Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
M. Ikhsan Tualeka
Pegiat Perubahan Sosial

Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com - Instagram: @ikhsan_tualeka

Peringatan Hari Laut Sedunia bagi Kepulauan Maluku

Kompas.com - 09/06/2023, 16:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Berbagai publikasi ilmiah menyebutkan, untuk botol plastik, sedotan plastik hingga tas plastik yang digunakan sehari-hari membutuhkan waktu sekitar 10 sampai 1.000 tahun untuk dapat terurai.

Begitu pula dengan popok bayi dan pembalut wanita. Benda-benda yang seringkali ditemukan oleh para penyelam karena kerap tersangkut di terumbu karang, butuh antara 250 hingga 800 tahun untuk dapat terurai.

Sedangkan bekas minuman kaleng atau soft drink butuh 200 tahun untuk bisa terurai. Ini belum termasuk berbagai jenis sampah lainnya seperti styrofoam, pakaian bekas, sol sepatu hingga puntung rokok yang juga perlu waktu lama agar terurai.

Kerusakan laut juga dari sektor industri, seperti akibat pembuangan limbah pengolahan nikel (tailing) ke laut oleh perusahaan smelter di Pulau Obi, Halmahera Selatan yang baru-baru ini viral dan juga di Pulau Buru akibat penambangan emas liar menggunakan zat berbahaya di Gunung Botak.

Hal lainnya yang merusak ekosistem laut adalah masih maraknya penangkapan ikan menggunakan bom ikan. Warga biasanya memakai bahan peledak dari pupuk, belerang korek api, serta bubuk mesiu dari peluru atau bom sisa perang dunia kedua.

Dampaknya jelas, tidak hanya ikan-ikan kecil yang belum waktunya diambil ikut mati, namun biota-biota yang ada di zona intertidal, seperti terumbu karang hidup, terumbu karang mati, lamur atau rumput laut, makroalga dan kerang-kerangan ikut rusak.

Ironisnya, mengembalikan kondisi seperti semula tidaklah mudah. Oleh para ahli disebutkan, untuk karang, dalam waktu satu tahun, rata-rata karang hanya menghasilkan batu karang setinggi 1 cm saja.

Sehingga selama 100 tahun karang batu hanya dapat tumbuh 100 cm. Itu artinya, jika karang 5 meter dirusak oleh para pencari ikan dengan cara yang tak bertanggung jawab, maka diperlukan waktu hingga 500 tahun agar dapat kembali seperti semula.

Inilah yang belum dipahami dan disadari oleh banyak masyarakat pesisir, orang-orang kepulauan. Memang ada mekanisme kearifan lokal seperti Sasi laut yang sejauh ini ikut melestarikan laut, tapi kalah oleh masifnya perilaku warga yang menyimpang.

Selain rusaknya alam, habitat dan ekosistem laut, perilaku buruk tentu saja berdampak pada sektor pariwisata bahari yang merupakan keunggulan komparatif dari wilayah atau daerah kepulauan. Belum banyak yang menyadarinya.

Pesona alam bawah laut yang indah adalah potensi besar industri pariwisata yang menjanjikan secara ekonomi bila dikelola dengan optimal, apalagi ditunjang iklim tropis yang everyday is summer.

Memang masyarakat kepulauan Maluku belum banyak yang dapat menikmati alam bawah laut yang lebih dalam, karena memerlukan peralatan khusus untuk penyelaman, yang harganya pun tidak murah.

Namun bagi wisatawan pecinta underwater diving, menikmati keindahan bawah laut termasuk di kepulauan Maluku adalah impian. Mereka bahkan perlu merogoh kocek yang tidak sedikit untuk sampai di spot diving, apalagi turis asing, butuh effort besar.

Namun melihat realitas yang ada, kerusakan alam dan ekosistem laut bila terus dibiarkan, tentu saja laut kepulauan Maluku yang menyimpan kekayaan hayati, lumbung ikan dan destinasi wisata, akan perlahan pudar, hilang potensi dan keunggulannya.

Sudah waktunya berbenah, peringatan Hari Laut Sedunia dengan tema yang diusung tahun ini harusnya melecut kita semua untuk sama-sama mengantisipasi kondisi yang ada.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com