Salin Artikel

Menolak Direlokasi, Emak-emak di Rempang: Bertahan Harga Mati

“Bertahan harga mati,” kata seorang perempuan yang dituakan di Kampung Pasir Merah, Pulau Rempang.

Suara perempuan muncul seiring peristiwa bentrokan antara warga dengan aparat gabungan pada 7 dan 11 September 2023, ketika puluhan pria ditangkap.

Kemunculan kaum ibu ini disebut sebagai mekanisme pertahanan sewajarnya, saat anak-anak mereka dihadapkan ketakutan pada penggusuran dan janji-janji yang tak pasti.

BBC News Indonesia menemui sejumlah perempuan yang berpengaruh di Pulau Rempang, mendengarkan suara mereka saling menguatkan di tengah hilir mudik petugas BP Batam yang “banyak cakap merayu” agar penduduk mau direlokasi.

Rumah Zoitun di Kampung Pasir Panjang, berada di ujung selatan Pulau Rempang.

Dalam rute perjalanan menuju ke sana, keindahan pantai biru membentang sejauh mata memandang dengan pohon-pohon bakau di pesisir, direcoki ombak-ombak kecil.

Jembatan kecil di atas jalur muara, merupakan satu-satunya akses menuju salah satu permukiman nelayan kampung tua Melayu ini.

Dari atas jembatan, terlihat ikan-ikan kecil pergi berpencar karena merasakan getaran langkah kaki. Setelah itu, siapa pun bisa bercermin dengan airnya.

Siang itu sepi. Banyak pintu rumah warga tertutup rapat. Terkadang sepasang mata mengawasi dari balik jendela.

Di ujung perjalanan, terdapat sebuah rumah sederhana dengan tembok bata putih, yang dikelilingi pohon kelapa. Hamparan rumput hias di pelataran membuat rumah ini tampak asri.

Namun, keasrian suasana ini terinterupsi dengan tatapan tajam seorang nenek dengan kulit terbakar matahari, dari halaman rumah. Keriput di wajah, tak mampu menutupi ekspresi kegelisahannya.

“Kalau tidak ditemani orang sini, sudah kutolak kamu,” kata Zaiton mengawali pembicaraan. Warga Kampung Pasir Panjang ini meyakini usianya sudah lebih dari 80 tahun, meskipun di KTP ia lahir pada 1945.

Zaiton mengatakan beberapa hari belakangan ini kerap didatangi petugas Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) yang sedang mensosialisasikan agar warga mau direlokasi. Ia menyebut para petugas ini “banyak cakap merayu”.

“Untung saja kamu cepat (datang), kalau tidak Nenek rasa mau lari. Bosan tengok dia orang... Lima, enam orang, minta itu (persetujuan). ‘Kenapa Nenek tidak tanda tangan?’“ kata Zaiton menirukan petugas yang datang.


Tak bosan juga Zaiton menyatakan menolak direlokasi. Walaupun rumahnya dihancurkan, kebunnya dikubur, Zaiton mengaku tak akan pernah meninggalkan sejengkal tanah peninggalan nenek moyangnya.

“Kalaupun sampai waktu itu (penggusuran) nanti, aku siap jadi gembel pun tak apalah. Ini amanah dari orang yang sudah mati,” kata perempuan yang sudah memiliki tujuh cicit.

Sebagai bukti keluarganya telah mendiami Pulau Rempang lebih dari 100 tahun, Zaiton menunjukkan makam orang-orang terdahulu yang letaknya sekitar 30 meter dari rumahnya. Terdapat belasan makam tua di sana, yang bersemayam sebagian besar dari keluarga Zaiton, termasuk kakeknya.

Di antara makam tua ini, langkah kaki perempuan bertubuh kecil berhenti di atas nisan yang terpatri nama Abd. Rahman Bin Saleh, meninggal 6 Februari 2017.

Di atas pusara suaminya itu, Zaiton menceritakan amanat dari si mendiang: ‘Kamu nggak usah tinggalkan tempat ini. Jagalah anak-anak juga jaga tempat-tempat kita’.

