KOMPAS.com - Sejumlah warga Nagari Air Bangis, Sumatera Barat, mendesak pemerintah agar segera menyelesaikan konflik lahan di wilayahnya. Masyarakat khawatir jika lahan itu dijadikan kawasan industri petrokimia dan masuk sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), mereka bakal digusur dari lokasi yang selama ini menjadi sumber nafkah.
Setelah menggelar unjuk rasa di Kota Padang awal Agustus lalu, perwakilan warga Air Bangis mengadukan persoalannya ke Komnas HAM dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang di Jakarta.
Pada Senin (11/09), Komnas HAM telah mengeluarkan "surat perlindungan" kepada warga Air Bangis dan pendampingnya.
Namun, dalam pertemuan dengan perwakilan warga pada Selasa (19/09), Kementerian Agraria dan Tata Ruang mengaku "belum bisa menentukan" status kepemilikan lahan di Air Bangis.
Baca juga: Penolakan Proyek Strategis Nasional Berujung Warga Air Bangis Diusir dari Kantor Gubernur Sumbar
Warga Air Bangis berkukuh sudah turun temurun tinggal di lahan perkebunan di sana.
Mereka mengeklaim baru mengetahui dalam beberapa tahun terakhir bahwa lahan yang mereka kelola ternyata masuk dalam kawasan hutan produksi.
Di lokasi itu rencananya akan dibangun, antara lain, kawasan industri yang mencakup kilang minyak, petrokimia, pesawat terbang, smelter nikel, dan lain-lain.
Usai pertemuan dengan perwakilan warga, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengatakan status kepemilikan lahan tersebut belum bisa ditentukan karena masih ada perbedaan data.
“Saya sudah minta teman-teman di Kanwil untuk melakukan inventarisasi menyediakan data yang lebih baik dalam satu-dua minggu ini.
"Kalau datanya sudah relatif solid nanti kita bertemu lagi untuk adu data dan kita coba cari,” ujar Wakil Menteri ATR/BPN, Raja Juli Antoni, usai melakukan audiensi dengan pihak warga, Selasa (19/09) sore.
Ia mengatakan bahwa sebagian Hak Guna Usaha memang berada di luar persetujuan dengan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), koperasi yang berada di kawasan tersebut. Namun, sebagian besar dari lahan itu merupakan kawasan perhutanan, kata Raja.
“Dari kasus ini tampaknya nggak banyak yang berkaitan dengan kami. Karena misalkan dengan kawasan hutan, itu KLHK. Dan dengan Hutan Tanaman Rakyat (HTR),” katanya.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, tak sepakat dengan apa yang diutarakan Raja.
Meskipun ia mengakui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memiliki peran besar dalam penentuan status lahan, ia menilai Kementerian ATR/BPN menjadi ‘muara terakhir’ dalam penanganan konflik agraria di Air Bangis.
“Sebelum ini berakhir ricuh, ketika PSN-nya seburuk-buruknya terjadi, ATR-BPN sudah tahu bahwa ketika mengeluarkan hak pengelolaan di wilayah kawasan itu, maka ini akan berdampak konflik pada orang yang lebih luas lagi,” kata Uli.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.