Dua kelompok dalam prosesi Perang Topat, baik kelompok Hindu dan Islam berada di posisi yang saling berhadap-hadapan dan saling serang mengunakan senjata ketupat. Saling lempar dengan senjata ketupat, kadang mengenai bagian tubuh mereka namun semua tertawa dan saling membalas dengan gembira.
Ketupat merupakan amunisi utama dalam perang ini. Amunisi inilah yang disebarkan oleh panitia dari atas tembok bagunan kemaliq. Senjata ketupat itu disebarkan setelah melewati prosesi doa dari tokoh agama (Islam) dan pedande (Hindu) di dalam bangunan kemaliq.
Sebelumnya, semua ketupat dan sajian berupa makanan dan buah-buahan telah dibawa berkeliling hingga 9 kali mengitari bagunan kemaliq tempat mata air suci.
Baca juga: Tradisi Makan Bajamba di Depok, Obat Kangen Kampung Halaman bagi Para Perantau
Karena telah mengelilingi kemaliq dan didoakan para tokoh agama, masyarakat meyakini ketupat yang digunakan melempar tidak akan menimbulkan rasa sakit dan sakit hati. Ketupat itu justru mendatangkan kegembiraan dan rasa bersyukur.
"Keyakinan itu juga yang membuat kami para petani dan orang tua, menunggu berkah dari sisa perang itu, sisa-sisa ketupat yang telah digunakan berperang kami kumpulkan untuk dibawa pulang, akan kami gantung di pohon agar tumbuh dan berbuah subur, akan kami lemparkan ke sawah agar hasil panen melimpah," kata Amaq Sukariyah (75), saat mengumpulkan sisa-sisa ketupat yang telah digunakan sebagai senjata perang.
Baca juga: Desa Tana Beru, Tempat Pembuatan Kapal Pinisi di Bulukumba yang Syarat Tradisi
Sukariyah mengaku tiap tahun mengikuti Perang Topat, bahkan sejak berusia muda. Baginya mengikuti tradisi turun-temurun itu menambal rasa rindunya pada leluhur.
"waktu muda ikut perang saya, setelah tua saya hanya pungut sisa perang untuk kesuburan tanaman saya, karena saya petani," ungkapnya.
Peserta Perang Topat datang dari berbagai wilayah di Pulau Lombok. Selain ingin merasakan kemeriahan di Pura Lingsar, wisatawan juga ingin merasakan sensasi perang dalam damai.
Hanya saja belakangan ini, ada saja yang iseng melempar batu dan telur busuk di arena perang, sehingga menimbulkan rasa khawatir akan menimbulkan gesekan yang merusak jalannya tradisi leluhur itu. Karenanya, aparat kepolisian selalu disiagakan dalam tradisi ini.
"Dulu bagus, tidak ada yang lempar-lempar batu dan telur busuk, sekarang ini ada saja yang iseng yang menganggu tradisi kita, " kata Amaq Sukariyah.
Saat Kompas.com berada di area Perang Topat, seorang warga terkena lemparan telur busuk, baunya sangat menyengat, sebagian ada yang mengeluh terkena lemparan batu, namun secara keseluruhan semua berjalan dalam kegembiraan.