"Harta lain kita bisa habis, kalau kita punya harta ini kebun kita enggak akan habis. Dia bilang gitu,” Zaiton mengingat wasiat pujaan hatinya yang berada di dalam kubur, dan berderai air mata.

Setelah mencabuti rumput liar dari makam suaminya, Zaiton bergegas menghampiri sebagian anak, cucu, menantu dan cicitnya.

Anak yang paling tua, Alijah, segera turun dari hammock yang terikat di antara dua pohon. Zaiton menyampaikan pesan kecil apa yang ia sebut sebagai “amanah yang semati”.

Alijah, 55 tahun, hanya bisa terpaku mendengarkan pesan dari ibunya itu. Matanya seperti awan mendung yang sedang menahan hujan.

“Kalau mama saya ke mana (pergi), saya baru ke mana (pergi). Kalau mama saya sampai (bertahan) di sini, saya sampai mati di sini. Saya tak sanggup berpisah sama mama saya,” kata Alijah tak kuasa menitikkan air mata.

Sama seperti warga Pasir Panjang lainnya, Alijah mengaku “bosan” didatangi petugas BP Batam yang menawarkan relokasi.

Tawaran yang disodorkan petugas kepada warga kampung tua Melayu antara lain uang sewa rumah sebesar Rp 1,2 juta per bulan per keluarga. Uang ini diberikan selama proses pembangunan rumah tetap.

Kemudian, uang saku Rp 1,2 juta per orang per bulan. Diberikan pada keluarga, dengan ketentuan maksimal tiga anak.

Tapi Alijah tak goyah dengan tawaran ini.

“Duit itu pun di mana dapat dicari. Tapi ini tanah leluhur. Biar makan di sini susah, tapi senang karena kampung sendiri. Makan pagi di sini biar keluar Rp 5.000, jadilah saya dapat,” kata perempuan yang sudah memiliki lima cucu.

Kampung Pasir Panjang menjadi satu dari lima kampung tua Melayu di Pulau Rempang yang menjadi prioritas direlokasi, karena wilayahnya akan didirikan pabrik kaca dan panel surya dari China.

Selain Pasir Panjang, kampung lain yang masuk dalam radar untuk dijadikan pabrik seluas 2.000 – 2.500 hektar adalah Sembulang Pasir Merah, Sembulang Tanjung, Sembulang Hulu dan Blongkeng.

Sekitar 1.000 keluarga dari lima kampung tua Melayu umumnya bekerja sebagai nelayan dan petani. Mereka rencananya akan dipindahkan ke kawasan Tanjung Banun – masih di Pulau Rempang.

‘Hujan emas di kampungmu, hujan batu di kampungku’

Tak jauh dari rumah Zaiton, BBC News Indonesia juga menemui sesepuh Amlah, yang lahir sebelum Indonesia merdeka. Usianya lebih dari 100 tahun, meskipun di KTP ditulis lahir 1940 dan berstatus “belum kawin”.

Perempuan yang kini sudah memiliki 29 cicit mempertanyakan makam leluhurnya, jika relokasi benar-benar terjadi.

“Macam mana makam bapak aku, mamak aku, mau dibuang ke mana?” katanya bertanya-tanya.

Ia menolak dipindahkan dari tempat tinggalnya – berada sekitar 50 meter dari tepi pantai – dan pesan ini diteruskan kepada semua keturunannya.

"Coba kau rasakan, kalau aku ambil kampung kamu, marah tidak? Tentu marah, tentu tak suka kan?

“Hujan emas di kampung kamu, hujan batu di kampung aku,” kata perempuan yang biasa disapa Nek Cuh saat ditemui di kediamannya.

Nek Cuh juga bercerita, bahwa dirinya dan lautan tak bisa dipisahkan. Sejak muda, sumber hidupnya berasal dari laut dan kebun yang ia bangun bersama suaminya.

"Aku ini hantu laut, semua bisa (saya kerjakan). Jaring (ikan) tamban ada, jaring betul ada, apa macam comek (alat tangkap sotong) ada, semua kerja di laut nenek kerja,” katanya.

