Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hanif Sofyan
Wiraswasta

Pegiat literasi di walkingbook.org

Sebelas Serigala Berbulu Domba!

Kompas.com - 01/06/2023, 15:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Inilah mengapa durasi waktu kasus berjalan hampir berlangsung selama sepuluh bulan.

Bermacam-macam modus yang dilakukan pelaku untuk memuaskan nafsu setannya, misalnya dengan memberi uang dari Rp 50.000 sampai Rp 500.000, memberi pakaian, memberi makanan, menjanjikan pekerjaan menjadi juru masak, bahkan ada yang menjanjikan akan memberi ponsel.

Fakta bahwa para pelaku ternyata bukan orang yang tidak berpendidikan, namun sebagaimana telah ditetapkan oleh polisi, kesebelas tersangka terdapat guru, kepala desa, dan polisi (Brimob).

Dari kesepuluh tersangka, lima orang di antaranya telah ditahan, lima orang lagi masih dikejar.

Berdasarkan amatan seorang pakar hukum, jika ditilik dari rentetan kejadian, terlihat bahwa peristiwa tersebut tidak masuk kategori tindak pidana pemerkosaan, karena salah satu unsur tindak pidana pemerkosaaan adalah adanya unsur paksaan, baik dengan ancaman kekerasan maupun dengan kekerasan.

Meskipun katakanlah indikasi kekerasan tidak terlihat nyata, namun persidangan dan kesaksian yang akan membuktikan.

Kondisi tersebut bisa saja mendorong korban pada situasi menjadi victim blaming-dimana korban kemudian dijadikan pemicu terjadinya kasus.

Secara hukum dari fakta yang terjadi di awal kasus tersebut, tindak pidana yang tepat adalah menggunakan Pasal tipu daya, membujuk, berbohong untuk melakukan perbuatan cabul kepada anak (korban berumur 15 tahun).

Perbuatan seperti ini diatur dalam Pasal 76D dan Pasal 76E juncto Pasal 81 ayat 2 dan Pasal 82 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 81 ayat 2 UU Perlindungan Anak:

Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud ayat 1 (pemerkosaan) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 76 E UU Perlindungan Anak:

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Pasal 82 ayat 1 dan 2 UU Perlindungan Anak:

Ayat 1.
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- (lima milyar rupiah).

Ayat 2.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

UU Kekerasan Seksual

Korban saat ini telah mendapat pendampingan dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).

Padahal menurut kajian hukum, sebagaimana disampaikan praktisi hukum Handra Deddy Hasan, dalam UU Perlindungan Anak tidak mengenal unit UUTD PPA.

UUTD PPA dikenal dan diadopsi dari Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Pada prinsipnya untuk kasus kekerasan seksual yang tengah terjadi saat ini, juga bisa diterapkan UU TPKS selain UU Perlindungan Anak, karena unsur-unsur tindak pidananya sama.

Secara teori dalam suatu kasus apabila terdapat dua atau lebih hukum yang mengaturnya, maka untuk menentukan hukum mana yang akan diberlakukan, kita dapat menggunakan azaz hukum "lex speciale derogat lex generale".

Azaz ini memiliki arti bahwa hukum khusus mengesampingkan hukum umum agar tepat dalam penerapan hukumnya. Apakah inti kasusnya pada "anak" sebagai korban atau pada "kekerasan seksual" sebagai bentuk kejahatannya.

Apabila kita memandang bahwa kekhususan terletak kepada korban anak, maka yang akan diterapkan adalah UU Perlindungan Anak. Sebaliknya kalau kita memandang kekhususannya pada kekerasan seksualnya, maka yang akan diberlakukan UU TPKS.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com