politik uang merupakan cara instan caleg yang baru turun jelang pemilu ke dapil. Ini adalah konsekuensi dari absennya politik programatik partai dan caleg,” katanya.
Terakhir adalah sistem pemilu proporsional terbuka, yang mana seorang caleg dipilih secara langsung berdasarkan suara mayoritas.
“Kontestasi akhirnya menjadi begitu ketat. Satu partai mencalonkan tujuh sampai bahkan sepuluh caleg di satu dapil, belum lagi mereka harus bertarung dengan calon dari partai lain untuk memperebutkan kursi yang sama. Cara-cara instan seperti politik uang menjadi jalan pintas yang diambil,” katanya.
Terdapat 9.917 caleg yang bertarung memperebutkan 580 kursi DPR pusat di 84 daerah pemilihan (dapil), di mana masing-masing memiliki rata-rata peluang hanya sebesar 5,8%.
Persaingan pun tak kalah ketat di level bawahnya. Misalnya di DKI Jakarta, terdapat 1.818 caleg yang memperebutkan 106 kursi (5,8% peluang) DPRD DKI Jakarta.
Baca juga: Kelabuhi Polisi, Warga Purworejo Tempelkan Sabu di Baliho Caleg Saat Transaksi
Kemudian, 732 caleg akan memperebutkan 50 kursi (6,8% peluang) DPRD Purwakarta.
Secara nasional, terdapat 2.372 kursi DPRD provinsi yang diperebutkan di 301 dapil, dan 17.510 kursi DPRD kabupaten/kota di 2.325 dapil.
Berdasarkan survei KPK dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), biaya yang dibutuhkan untuk mencalonkan diri sebagai bupati atau wali kota sebesar Rp 20 miliar-Rp 30 miliar.
Namun, kata Marwata, jumlah biaya politik itu belum tentu membuat kandidat para calon kepala daerah memenangkan kontestasi politik, sebab para calon pemimpin itu harus merogoh kocek sekitar Rp 50 miliar-Rp 70 miliar.
"Memang dari survei kami, tidak semua biaya itu dari kantong calon, tapi ada sponsor yang rata-rata adalah para vendor atau pengusaha setempat biasanya pengusaha konstruksi," kata Marwata,.
Baca juga: Saat Baliho Caleg Sebabkan Nyawa Siswi SMK di Kebumen Melayang...
Sayangnya, biaya yang dikucurkan pengusaha setempat tidak diberikan secara cuma-cuma.
Antropolog komparatif dari Universitas Amsterdam, Belanda, Ward Berenschot menilai hal itu akan mereduksi calon-calon yang berkompeten untuk menjadi pejabat publik dan sulit mewujudkan demokrasi berkualitas.
Untuk itu, peneliti senior Lembaga studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda (KITLV) Leiden tersebut mengatakan sudah saatnya pemerintah Indonesia mengubah sistem pemilu sehingga bisa mengakomodasi seluruh sumber daya manusia (SDM) yang berkompeten, tanpa harus mengeluarkan uang yang banyak.
Salah satu opsi yang Ward usulkan adalah subsidi untuk parpol.
Reportase tambahan oleh wartawan di Solo, Fajar Sodiq.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.