"Cuman di Pekalongan ini beban bangunannya belum terlalu banyak seperti di Jakarta, nah nanti kita cari faktornya seperti apa penyebabnya, itu mungkin dalam bentuk kajian yang perlu diketahui, sebab nanti untuk ketepatan memitigasi" tambahnya.
Tak hanya di Stadion Hoegeng, William juga mengajak Kompas.com ke lokasi penurunan tanah lainnya di wilayah Pekalongan, yakni di daerah Panjang Baru, Kecamatan Pekalongan Utara.
Berdasarkan pantauan, lokasi ini merupakan daerah pinggir pantai, ada satu wilayah yang ditunjuk William, sebuah lokasi yang kini telah terendam air pantai, tampak beberapa sisa pohon bakau dan sejumlah rumah yang tergerus dan terendam air laut.
William menjelaskan bahwa awalnya wilayah yang terendam itu merupakan lokasi sawah hingga tambak, namun kondisi tersebut berubah setelah adanya perisitiwa rob pada tahun 2012 lalu.
"Kejadiannya rob naik pada tahun 2012, penurunan tanah di tahun 2013, tahun 2019 diperkirakan dampak puncaknya terasa," ucap William.
"Sawah mulanya berseberangan dengan pantai, hingga sampai batas yang cukup jauh, terbentang yang hijau. Tapi dulu belum ada rob jadi tidak ada pasir, lama-lama naik dan merendam mirip seperti Ancol," ucap William.
Baca juga: Warga Diminta Gunakan Air PDAM untuk Atasi Penurunan Tanah, tapi Banyak yang Tak Mau
Lokasi yang kini terendam itu pun awalnya terdapat pemukiman, akan tetapi sebagian pemukiman kini banyak yang ditinggalkan lantaran tergerus air laut hingga terendam.
Sebagai salah satu mitigasi, Kementerian Pekerjaan Umum & Perumahan Rakyat (PUPR) bahkan membuat tanggul guna menahan air laut naik kedaratan.
"Air bisa melebihi tanggul, penurunan berapa centimeter belum ada data tapi sudah dimonitoring dari tahun kemarin sampai intensif tiap tahun," tahun.
Meski begitu, William belum mengetahui betul berapa luasan wilayah yang terendam, namun bila melihat secara kasat mata, luasan daerah terendam cukup luas. Sejumlah warga pun terlihat tengah memancing ikan dengan duduk diatas tanggul, hingga menggunakan perahu sebagai alat bantu untuk mencari ikan di sekitar lokasi terendam.
"Masih ada rumah yang ditinggalkan karena tidak mampu untuk urug rumah, maka saya juga sempat ngobrol ternyata rumah ini dibiarkan juga masih berkaitan dengan mata pencaharian," katanya.
Secara umum penurunan muka tanah di Indonesia ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor alamiah (non antropogenik) dan antropogenik.
Faktor alamiah (non-antropogenik) dapat terjadi karena pemadatan alami (kompaksi alamiah) dan pengaruh tektonik (sesar), sedangkan faktor antropogenik merupakan faktor yang disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti ekstraksi air tanah yang berlebihan, pembebanan, eksploitasi minyak dan gas bumi, kegiatan penambangan bawah tanah, dan lain-lain.
Fenomena penurunan muka tanah biasanya terjadi pada wilayah dengan kondisi material geologi tertentu, seperti wilayah pesisir, migas, pertambangan, batugamping, danau dan rawa.
Dampak penurunan tanah mengakibatkan turunnya muka tanah, seperti perubahan lahan, meluasnya wilayah genangan banjir dan rob.
"Dampaknya bangunan rusak, adanya perubahan mata pencaharian. Mungkin dia petani jadi tambak, tambak kelelep lagi kalau bisa ya jadi nelayan, tapi kalau gak ya ilang pekerjaanya. Itu memang dampak paling besar tapi lambat prosesnya," ucap William.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.