Meski tak ikut berperang dan melempar ketupat, Inaq Hairi, petani perempuan yang menggarap kebun buah, ikut berburu sisa lemparan senjata ketupat. Bahkan, ia berusaha menangkap lemparan ketupat dengan kedua tangannya sambil berlindung di balik tanaman bunga di areal pura.
"Saya mau gantung di pohon buah-buahan saya, agar buahnya banyak dan subur, ini yang selalu kami tunggu tiap Perang Topat," kata Hairi.
Baca juga: Mengenal Mikoshi, Tradisi Arak Arakan Tandu di Jepang
Hairi mengatakan, dia mengetahui bahwa ketupat sisa perang bisa menyuburkan tanaman dari orangtuanya. Menurutnya, ketupat yang telah didoakan para tokoh agama di kemaliq akan mendapat berkah, karena di tempat inilah para wali pernah berkumpul dan berdoa.
"Apa yang disampikan orangtua kami dulu itulah yang selalu kami ingat dan jalankan, bukan ketupatnya yang akan bikin subur tetapi berkah doa dan keyakinan kami," katanya.
Ada juga yang menginginkan sisa ketupat karena mengidam dan ingin bawa pulang ketupat sisa perang.
Baca juga: Mengenal Tradisi Boh Gaca bagi Pengantin Baru di Aceh
Bagi masyarakat Lombok, banyak cara warga memaknai Perang Topat, salah satunya adalah keyakinan atas berkah dan limpahan kesuburan di muka bumi ini.
Namun yang utama adalah menjaga kerukunan umat beragama di Lombok yeng telah terjalin ratusan tahun lamanya dan kini warisan berharga itu tetap mereka rawat dengan menjalankan tradisi turun-temurun yaitu Perang Topat.
Prosesi Perang Topat diawali dengan arak-arakan kedua umat beragama ini menuju bangunan kemaliq sumber mata air dari Gunung Rinjani.
Arak-arakan berupa Tari Baris, Gendang Belek, warga Islam, Hindu, tokoh agama dan tokoh adat berbaris dalam arak-arakan membawa dulang, berisi makanan tradisional, buah-buahan serta ketupat memasuki kemaliq.
Mereka mengelilingi kemaliq hingga tujuh kali putaran. Prosesi ini adalah wujud kepercayaan suku Sasak di Lombok bahwa terdapat tujuh lubang dalam tubuh manusia yang dipercaya sebagai sumber kehidupan, di antaranya lubang mulut, kemaluan, dua lubang hidung, telinga, mata dan satu lubang ubun-ubun.
Berdasarkan alur sejarah di Lombok, sekitar 350 tahun silam atau tahun 1600 (abad ke-16) saat pemerintahan Raja Selaparang, telah dibangun sebuah bangunan bernama Kemaliq.