Pada saat pasang, air dapat naik hingga 5 meter di atas permukaan laut, menghasilkan konstruksi unik kota tempat semua bangunan dan jalan ditinggikan dengan struktur kayu, dan yang lebih baru, beton, terutama jalan-jalan utama. Inilah kota di atas papan.
Seluruh jalan di kota Agats memang menyerupai jembatan yang dibuat dari kayu besi. Namun seiring perkembangan zaman dan teknologi, jembatan-jembatan ini kemudian diganti beton, terutama jalan-jalan utama.
Alat transportasi utama adalah motor listrik. Hanya ada dua mobil: keduanya ambulans.
Penduduk menggunakan perahu untuk bepergian karena harus lewat sungai-sungai dan rawa-rawa. Maka Mensos Risma memberikan bantuan 27 longboat fiberglass yang dibuat oleh para pemuda Agats yang sudah mengikuti pelatihan di Institut Teknologi Surabaya (ITS).
Keterbatasan lain yang dimiliki Agats adalah kurangnya pasokan air bersih. Masyarakat Agats hingga kini bertahan dengan air hujan yang ditampung di tabung-tabung air.
Kondisi tanah rawa memang membuat tanah ini sulit menyediakan air bersih. Kondisi itu dijawab Mensos Risma dengan memberikan bantuan alat desalinasi air laut.
Desalinasi air laut merupakan proses untuk menghilangkan kadar garam berlebih yang terkandung di dalam air agar bisa dikonsumsi.
Tetapi, seperti dikatakan Mgr Murwito, dibutuhkan waktu untuk mengubah mental dan menumbuhkan budaya baru.
Tidak mudah membawa masyarakat yang semula tertutup memasuki dunia terbuka dengan segala macam tantangannya. Tapi harus dilakukan dengan semangat, ketulusan hati, totalitas, dan kesabaran.
Sudah bukan zamannya lagi, tekanan dan tuntutan pembangunan serta perubahan hanya mengutamakan kepentingan politik dan ekonomi semata. Tetapi, harus memerhatikan masalah khusus dan aspek identitas politik masyarakat setempat.
*
Agats, kata Mgr Murwito dapat dikatakan belum lama "menghirup udara kebebasan" tidak seperti di daerah lain di negeri ini.
Maka jangan sampai warga lokal yang seharusnya menjadi subyek pembangunan justru acap kali terpinggirkan oleh derap modernisasi. Juga jangan sampai kebijakan pembangunan mengabaikan keberadaan masyarakat lokal.
Maka Mensos Risma, tidak sekadar memberikan bantuan, tapi melibatkan mereka. Ketika mereka minta bantuan perahu, Mensos mengabulkan permintaan itu. Tapi, harus mereka sendiri yang membuat disertai pendidikan dan pendampingan.
Kata Mensos, mereka harus terlibat dan dilibatkan, tidak sekadar kridha lumahing hasta, menengadahkan tangan.
Hal semacam itu mencerminkan sikap yang hanya ingin menerima, berharap atau menuntut saja, tidak mau berusaha sendiri.
"Kami mendidik mereka untuk percaya diri dan mandiri, tidak sekadar menunggu dan menerima pemberian," kata Mensos Risma.
"Ya, memberi itu mudah. Tapi, apakah itu menyelesaikan persoalan?" kata Mgr Murwito dalam nada tanya, namun bangga bahwa sejumlah pemuda di Agats sudah menyingkap selubung matahari....
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.