Rudi menambahkan, belum ada perjanjian dengan pihak PT MEG dan pihak investor Xinyi Group terkait prosedur dampak lingkungan dan HAM terkait pendirian pabrik kaca dan panel surya.
“Lahannya belum clear. Kalau sudah clear kita serahkan pada mereka,” kata Rudi.
Pada Senin (2/10/2023), dalam rapat dengar pendapat di Komisi VI DPR, Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia mengakui “ada kesalahan dalam proses komunikasi awal, sehingga terjadi miskomunikasi dan lahirlah (kericuhan)".
Kementerian Investasi telah berbicara dengan Xinyi Group selaku investor untuk menjelaskan kondisi terkini, dan meminta kelenturan waktu.
”Mereka bisa memahami kondisi kita, tetapi mereka juga berpikir agar bisa diselesaikan dengan baik dan lebih cepat lebih baik. Namun, posisinya tidak sampai menekan-nekan kita… Mereka pasti akan mengerti,” kata Bahlil.
Baca juga: Menteri Bahlil Sebut Pembebasan Lahan di Rempang Bisa Selesai Akhir 2023
DPR meminta pemerintah tidak terburu-buru, dan perlu ada jaminan kepastian kompensasi dan rumah pengganti bagi warga.
Namun, menurut Noval, upaya yang dilakukan pemerintah mengajak dialog dan persuasif warga kampung tua Melayu di Rempang “sudah terlambat”.
Dia bilang, sejak awal warga Rempang sudah “disuguhi tontonan kekerasan oleh aparat”.
“Lalu sosialisasi diskusi apa lagi yang kemudian diharapkan dengan warga? Harusnya tahapan sosialisasi, diskusi, duduk dengan warga itu awal. Sementara pemerintah menggunakan cara-cara intimidasi, dugaan kriminalisasi, pelaporan terhadap warga, bukan cara diskusi,” kata Noval.
Ia menambahkan, relokasi ini bukan sekadar memindahkan tempat tinggal semata, tapi juga terkait dengan mata pencarian, identitas dan harga diri masyarakat Kampung Tua Melayu Pulau Rempang.
Sejak awal banyak yang mengaku tidak dilibatkan dalam perencanaan proyek Rempang Eco-City. “Mereka dianggap tidak ada,” kata Noval.
Keberanian dan rasa percaya diri warga menolak rencana relokasi juga berlipat ganda setelah mengalir dukungan luas dari elemen masyarakat di Indonesia, kata M. Syuzairi, akademisi dari Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH).
Ditambah lagi, kata dia, sejumlah LSM dan Komnas HAM melaporkan adanya dugaan pelanggaran HAM, dan laporan maladministrasi proses Rempang Eco-City oleh Ombudsman RI.
“Karena memang konteksnya adalah Kampung Tua itu harus dilestarikan, harus tetap dipertahankan, karena dia diakui dalam konstitusi UUD 1945. Nah, akhirnya mereka percaya diri, tidak mau direlokasi, tidak mau digeser,” kata M. Syuzairi.
Baca juga: Beragam Hoaks Seputar Konflik di Pulau Rempang, Catut Nama Anies dan Ustaz Abdul Somad
Ia menilai rencana proyek Rempang Eco-City yang diawali dengan investasi pabrik kaca dan panel surya makin kompleks. Ia menyerukan agar pemerintah mengkaji ulang proyek tersebut.
“Karena terlalu dipaksakan terjadi kaos [keadaan kacau balau] atau terjadi penolakan yang besar-besaran, efeknya sangat tidak bagus buat kota Batam,” katanya.
Kembali ke Kampung Tanjung Pasir di mana Zaiton berjanji pada mendiang suaminya untuk menjaga tanah dan keturunannya di sana.
Baginya, tanah peninggalan leluhurnya adalah sejarah, amanat, serta sumber hidup dan kehidupan bagi keluarganya.
“Nenek pikir duit itu tak seberapa banyak, kalau tak tahu menggunakannya akhirnya habis. Kalau rumah pun berapa besar, akhirnya roboh. Tapi kalau ada tanah, kita bisa bangun lagi,” kata Zaiton.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.