Nek Cuh benar-benar sudah pensiun bekerja beberapa tahun lalu. Terakhir ia sempat mengolah rengkam – sejenis rumput laut – bersama cicitnya. Rengkam dijual untuk pakan ternak dan pupuk.

“Sekarang aku sudah tiga tahun tak kerja… Aku pernah pingsan di pantai itu dulu saat kerja, jadi aku tak dikasih anak aku lagi kerja. Aku jalan sampai sana ke tengah laut, tempat biasa orang selam (cari kerang) gonggong,” kata Nek Cuh.

Ia tak tahu apa jadinya kalau harus direlokasi ke tempat lain. “Bagaimana mau pindah? Aku sudah lama di sini,” katanya.

Nurita, salah satu cicit dari Nek Cuh, kini menjadi pengurus dapur umum di posko bantuan hukum Kampung Pasir Panjang.

Posko ini didirikan sejumlah LSM sebagai tempat mengadu warga jika menghadapi persoalan hukum atau tekanan terkait relokasi.

Di posko ini juga, warga biasa berkumpul untuk saling menjaga dan memelihara solidaritas dalam menolak relokasi, kata Nurita.

“Kita berkumpul itu sebagai warga Pasir Panjang tidak mau direlokasi. Jadi kita harus berkumpul di sini bersama-sama,” katanya.


Hari-hari belakangan ini, warga resah dan was-was, kata Nurita. Musababnya, apa yang ia sebut "bujuk rayu“ relokasi makin gencar, sementara pengerahan alat berat atau aparat tak bisa diprediksi kedatangannya.

“Setiap kali ada kendaraan masuk, entah aparat atau bukan aparat, dia mengatakan itu aman. Tapi bagi kami tidak aman,” kata Nurita, yang menuntut agar rencana relokasi dibatalkan saja.

Sejurus dengan buyutnya, Nurita tetap akan bertahan di tanah nenek moyangnya.

"Walaupun tengah tidur, kena sodok beko (eskavator) sekalipun, tetap kami bertahan. Tak apalah tidur di mulut beko (eskavator), asal kami bertahan,” katanya berapi-api.

Banyak warga pria trauma

Dalam beberapa kesempatan, banyak pria warga Rempang menolak kami wawancarai.

Mereka beralasan, masih takut, mendapat “tekanan” atau mengaku lebih mudah tersulut emosi dibandingkan perempuan dalam menghadapi isu relokasi.

“Kalau laki-laki ini bicara, bisa mudah ditangkap atau dikriminalisasi,” kata seorang pria warga Pulau Rempang yang enggan disebutkan namanya.

Sejumlah tokoh masyarakat yang sebelumnya vokal dalam menentang relokasi juga diduga dikriminalisasi. Kesalahannya dicari-cari agar bisa terjerat hukum.

Namun, Kabid Humas Polda Keprim, Kombes Pol. Zahwani Pandra Arsyad, mengatakan warga diperiksa untuk klarifikasi terkait kepemilikan lahan.

"Tujuannya untuk kita melakukan pendataan. Jadi sekali lagi, tujuan polisi itu untuk mengklarifikasi, bukan untuk melakukan kriminalisasi," katanya.

Sekitar delapan kilometer dari Kampung Pasir Panjang, terdapat Kampung Tanjung Banun – yang juga masuk prioritas direlokasi. BBC menemui Juliana, kakak Ardiansyah yang saat ini masih mendekam di tahanan polisi.

Ardiansyah adalah satu dari 34 orang yang ditangkap pada peristiwa kericuhan 11 September 2023 di kantor BP Batam.

Menurut tim pendamping hukumnya, Ardiansyah dijerat pasal melakukan kekerasan melawan petugas yang sedang melakukan pekerjaan secara sah. Ancaman hukuman pidananya antara satu hingga lima tahun penjara.

Peristiwa ini merupakan buntut dari kericuhan yang terjadi di Jembatan Empat Barelang pada 7 September 2023.

