Salin Artikel

Meninjau Lokasi Penurunan Tanah di Pekalongan, dari Stadion Sepak Bola hingga Daerah Permukiman Terendam

Saat ini, Badan Geologi masih melakukan pengkajian terkait faktor penyebab fenomena itu, nantinya data-data yang didapat akan menjadi rujukan dalam ketepatan mitigasi dampak dari penurunan tanah.

Kompas.com berkesempatan mengunjungi beberapa lokasi terdampak di wilayah Pekalongan. Seperti yang terjadi di Stasiun Pengamatan Permukaan Tanah (SPPT) Stadion Hoegeng, yang saat ini kembali dilakukan pengeboran teknik dengan kedalaman hingga 300 meter. Rencana, pengeboran ini akan selesai hingga akhir 2023.

"Rencana kita akan melakukan (pengeboran) sampai kedalaman 300 meter," kata Ketua Tim Infrastruktur Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan Badan Geologi, William Pradana Solulu yang ditemui di lokasi pengeboran, Jalan P Kemerdekaan, Kraton Kidul, Kecamatan Pekalongan, Minggu (30/7/2023).

William menjelaskan, Stadion Hoegeng ini sudah mengalami bentukan penurunan tanah. Hal itu dapat dilihat dari kondisi bangunan yang mulai retak, hingga bagian tanah stadion yang bergelombang. Pembangunan SPPPT sendiri atas dasar rekomendasi Pemerintah daerah.

"Di sini cukup representatif untuk menurunkan alat seperti ini, disini sudah ada beberapa patok, ada yang dibangun tahun 2020 itu kedalaman 100 meter, ada patok di tahun yang sama, itu kedalaman 45 meter, sekarang ini rencana 300 meter," ucap William.

Pengeboran yang dilakukan tim Geologi ini guna mengetahui bagaimana pengaruh air tanah terhadap penurunan di lokasi terdampak.

Alat bor tersebut nantinya akan mengambil inti material tanah untuk melihat sejauh mana lapisan lempungnya, serta mencari lapisan keras yang dianggap tim Geologi sebagai basement atau pondasi dasar.

"Cara mengetahuinya itu dengan deskripsi (ambil material inti lapisan tanah) tadi, jadi kita menargetkan, meskipun nanti mungkin masih menggantung di 300 meter itu belum menjumpai lapisan yang betul masif, mungkin nanti setiap meter kita deskripsi sampai ada kesimpulan," ucapnya.

William mengatakan, Badan Geologi telah membangun 10 SPPT di Kota dan Kabupaten Pekalongan dengan fluktuasi penurunan tanah yang variatif.

Namun dari beberapa titik SPPT ini, penurunan tanah di Stadion Hoegeng merupakan salah satu yang tertinggi. "Di sini itu termasuk yang paling tinggi," ujar William.

Dalam kurun waktu tiga tahun, dari 2020-2023 saja, Stadion Hoegeng mengalami penurunan tanah hingga 180 milimeter. "Dari data yang ada itu sudah 180 mm, itu tiga tahun, per tahun itu jatuhnya sekitar 55 mm," ucapnya.

Akan tetapi sejauh ini, Tim Geologi belum dapat menyimpulkan penyebab utama penurunan tanah di wilayah Pekalongan. Pasalnya masih dalam tahap pengkajian.

Adapun beberapa faktor penyebab seperti pengambilan air tanah berlebih, konsolidasi bawah tanah yang tidak padat atau tanah lempung, adanya beban bangunan, hingga faktor geologi pun belum diketahui berapa persen kontribusinya terhadap penurunan tanah.

"Kita belum menyimpulkan masih pengumpulan data, apakah memang pengaruh air tanah, atau sifat dari pada tanah alamiah, atau konsolidasi tanah lempung atau beban bangunan di atasnya," ucap William.

"Cuman di Pekalongan ini beban bangunannya belum terlalu banyak seperti di Jakarta, nah nanti kita cari faktornya seperti apa penyebabnya, itu mungkin dalam bentuk kajian yang perlu diketahui, sebab nanti untuk ketepatan memitigasi" tambahnya.

Tak hanya di Stadion Hoegeng, William juga mengajak Kompas.com ke lokasi penurunan tanah lainnya di wilayah Pekalongan, yakni di daerah Panjang Baru, Kecamatan Pekalongan Utara.

Berdasarkan pantauan, lokasi ini merupakan daerah pinggir pantai, ada satu wilayah yang ditunjuk William, sebuah lokasi yang kini telah terendam air pantai, tampak beberapa sisa pohon bakau dan sejumlah rumah yang tergerus dan terendam air laut.

William menjelaskan bahwa awalnya wilayah yang terendam itu merupakan lokasi sawah hingga tambak, namun kondisi tersebut berubah setelah adanya perisitiwa rob pada tahun 2012 lalu.

"Kejadiannya rob naik pada tahun 2012, penurunan tanah di tahun 2013, tahun 2019 diperkirakan dampak puncaknya terasa," ucap William.

"Sawah mulanya berseberangan dengan pantai, hingga sampai batas yang cukup jauh, terbentang yang hijau. Tapi dulu belum ada rob jadi tidak ada pasir, lama-lama naik dan merendam mirip seperti Ancol," ucap William.

Lokasi yang kini terendam itu pun awalnya terdapat pemukiman, akan tetapi sebagian pemukiman kini banyak yang ditinggalkan lantaran tergerus air laut hingga terendam.

Sebagai salah satu mitigasi, Kementerian Pekerjaan Umum & Perumahan Rakyat (PUPR) bahkan membuat tanggul guna menahan air laut naik kedaratan.

"Air bisa melebihi tanggul, penurunan berapa centimeter belum ada data tapi sudah dimonitoring dari tahun kemarin sampai intensif tiap tahun," tahun.

Meski begitu, William belum mengetahui betul berapa luasan wilayah yang terendam, namun bila melihat secara kasat mata, luasan daerah terendam cukup luas. Sejumlah warga pun terlihat tengah memancing ikan dengan duduk diatas tanggul, hingga menggunakan perahu sebagai alat bantu untuk mencari ikan di sekitar lokasi terendam.

"Masih ada rumah yang ditinggalkan karena tidak mampu untuk urug rumah, maka saya juga sempat ngobrol ternyata rumah ini dibiarkan juga masih berkaitan dengan mata pencaharian," katanya.

Secara umum penurunan muka tanah di Indonesia ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor alamiah (non antropogenik) dan antropogenik.

Faktor alamiah (non-antropogenik) dapat terjadi karena pemadatan alami (kompaksi alamiah) dan pengaruh tektonik (sesar), sedangkan faktor antropogenik merupakan faktor yang disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti ekstraksi air tanah yang berlebihan, pembebanan, eksploitasi minyak dan gas bumi, kegiatan penambangan bawah tanah, dan lain-lain.

Fenomena penurunan muka tanah biasanya terjadi pada wilayah dengan kondisi material geologi tertentu, seperti wilayah pesisir, migas, pertambangan, batugamping, danau dan rawa.

Dampak penurunan tanah mengakibatkan turunnya muka tanah, seperti perubahan lahan, meluasnya wilayah genangan banjir dan rob.

"Dampaknya bangunan rusak, adanya perubahan mata pencaharian. Mungkin dia petani jadi tambak, tambak kelelep lagi kalau bisa ya jadi nelayan, tapi kalau gak ya ilang pekerjaanya. Itu memang dampak paling besar tapi lambat prosesnya," ucap William.

https://regional.kompas.com/read/2023/07/30/222222978/meninjau-lokasi-penurunan-tanah-di-pekalongan-dari-stadion-sepak-bola

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke