Salah satu hal yang dianggap membuat angka kasus kekerasan seksual terhadap anak terus tinggi di Aceh, menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul, adalah penerapan hukum Qanun Jinayat karena “tidak menimbulkan efek jera”.
“Qanun Jinayat hanya berbicara tentang bagaimana menghukum pelaku, tapi sama sekali tidak menyentuh bagaimana melindungi anak sebagai korban,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul.
Syahrul mencontohkan pasal pelecehan seksual terhadap anak. Pasal itu hanya mengatur bagaimana menghukum pelaku, dengan menyebutkan jumlah hukuman cambuk, atau berapa lama hukuman penjara, atau berapa jumlah denda.
Dalam penerapannya, tuntutan hukuman hanya memilih satu dari ketiganya. Jika tuntutan dan putusannya berupa cambuk, tidak ada hukuman penjara atau denda.
Baca juga: Oknum ASN Asal Aceh Dijatuhi Hukuman 100 Kali Cambuk dan 8 Bulan Penjara, Ini Penyebabnya
Dan banyak pelanggaran yang sebutkan dalam Qanun Jinayat ini hanya berujung pada hukuman cambuk. Setelah dicambuk, pelaku bebas beraktivitas lagi.
Bahkan jika pelaku merupakan orang dekat korban, mereka bisa hidup dalam satu lingkungan, padahal korban belum pulih.
Ini salah satu hal yang oleh aktivis perempuan dan anak dianggap “tidak menimbulkan efek jera” dan bisa melanggengkan kekerasan seksual.
“Tahun 2021, kita berhasil men-challenge publik dan DPRA [Dewan Perwakilan Rakyat Aceh] untuk melihat ini secara gamblang dan nyata bahwa kebijakan ini tidak bisa dihindari, memiliki dampak, memiliki sumbangsih yang begitu besar terhadap kekerasan seksual yang ada di Aceh. Maka kemudian sepakat publik dan DPRA untuk merevisi,” klaim Syahrul.
Ada beberapa hal yang diperjuangkan dalam revisi Qanun Jinayat.
Pertama, memperberat hukuman pelaku. Tidak ada lagi pilihan cambuk atau penjara, tapi cambuk atau denda, ditambah hukuman penjara. Dendanya pun ditambah sepuluh kali lipat.
Kedua, terkait hak pemulihan korban berupa restitusi dan pemulihan psikologis yang dibebankan kepada negara.
Ketiga, yaitu jaminan perlindungan lingkungan sosial agar korban tidak disalahkan dan dirundung di masyarakat, serta beberapa hal lainnya.
Perubahan yang diusulkan, kata Syahrul, mengadopsi Undang-undang Perlindungan Anak dan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Dalam tahap ini, pemerintah Aceh meminta Kemendagri untuk melakukan fasilitasi terhadap revisi Qanun Jinayat.
Fasilitasi adalah bagian dari tahap-tahap yang harus dilewati oleh pemerintah daerah ketika membentuk produk hukum daerah, termasuk mengubahnya.
Hampir delapan bulan berlalu, tetapi hasil fasilitasi Kemendagri tidak kunjung keluar. Artinya, revisi masih diproses dan Aceh masih menggunakan Qanun Jinayat yang lama.
Kepada BBC Indonesia, Ketua Komisi I DPRA, Iskandar Usman Al Farlaky, menyampaikan harapannya agar pemerintah pusat segera melakukan fasilitasi.
Sebab, menurut dia, cara inilah “yang dibutuhkan masyarakat Aceh” untuk menekan angka kekerasan seksual di Nanggroe Aceh Darussalam.
Baca juga: 9 Pelaku Pencabulan Anak dan 2 Penjudi Dicambuk di Aceh Utara, Terbanyak 100 Cambuk
“Jika pemerintah pusat abai terhadap ini, berarti harus ikut bertanggung jawab, ikut menanggung dosa terhadap apa yang dilakukan oleh pelaku, terhadap para korban. Seharusnya pemerintah hadir, bukan abai terhadap kasus yang terjadi seperti ini di Aceh,” ujar Usman.
BBC Indonesia mendatangi Kemendagri untuk mencari tahu mengapa revisi Qanun Jinayat belum mendapatkan lampu hijau dari pemerintah pusat.
Kami menemui Kepala Subdirektorat Wilayah I Direktorat Produk Hukum Daerah Dirjen Otonomi Daerah, Slamet Endarto.
Dia mengatakan proses pembahasan masih dilakukan bersama para pakar, mulai dari pakar hukum tata negara, pakar hukum pidana, Komnas HAM, Komnas Perempuan, dayah, hingga beberapa kementerian terkait.
Kemendagri, kata dia, ingin menjalani proses revisi hukum khusus Aceh ini dengan “hati-hati”, mendengarkan masukan dari semua pihak, bukan menolak revisi maupun menghambat.
Baca juga: Dukun Cabul di Aceh Dicambuk 25 Kali dan Penjara 5 Bulan
Itu dilakukan agar perubahan yang terjadi nanti tidak membuat “gaduh” di masyarakat.
Endarto mengatakan ada beberapa hal yang masih harus disesuaikan. Salah satunya, revisi qanun belum menyesuaikan Undang-undang TPKS.
“Kalau seandainya di qanun itu tidak mewadahi terkait dengan sarana dan prasarana, maka harus melihat di TPKS karena di TPKS sudah ada sarana dan prasarana untuk menampung pra maupun pasca terkait kejahatan seksual. Ini yang belum dituangkan,” papar Endarto.
Targetnya, pada Agustus atau September 2023 mendatang Kemendagri akan melayangkan surat balasan ke Aceh untuk segera membahas dan mengesahkan revisi qanun yang sudah difasilitasi pemerintah pusat.