Saat itu ratusan aparat gabungan memaksa masuk Pulau Rempang dari wilayah Batam untuk melakukan pematokan area.

Tapi ratusan warga menghadang di ujung jembatan, dan melempari material ke arah barisan aparat gabungan. Aparat kemudian membalas serangan warga dengan meriam air, dan melepaskan tembakan gas air mata.


Dalam peristiwa ini belasan siswa yang sedang bersekolah harus dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat perawatan.

Peristiwa ini juga menggoreskan trauma mendalam, dan rasa takut warga khususnya dari kalangan laki-laki.

“Banyak masyarakat di sini takut, sembunyi. Katanya, kan mau dicari, jadi masing-masing kabur semua,” kata Juliana, menceritakan hari-hari setelah peristiwa 11 September silam.

Dalam insiden ini, Juliana baru mendengar kabar adiknya yang November nanti berusia 34 tahun ditahan di Polresta Barelang tiga hari setelahnya.

“Jadi pertama dia ditangkap, pikiran saya itu kosong. Makan pun saya tak mampu. Sekitar seminggu saya tak masuk nasi. Air pun tak masuk. Sedih sekali hati saya ini,” kenang Juliana.

Sebagian dari yang ditangkap bukan warga Pulau Rempang, tapi mereka adalah Orang Melayu yang berasal dari luar pulau, tapi ikut bersolidaritas menolak rencana relokasi.

Juliana mengatakan selalu membesuk sang adik di penjara seminggu dua kali, dengan waktu diberikan petugas tiga menit. Kata dia, tubuh Ardiansyah makin kurus dan “sakit-sakitan”.

“Saya ngomong itu saja, kan ini obatnya makannya sekian biji, sekian jam, sekian biji lagi. Ambil obatnya di apotek sini,” kata Juliana mengingat perbincangan terakhir dengan Ardiansyah.

Adik bungsu Juliana itu sudah tinggal bersamanya sejak usia lima tahun karena orang tuanya sudah meninggal.

Selama ini, Ardiansyah bekerja sebagai nelayan dan turut menjadi tulang punggung keluarga, karena suami Juliana “sudah sakit-sakitan”.

“Dia berperan membantu saya untuk belanja-belanja di rumah, bayar-bayar uang lampu [listrik], bayar uang air, untuk kehidupan di sini… Setelah dia ditangkap yang gini lah keadaan kami. Belanja pun agak susah,” kata Juliana.

Mirisnya, Ardiansyah kemungkinan besar akan melewatkan salah satu hari paling bahagia dalam hidupnya, karena ia sebelumnya punya rencana menikah akhir tahun ini.

“Sementara di dalam [tahanan] nggak bisa cari uang. Saya itu sedih, gimana caranya untuk menyelesaikan masalahnya itu. Ngomong sama dia kan nggak bisa di dalam [penjara] itu. Mau tukar pendapat pun payah,” kata Juliana dengan mata berkaca-kaca.

Awalnya, Juliana sempat melarang Ardiansyah ikut berunjuk rasa, tapi tidak digubris.

Kini, ia menyuarakan agar adiknya segera dibebaskan, karena apa yang ia lakukan semata-mata mempertahankan hak tanah milik leluhurnya.

"Namanya pun kita kan mempertahankan Rempang harus sama-sama. Harus kompak,” katanya.

‘Kami tak ada senjata, kami taruhan nyawa saja’

Kekompakan Perempuan Melayu di Pulau Rempang ini juga bisa ditemui di Kampung Sembulang Pasir Merah.

Kampung ini juga tak luput dari target relokasi prioritas imbas rencana pembangunan pabrik kaca asal China.

Siti Hawa membenarkan letak kacamatanya, duduk bersama satu lingkaran dengan ibu-ibu yang berkumpul di pinggiran sebuah pendopo.

Saat itu, Hawa bersama ibu-ibu di Kampung Pasir Merah mengutarakan pendapatnya kepada perwakilan sebuah LSM adat Melayu yang sedang berkunjung.

