Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Trias Kuncahyono
Wartawan dan Penulis Buku

Trias Kuncahyono, lahir di Yogyakarta, 1958, wartawan Kompas 1988-2018, nulis sejumlah buku antara lain Jerusalem, Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir; Turki, Revolusi Tak Pernah Henti; Tahrir Square, Jantung Revolusi Mesir; Kredensial, Kearifan di Masa Pagebluk; dan Pilgrim.

Ada Matahari di Agats

Kompas.com - 07/06/2023, 09:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PAGI itu, Timika tidak hanya diselimuti mendung, tapi hujan gerimis. Pesawat Twin Otter yang kami tumpangi (14 orang) meninggalkan Bandara Mozes Kilangin, Timika ketika rintik hujan makin deras. Maka, hujan mengiringi penerbangan kami dari Timika ke Ewer, Asmat.

Sebenarnya, saat itu, saya agak-agak kurang nyaman naik pesawat kecil, apalagi di tengah hujan, meski hanya gerimis. Apalagi awan kelabu sepenuhnya menguasai Timika.

Namun, ketika saya lihat penumpang yang lain, satu rombongan, termasuk Menteri Sosial Tri Rismaharini, tenang-tenang saja, bahkan di pesawat terus berbicara dan tertawa, saya jadi tenang.

Tetapi, yang saya bayangkan, benar terjadi setelah pesawat kecil itu terbang membelah langit Timika, menerjang arak-arak gumpalan awan-mega. Pesawat miring ke kiri, miring ke kanan. Bergetar-getar. Dan, suara mesinnya menderu-nderu merayap ke telinga.

Meski pesawat tidak terbang tinggi, tapi pandangan mata tak mampu menembus hamparan awan-mega di bawahnya. Semua abu-abu. Saya tidak tahu pemandangannya seperti apa kawasan sekitar bandara. Tidak jelas, tertutup awan.

*
Di atas Timika, ketika pesawat kecil itu terbang menderu-nderu, miring ke kiri miring ke kanan, sempat menyusup pertanyaan dalam benak: "Mengapa Mensos berpayah-payah meninggalkan Jakarta mengunjungi Agats, Asmat?"

Jarak Jakarta-Agats sekitar 3.500 kilometer. Jauh! Lebih tiga kali lipat jarak dari Anyer (Banten) ke Penarukan (Jatim).

Agats adalah Indonesia! Itu jawabannya. Tidak bisa diganggu gugat. Agats bukan hanya bagian dari Indonesia, tetapi Agats ibu kota Kabupaten Asmat, Papua Selatan adalah Indonesia.

Kata Menko Polhukam Mahfud MD, Maret lalu, dari segala aspek, Papua merupakan bagian sah dari NKRI. Oleh sebab itu, Papua akan selalu menjadi bagian dari NKRI.

Kenyataan itu, baik menurut Konstitusi RI, menurut hukum internasional, maupun menurut fakta yang sekarang sedang berlangsung.

Akan tetapi, ke-Indonesiaan itu pada suatu masa--terutama pada masa Orde Baru--harus diakui, meskipun pahit, ditampilkan dengan wajah garang, menakutkan.

Kekuatan dan kekuasaan, lebih ditonjolkan dibandingkan perhatian dan pemberdayaan. Bentakan dan hardikan lebih banyak dijatuhkan ketimbangan rangkulan dan pelukan penuh kasih.

Maka kata Laksamana Muda TNI (Purn) Untung Suropati (Jurnal Kajian Lemhanas edisi 37, Maret 2019) Indonesia gagal memerankan dirinya sebagai sosok guru-guru SD yang penuh kasih sayang mengantarkan anak-anak di pedalaman Papua untuk bisa menatap masa depan.

Indonesia gagal merangkul LSM dan gereja untuk bersama-sama menyiapkan SDM Papua berkualitas.

Indonesia gagal merepresentasikan dirinya sebagai dokter dan mantri yang penuh dedikasi dan rela berkorban.

Indonesia gagal mengakomodasi konsep kepapuaan dalam ke-Indonesiaan yang indah dan beragam. Indonesia gagal memberikan perlindungan dan rasa aman bagi warga negaranya orang asli Papua.

Wajar, kalau pada akhirnya, kita gagal memenangkan hati dan pikiran rakyat Papua.

*
Itu dulu. Dulu! Tetapi, Sejak hampir 10 tahun terakhir, banyak perubahan. Yang dibutuhkan masyarakat Papua adalah tindakan nyata. Kasih itu nyata dalam tindakan. Masyarakat Papua membutuhkan bukti nyata kasih dalam wujud tindakan nyata.

Tak jarang banyak orang sibuk bicara bagaimana membantu masyarakat Papua mengejar ketertinggalan, menghapus kemiskinan dan menegakkan keadilan, menghentikan penindasan dan kekerasan. Seakan semua pembicaraan itu sudah menyelesaikan persoalan.

Tidak! Senyatanya malah menghadirkan masalah lain.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com