SUMBAWA, KOMPAS.com - F (21) masih mengingat peristiwa getir yang dialaminya pada usia 15 tahun. Saat itu ia masih duduk di bangku kelas tiga SMP di Kecamatan Utan, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Di usia yang masih belia, ia harus menerima kenyataan pahit menjadi anak berkonflik dengan hukum (ABH).
F divonis bersalah oleh Hakim di Pengadilan Negeri Sumbawa pada 2019 atas kasus pembunuhan terhadap pelaku H (44).
H mengancam menyebarkan video saat berhubungan dengan F. Padahal H sudah melakukan kekerasan seksual berulang kali kepadanya.
F yang berpikir pendek menusuk pisau tubuh H hingga tewas karena kehabisan darah. Aksi itu dilakukan usai berhubungan layaknya suami istri di pinggir pantai.
Apa yang dialami F membuktikan kerentanan pada anak perempuan sebagai korban sekaligus tersangka dalam waktu yang bersamaan.
Setelah menjadi anak terdakwa, F menjalani hukuman di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Klas II Lombok Tengah. Hari berganti hari, tahun ke tahun dijalani F dengan tabah.
Selama menjadi anak didik binaan (Andikpas) LPKA, ia sempat ketakutan dan frustasi. F merasa bersalah dan berdosa. Ia takut tak diterima lagi oleh orangtuanya. Ketakutan terbesar juga dirasakan saat masyarakat di sekitar tidak bisa menerimanya lagi.
Namun, banyak orang di LPKA mendukungnya hingga ia berusaha bangkit pasca-kejadian yang mengguncang batinnya tersebut. Meski tetap saja, F tidak bisa begitu saja sembuh dari trauma.
Baca juga: Kisah Anak di Dalam Lembaga Permasyarakatan, Rindu Keluarga, Tidak Rindu Teman Gengnya
Selain mengikuti konseling terapi psikologis, F rajin beribadah. Ia percaya obat penyembuh jiwa dan luka batin yang menganga adalah dengan bersimpuh memohon ampun kepada Allah SWT.
Beragam rutinitas dijalani dengan semangat, dari pagi hingga malam semua kegiatan di LPKA tidak ada yang sia-sia.
F masih bisa melanjutkan pendidikan hingga tamat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Tiap tahun ia mendapatkan remisi seperti ketika hari anak nasional, hari kemerdekaan, maupun hari besar lainnya.
Tanpa terasa enam bulan waktu tersisa, ia akan menjalani masa pelatihan peningkatan kapasitas soft skill untuk melanjutkan kehidupan di masa depan seperti menjahit, boga dan lainnya di Sentra Paramitha Mataram.
F akhirnya bebas pada awal 2023. Ia bisa melanjutkan kehidupan dan kembali ke kampung halaman.
"Saya ingin hidup lebih baik. Masa depan saya masih panjang," kata F yang dikonfirmasi akhir Agustus 2023.
Baca juga: Kisah Anak Perempuan di Aceh yang Disekap dan Diperkosa Sejumlah Lelaki
Trauma akan tetap dijalani seumur hidup, F tidak ingin menceritakan lagi proses pahit yang sudah dilalui setelah kasus tersebut.
Ia ingin menjadikan itu pembelajaran. Ia ingin bertumbuh menjadi dewasa tanpa penyesalan dan menyalakan diri sendiri atas takdir yang maha kuasa.
"Saya yang antar F ke Sentra Paramitha saat proses penyidikan dilakukan PPA Polres Sumbawa," kata Fatriatulrahma, Sekretaris Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sumbawa, Sabtu (26/8/2023).
Pilihan untuk rehabilitasi dan terapi penyembuhan trauma bisa didapatkan di Sentra Paramitha. Pilihan itu diambil setelah adanya rekomendasi dari penyidik PPA Reskrim Polres Sumbawa dan Pembimbing Kemasyarakatan Bapas.
Selain itu, di Sumbawa saat itu belum ada shelter UPTD PPA seperti milik Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2KBP3A) sekarang ini.
Menurutnya, anak rentan menjadi korban berkali-kali saat dihadapkan pada kasus kekerasan seksual. Dan tak jarang pula mereka akan menjadi pelaku saat ada ancaman atas keselamatannya.
"Kesalahan apapun yang dilakukan anak, mereka tetap tidak bisa dinyatakan bersalah sepenuhnya. Undang-Undang Perlindungan Anak dan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) amanatkan kepentingan terbaik bagi anak," kata Atul sapaan akrabnya.
Saat ancaman hukuman 7 tahun atau lebih, diversi atas kasus ABH tidak bisa dilakukan baik di kepolisian maupun kejaksaan. Kecuali hakim, karena memiliki hak prerogatif atas itu.
"Undang-Undang SPPA membatasi jerat hukuman bagi anak berkonflik hukum maksimal 7 tahun. Lebih dari itu tidak bisa," jelas Kanit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Reskrim Polres Sumbawa Aiptu Arifin Setioko Sabtu (26/8/2023).
Penyidik dihadapkan pada batasan waktu yang cukup singkat selama proses penyidikan yaitu 7 hari dan 8 hari di Kejaksaan sehingga dalam waktu 15 hari berkas perkara ABH harus dinyatakan P21.
"Saat kasus F tantangannya luar biasa. Saya sampai ke Denpasar untuk uji laboratorium sampel darah, sidik jari dan lainnya karena alat bukti pisau dibuang F ke laut," papar Arifin.
Pertimbangan utama dalam penanganan ABH adalah kepentingan terbaik tentu memperhatikan masa depan yang akan dijalani oleh anak tersebut masih panjang.
Baca juga: Kunjungi Lapas Anak Blitar, Wamen Hukum dan HAM: Lapasnya Sangat Bersih, Sangat Manusiawi
"Apapun kesalahan anak. Pasti dampak dari perlakuan orang dewasa yang ada di sekitarnya. Itulah mengapa penting peran dan fungsi keluarga dalam hal ini orangtua dalam mendidik anak," ucap Arifin.
Penanganan ABH membutuhkan perhatian dari semua pemangku kepentingan, tidak bisa hanya satu pihak. Pemerintah, NGO maupun orangtua harus duduk bersama memikirkan dan memutuskan hal terbaik bagi anak.
Untuk menuju Kabupaten Layak Anak di Kabupaten Sumbawa, penanganan ABH harus sejalan dengan kegiatan lainnya yang menjadi prioritas utama.
"Pemerintah harus membina ABH. Gedung dan petugas seperti di Sentra Paramitha mesti dibangun di Pulau Sumbawa agar ABH bisa dibina supaya tidak mengulang perbuatannya," harap Arifin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.