LSM yang berasal dari Tanjung Pinang – masih dalam Provinsi Kepulauan Riau – ikut memberi dukungan kepada warga setempat untuk menolak relokasi.

Salah satu di antara perempuan yang berkumpul mengatakan, “Ini Power of Emak-emak”.

Ini bukan pertama kali warga mendapat kunjungan dari kelompok adat Melayu dari luar Rempang, kata Hawa.

“Di mana-mana merasa orang Melayu ditindas begini, merasa berontak juga mereka. Datang berhari-hari, datang ke tempat kami ini. Dari mana saja datang,” kata Hawa.

Kaum ibu di kampungnya mendadak membuat perkumpulan sebagai “bentuk pertahanan”.

“Kalau tidak bertahan, mungkin kami sudah kebobolan,” katanya.


Ibu-ibu berkumpul mengawasi kampung dari petugas-petugas yang datang menawarkan relokasi. Perkumpulan ini menjadi tempat mengadu warga jika memperoleh intimidasi.

Kata Hawa, perkumpulan ini sudah tidak percaya dengan janji-janji yang ditawarkan, hal yang disebutnya sebagai “bertahan harga mati”.

“Jadi kami tak akan beranjak dari tempat kami yang sudah beratus tahun di sini, sebab anak cucu kami nanti macam mana kalau kami lepas ini,” kata perempuan berusia 70 tahun.

Kelompok ibu-ibu di Pasir Merah ini, kata Hawa, juga menyadari tak banyak warga pria yang bersuara belakangan ini, karena “orang laki-laki ini cepat masuk angin”.

“Kalau kami perempuan tetap pertahankan, karena kami memikirkan anak cucu kami,” tambah Hawa.

Awalnya perempuan di kampung ini tak berani bersuara karena “tak pandai bicara”, tapi mulut mereka terpaksa terbuka lantang karena operasi pendataan untuk relokasi makin gencar.

“Walaupun dia paksa, kami taruhan nyawa saja. Kami tak ada senjata, tak ada apa-apa. Orang dia saja berjalan pakai senjata. Kami (hanya punya) tangan mulut saja.

“Jadi kami tidak akan menang melawan ini orang, tapi Allah tetap ada pada orang yang benar. Yang menzalimi nanti tetap dapat hidayahnya,” kata Hawa.

Kemunculan ibu-ibu kampung tua Melayu yang terus menyuarakan penolakan terhadap relokasi tak luput dari peristiwa kericuhan sebelumnya, dan pengerahan aparat gabungan sampai ke perkampungan.

Noval Setiawan, pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru yang berada di salah satu posko bantuan hukum, menilai kemunculan perlawanan ibu-ibu kampung tua Melayu sebagai bentuk mekanisme pertahanan sewajarnya.

“Ya mereka [ibu-ibu] bersuara karena anak-anak mereka takut,” kata Noval, sambil menambahkan kaum ibu turut mengambil peran lebih melindungi keluarganya, dan memikirkan masa depan anak-anaknya.

Pendataan relokasi terus berlangsung

Di sisi lain, proses pendataan warga untuk direlokasi terus berjalan. Data per 27 September dari BP Batam menunjukkan sudah terdapat 317 keluarga menyetujui untuk direlokasi.

Dari ratusan keluarga yang bersedia direlokasi, sejauh ini baru sekitar 16 keluarga yang sudah lengkap validasi datanya dan menempati hunian sementara.

Mereka diberikan pilihan untuk menempati sejumlah hunian sementara yang disediakan atau menyewa tempat lain secara mandiri dengan biaya yang ditanggung BP Batam sebesar Rp 1,2 juta per bulan.

BBC menemui keluarga Angga Wildan Pratama yang menerima relokasi, dan sudah menempati sebuah rumah kontrakan. Ia sejak kecil dan besar di Kampung Sembulang Tanjung.


Angga mengatakan bersedia direlokasi karena “proyek ini sudah jelas”, dan kantor tempat bekerja lebih dekat dari rumahnya sekarang.

