PERILAKU membuang sampah sembarangan oleh warga juga industri, dan belum adanya sarana serta mekanisme pengolahan atau daur ulang sampah yang memadai, membuat probabilitas terbuangnya sampah ke laut di kepulauan Maluku makin tinggi.
Faktanya, laut di kepulauan Maluku semakin tercemar. Sebagai contoh, baru-baru ini, 5 Agustus 2023, Kapal Cepat Cantika 88 yang mengangkut ratusan penumpang dari Masohi di Pulau Seram tujuan Pelabuhan Tulehu di Pulau Ambon, alami gangguan akibat sampah plastik yang melilit baling-baling mesin kapal.
Selain sampah yang mengapung, saat ini dengan mudah disaksikan, pantai-pantai yang indah di berbagai pulau di Maluku Raya (Maluku dan Maluku Utara) terlihat kotor oleh berbagai jenis sampah yang berserakan, terutama sampah plastik.
Sebabnya jelas, intensitas dan volume sampah plastik di laut yang kian mengkhawatirkan. Sesuatu yang wajar, pasalnya saban hari masyarakat tanpa rasa bersalah membuang sampah di pantai atau laut, di banyak tempat di kepulauan Maluku.
Banyak pihak tentu bertanggung jawab akan kondisi ini. Selain masih minimnya kesadaran masyarakat, yang menjadi persoalan penting dan mendasar adalah kurang tanggap dan tidak cakapnya pemerintah di daerah. Semua terkesan acuh, apatis dan masa bodoh.
Belum tersedianya fasilitas pembuangan sampah yang memadai, kurangnya penyuluhan atau program serta regulasi yang bisa mendorong dan meningkatkan kesadaran masyarakat, adalah realitas yang menunjukan bahwa pemerintah, termasuk organisasi masyarakat sipil masih lalai atau tak hadir dalam menyikapi persoalan lingkungan ini.
Belum banyak yang melihat sampah, utamanya plastik sebagai persoalan besar, atau mau menjadikan isu persampahan sebagai agenda prioritas, meski memiliki dampak luas terhadap ekosistem di laut dan pulau, seperti yang saya tulis di kolom ini dalam artikel “Peringatan Hari Laut Sedunia Bagi Kepulauan Maluku” (9 Juni 2023).
Padahal bila ditelisik, kebiasaan membuang sampah ke pantai atau laut sejatinya adalah hal lumrah di kalangan masyarakat di kepulauan Maluku sejak lama.
Namun dahulu bukan menjadi satu persoalan besar, ketika plastik belum dominan. Sebab yang dibuang lebih banyak sampah organik, seperti daun-daunan dan ranting kayu yang gampang diurai alam.
Kondisi kini berbeda. Saat ini plastik mendominasi sampah rumah tangga. Selain penting dalam kehidupan manusia, proses pembuatannya mudah, murah, sifatnya yang gampang dibentuk dan tahan lama, kegunaannya yang banyak, dari bungkus permen, hingga komponen pesawat terbang.
Meski begitu, di balik keunggulannya, plastik punya efek samping yang besar bagi lingkungan karena sulit terurai secara alami.
Keni Vidilaseris, peneliti di Departemen Biokimia, Universitas Helsinki, menyebutkan bahwa dibutuhkan waktu sekitar 500 sampai 1.000 tahun agar plastik bisa terurai di alam.
Menjadi wajar kemudian mengapa sampah plastik menjadi ancaman serius bagi ekologi dan lingkungan hidup. Karena itu pula di berbagai tempat, terutama di negara-negara maju, upaya penanggulangan sampah plastik menjadi satu prioritas.
Di Indonesia, sekalipun belum signifikan, sejumlah upaya penanggulangan sampah plastik telah dilakukan. Seperti mengadakan bank sampah untuk memudahkan aktivitas pengumpulan sampah plastik, membuat kerajinan berbahan sampah plastik, hingga daur ulang plastik dalam berbagai produk.
Selain itu, yang perlu terus dilakukan adalah mendorong kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya, juga meminimalkan penggunaan plastik.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.