Ibu-ibu berkumpul mengawasi kampung dari petugas-petugas yang datang menawarkan relokasi. Perkumpulan ini menjadi tempat mengadu warga jika memperoleh intimidasi.
Kata Hawa, perkumpulan ini sudah tidak percaya dengan janji-janji yang ditawarkan, hal yang disebutnya sebagai “bertahan harga mati”.
“Jadi kami tak akan beranjak dari tempat kami yang sudah beratus tahun di sini, sebab anak cucu kami nanti macam mana kalau kami lepas ini,” kata perempuan berusia 70 tahun.
Baca juga: Pemerintah Akhirnya Penuhi Sejumlah Tuntutan Warga Rempang, Salah Satunya soal Relokasi
Kelompok ibu-ibu di Pasir Merah ini, kata Hawa, juga menyadari tak banyak warga pria yang bersuara belakangan ini, karena “orang laki-laki ini cepat masuk angin”.
“Kalau kami perempuan tetap pertahankan, karena kami memikirkan anak cucu kami,” tambah Hawa.
Awalnya perempuan di kampung ini tak berani bersuara karena “tak pandai bicara”, tapi mulut mereka terpaksa terbuka lantang karena operasi pendataan untuk relokasi makin gencar.
“Walaupun dia paksa, kami taruhan nyawa saja. Kami tak ada senjata, tak ada apa-apa. Orang dia saja berjalan pakai senjata. Kami (hanya punya) tangan mulut saja.
“Jadi kami tidak akan menang melawan ini orang, tapi Allah tetap ada pada orang yang benar. Yang menzalimi nanti tetap dapat hidayahnya,” kata Hawa.
Kemunculan ibu-ibu kampung tua Melayu yang terus menyuarakan penolakan terhadap relokasi tak luput dari peristiwa kericuhan sebelumnya, dan pengerahan aparat gabungan sampai ke perkampungan.
Noval Setiawan, pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru yang berada di salah satu posko bantuan hukum, menilai kemunculan perlawanan ibu-ibu kampung tua Melayu sebagai bentuk mekanisme pertahanan sewajarnya.
“Ya mereka [ibu-ibu] bersuara karena anak-anak mereka takut,” kata Noval, sambil menambahkan kaum ibu turut mengambil peran lebih melindungi keluarganya, dan memikirkan masa depan anak-anaknya.
Baca juga: Temuan Ombudsman di Rempang: Warga Kekurangan Bahan Pangan, BP Batam Belum Kantongi HPL
Di sisi lain, proses pendataan warga untuk direlokasi terus berjalan. Data per 27 September dari BP Batam menunjukkan sudah terdapat 317 keluarga menyetujui untuk direlokasi.
Dari ratusan keluarga yang bersedia direlokasi, sejauh ini baru sekitar 16 keluarga yang sudah lengkap validasi datanya dan menempati hunian sementara.
Mereka diberikan pilihan untuk menempati sejumlah hunian sementara yang disediakan atau menyewa tempat lain secara mandiri dengan biaya yang ditanggung BP Batam sebesar Rp 1,2 juta per bulan.
BBC menemui keluarga Angga Wildan Pratama yang menerima relokasi, dan sudah menempati sebuah rumah kontrakan. Ia sejak kecil dan besar di Kampung Sembulang Tanjung.