“Terus untuk perkembangan ke depan, saya lebih mengutamakan masa depan keluarga saya. Kalau saya bertahan pun belum tahu ke depannya gimana. Soalnya proyek ini sudah jelas,” kata Angga mengaku tak ada tekanan dalam pilihannya tersebut, karena sebelum ramai isu relokasi, ia sekeluarga sudah berniat pindah rumah.

Pria berusia 25 tahun ini juga menyatakan tetap menyimpan kesedihan karena harus memilih direlokasi, “Karena di sana kampung saya juga. Nenek moyang saya di sana.”

Menurutnya, pilihannya ini, tak akan berpengaruh terhadap sikap warga yang masih menolak direlokasi. “Saya sendiri yang pindah, tidak akan mengubah perjuangan mereka,” katanya.

BP Batam: 2024 baru akan full

Kepala BP Batam sekaligus Wali Kota Batam, Muhammad Rudi mengakui belum banyak warga kampung tua Melayu yang menerima direlokasi – yang ia sebut “digeser”. Tapi, ia yakin situasinya bisa berubah.

“Intinya hari ini boleh orang sepakat setengah, besok boleh tinggal seperempat. Boleh besok tinggal satu, boleh besoknya lagi akan penuh lagi,” kata Rudi dalam wawancara dengan BBC.

Dalam perencanaan terdekat, BP Batam mengubah strategi pendekatan dengan warga.

Fokusnya adalah membangun Kampung Pengembangan Nelayan di Tanjung Banun – yang digadang-gadang kelak menjadi hunian tetap bagi warga 16 kampung tua Melayu.

Dalam keterangan sebelumnya, BP Batam menyatakan akan menyiapkan lahan seluas 450 hektar.

Dalam informasi terakhir, lokasi pemukiman ini masih belum pasti apakah di Tanjung Banun, Pulau Rempang, atau di Dapur Tiga, Pulau Galang.

Rencananya, sebanyak 2.700 rumah tipe 45 akan dibangun, bukan hanya untuk lima kampung prioritas, tapi diperuntukkan bagi warga 16 Kampung Tua Melayu Rempang-Galang.

Setiap rumah berdiri di atas lahan 500 meter persegi. Pemerintah juga menyiapkan instalasi air pipa, listrik, jalan, telekomunikasi, dermaga nelayan, serta pelabuhan bongkar muat.

Bagi keluarga nelayan, pemerintah akan menyiapkan bantuan alat tangkap.

Pembangunan perumahan relokasi itu diperkirakan memakan biaya hingga Rp 1,8 triliun.

“Kalau kita lihat sesuatu, kalau tak ada barang, orang cerita-cerita saja menurut saya tidak menarik. Tapi kalau wujudnya ada rumahnya, saya yakin akan menarik. Itu yang mau kita kejar,” kata Rudi.

Tapi tak ada waktu pasti kapan target pembangunan ini akan selesai. “Sementara nggak usah pakai target. Kita kerja saja, secepat mungkin,” katanya.

Selain itu, untuk membangun kawasan tersebut butuh waktu dan anggaran yang tidak kecil. Rudi bilang, anggarannya akan dirumuskan tahun ini.

“Permasalahannya dimulai 2023, maka 2024 baru akan full (penuh) [anggarannya],” katanya.

Dari anggaran yang tersedia saat ini, tambah Rudi, tim dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sudah meninjau dan segera menyiapkan fasilitas umum dan fasilitas sosial.

“Terutama jalan masuk ke Tanjung Banun,” katanya.

Kondisi saat ini masih mayoritas warga Kampung Tua Melayu menolak direlokasi. Menurut Rudi sikap ini bisa berubah.

“Makanya saya ada perintahkan tidak boleh ada intervensi, tidak boleh memaksa, supaya kondusif ini, suasana akan tenang. Dan mereka dengan suasana tenang, saya kira ini akan normal balik. Dengan normal itu, kita akan mengkomunikasikan,” katanya.


Rudi menambahkan, belum ada perjanjian dengan pihak PT MEG dan pihak investor Xinyi Group terkait prosedur dampak lingkungan dan HAM terkait pendirian pabrik kaca dan panel surya.

“Lahannya belum clear. Kalau sudah clear kita serahkan pada mereka,” kata Rudi.

Pada Senin (2/10/2023), dalam rapat dengar pendapat di Komisi VI DPR, Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia mengakui “ada kesalahan dalam proses komunikasi awal, sehingga terjadi miskomunikasi dan lahirlah (kericuhan)".

Kementerian Investasi telah berbicara dengan Xinyi Group selaku investor untuk menjelaskan kondisi terkini, dan meminta kelenturan waktu.

”Mereka bisa memahami kondisi kita, tetapi mereka juga berpikir agar bisa diselesaikan dengan baik dan lebih cepat lebih baik. Namun, posisinya tidak sampai menekan-nekan kita… Mereka pasti akan mengerti,” kata Bahlil.

DPR meminta pemerintah tidak terburu-buru, dan perlu ada jaminan kepastian kompensasi dan rumah pengganti bagi warga.

‘Terlanjur disuguhi tontonan kekerasan oleh aparat’

Namun, menurut Noval, upaya yang dilakukan pemerintah mengajak dialog dan persuasif warga kampung tua Melayu di Rempang “sudah terlambat”.

Dia bilang, sejak awal warga Rempang sudah “disuguhi tontonan kekerasan oleh aparat”.

“Lalu sosialisasi diskusi apa lagi yang kemudian diharapkan dengan warga? Harusnya tahapan sosialisasi, diskusi, duduk dengan warga itu awal. Sementara pemerintah menggunakan cara-cara intimidasi, dugaan kriminalisasi, pelaporan terhadap warga, bukan cara diskusi,” kata Noval.

Ia menambahkan, relokasi ini bukan sekadar memindahkan tempat tinggal semata, tapi juga terkait dengan mata pencarian, identitas dan harga diri masyarakat Kampung Tua Melayu Pulau Rempang.

Sejak awal banyak yang mengaku tidak dilibatkan dalam perencanaan proyek Rempang Eco-City. “Mereka dianggap tidak ada,” kata Noval.

Keberanian dan rasa percaya diri warga menolak rencana relokasi juga berlipat ganda setelah mengalir dukungan luas dari elemen masyarakat di Indonesia, kata M. Syuzairi, akademisi dari Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH).

Ditambah lagi, kata dia, sejumlah LSM dan Komnas HAM melaporkan adanya dugaan pelanggaran HAM, dan laporan maladministrasi proses Rempang Eco-City oleh Ombudsman RI.

“Karena memang konteksnya adalah Kampung Tua itu harus dilestarikan, harus tetap dipertahankan, karena dia diakui dalam konstitusi UUD 1945. Nah, akhirnya mereka percaya diri, tidak mau direlokasi, tidak mau digeser,” kata M. Syuzairi.

Ia menilai rencana proyek Rempang Eco-City yang diawali dengan investasi pabrik kaca dan panel surya makin kompleks. Ia menyerukan agar pemerintah mengkaji ulang proyek tersebut.

“Karena terlalu dipaksakan terjadi kaos [keadaan kacau balau] atau terjadi penolakan yang besar-besaran, efeknya sangat tidak bagus buat kota Batam,” katanya.

Kembali ke Kampung Tanjung Pasir di mana Zaiton berjanji pada mendiang suaminya untuk menjaga tanah dan keturunannya di sana.

Baginya, tanah peninggalan leluhurnya adalah sejarah, amanat, serta sumber hidup dan kehidupan bagi keluarganya.

“Nenek pikir duit itu tak seberapa banyak, kalau tak tahu menggunakannya akhirnya habis. Kalau rumah pun berapa besar, akhirnya roboh. Tapi kalau ada tanah, kita bisa bangun lagi,” kata Zaiton.

https://regional.kompas.com/read/2023/10/12/132054178/menolak-direlokasi-emak-emak-di-rempang-bertahan-harga-mati

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke