Salin Artikel

Sebelas Serigala Berbulu Domba!

Lebih menjengkelkan lagi karena di antara pelakunya ada guru, anggota Brimob inisial HST dan Kepala Desa inisial HS.

Seperti disampaikan Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait yang juga menyoroti kasus gang rape atau kekerasan seksual massal yang dilakukan sebelas orang terhadap seorang remaja putri berusia 15 tahun di Parigi Moutong (Parimo) Sulawesi Tengah.

Tentu saja berita lantas menjadi viral, apalagi menurut kabar yang beredar di media, korban yang merupakan gadis Poso tersebut berangkat menjadi relawan banjir bandang di Desa Torue, Kecamatan Torue, Parimo, pada 2022 lalu.

Ingin menjadi relawan justru menjadi korban, karena di sanalah korban bertemu para pelaku. Seolah masuk ke dalam sarang macan dan segala dedemit yang keluar dari kotak Pandora.

Lebih fatal lagi karena kasus kejahatan pemerkosaan tersebut tidak hanya terjadi sekali saja, namun dialami korban secara berulang selama sepuluh bulan, sejak April 2022 hingga Januari 2023, di tempat yang berbeda dan dilakukan terhadap korban oleh pelaku yang berbeda.

Kasus ini terungkap setelah korban pulang ke Parimo dan menceritakan peristiwa pilu yang ia alami kepada ibunya yang sedang menjadi asisten rumah tangga di Jakarta. Bagaimana ia bisa pulang juga menjadi misteri tersendiri, dalam situasi ia dikelilingi oleh 11 orang pelaku.

Rasanya sulit berada di posisi si korban, apalagi ia gadis di bawah umur yang datang sendiri ke daerah orang lain dalam situasi bencana. Mengapa ia tak melaporkan kasus yang menimpanya? Mengapa durasinya kasusnya begitu panjang?

Apakah ada drama di dalamnya, di mana korban berada dalam situasi sulit untuk keluar dari area bencana untuk meloloskan diri? Apalagi pelaku pemerkosaan itu ada sebelas orang dan mereka seharusnya melindunginya, bukan merusaknya.

Apakah ia diancam sehingga sulit keluar ataukah jika bisa keluar ia dicokok kembali karena khawatir korban akan melaporkan kekerasan yang diterimanya.

Jika benar, maka betapa malangnya gadis muda itu, masuk kedalam sarang penjahat dan tak bisa meloloskan diri dan tak bisa meminta bantuan.

Kekerasan yang diterimanya itu berdampak pada korban begitu parah. Perlakuan bejat yang tidak manusiawi menyebabkan korban mengalami gangguan reproduksi hingga terancam menjalani operasi angkat rahim.

Saat ini mengalami insersasi akut di rahim dan ada tumor. Korban saat ini mendapat perawatan intensif di Rumah Sakit di Palu karena mengelukan rasa sakit di bagian perut dan kemaluan korban.

Peristiwa itu mengingatkan dengan kasus kekerasan gang rape-perkosaan massal yang dilakukan oleh enam orang terhadap seorang gadis berusia 15 tahun di Kecamatan Tanjung, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah pada Desember 2022.

Peristiwa yang menjadi ironi dalam upaya kita mendorong hak-hak para korban mendapatkan keadilan, karena awalnya berusaha diselesaikan menempuh jalur keadilan restoratif (resotarive justice), yang mencederai rasa keadilan.

Peristiwa lainnya yang tak kalah miris, kasus pemerkosaan gadis 14 tahun oleh 20 orang di Bandung yang viral di media sosial.

Disebutkan bahwa awalnya sang gadis dicekoki miras oleh pria kenalannya di media sosial. Setelah itu sang gadis diculik dan diperkosa beramai-ramai lalu disekap dan dijual sebagai PSK.

Peristiwa itu juga mengingatkan kita dengan Tragedi Miryang, peristiwa pemerkosaan massal yang tragis dan paling menyita perhatian publik tahun 2004 yang menimpa Choi (14 tahun).

Sebagai pembelajaran penting bagi publik, kisah Miryang Gang Rape ini kemudian diangkat dalam film Hang Gong Ju (2013).

Film itu berkisah tentang gadis remaja (Gong Ju), korban pelecehan seksual yang tengah mencari sekolah baru. Remaja itu berusaha bangkit dan beradaptasi dengan teman-teman barunya, namun justru mendapat persekusi dan dituduh sebagai victim blaming.

Kekerasan seksual penuh tipu muslihat

Menyimak narasi wawancara Kabar Petang TV One pada Selasa, 30 Mei 2023, dengan Kapolres Parigi Moutong AKBP Yudianto Wiyono, peristiwa kekerasan seksual tersebut dinilai oleh sebagian pengamat hukum, seolah tidak tepat disebut sebagai tindak pidana pemerkosaan.

Para pelaku yang melakukan kejahatan seksual-memerkosa korban yang notabene anak di bawah umur dengan kondisi ekonomi dari keluarga tidak mampu. Kedua orangtuanya telah bercerai, sementara korban menanggung kehidupan dua adiknya yang masih kecil.

Para pelaku melakukan tipu muslihat ketika melakukan kejahatan tersebut. Menggunakan peluang dari usia korban yang belia dan kondisi secara ekonomi, dan dalam situasi darurat bencana pula.

Inilah mengapa durasi waktu kasus berjalan hampir berlangsung selama sepuluh bulan.

Bermacam-macam modus yang dilakukan pelaku untuk memuaskan nafsu setannya, misalnya dengan memberi uang dari Rp 50.000 sampai Rp 500.000, memberi pakaian, memberi makanan, menjanjikan pekerjaan menjadi juru masak, bahkan ada yang menjanjikan akan memberi ponsel.

Fakta bahwa para pelaku ternyata bukan orang yang tidak berpendidikan, namun sebagaimana telah ditetapkan oleh polisi, kesebelas tersangka terdapat guru, kepala desa, dan polisi (Brimob).

Dari kesepuluh tersangka, lima orang di antaranya telah ditahan, lima orang lagi masih dikejar.

Berdasarkan amatan seorang pakar hukum, jika ditilik dari rentetan kejadian, terlihat bahwa peristiwa tersebut tidak masuk kategori tindak pidana pemerkosaan, karena salah satu unsur tindak pidana pemerkosaaan adalah adanya unsur paksaan, baik dengan ancaman kekerasan maupun dengan kekerasan.

Meskipun katakanlah indikasi kekerasan tidak terlihat nyata, namun persidangan dan kesaksian yang akan membuktikan.

Kondisi tersebut bisa saja mendorong korban pada situasi menjadi victim blaming-dimana korban kemudian dijadikan pemicu terjadinya kasus.

Secara hukum dari fakta yang terjadi di awal kasus tersebut, tindak pidana yang tepat adalah menggunakan Pasal tipu daya, membujuk, berbohong untuk melakukan perbuatan cabul kepada anak (korban berumur 15 tahun).

Perbuatan seperti ini diatur dalam Pasal 76D dan Pasal 76E juncto Pasal 81 ayat 2 dan Pasal 82 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 81 ayat 2 UU Perlindungan Anak:

Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud ayat 1 (pemerkosaan) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 76 E UU Perlindungan Anak:

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Pasal 82 ayat 1 dan 2 UU Perlindungan Anak:

Ayat 1.
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- (lima milyar rupiah).

Ayat 2.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

UU Kekerasan Seksual

Korban saat ini telah mendapat pendampingan dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).

Padahal menurut kajian hukum, sebagaimana disampaikan praktisi hukum Handra Deddy Hasan, dalam UU Perlindungan Anak tidak mengenal unit UUTD PPA.

UUTD PPA dikenal dan diadopsi dari Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Pada prinsipnya untuk kasus kekerasan seksual yang tengah terjadi saat ini, juga bisa diterapkan UU TPKS selain UU Perlindungan Anak, karena unsur-unsur tindak pidananya sama.

Secara teori dalam suatu kasus apabila terdapat dua atau lebih hukum yang mengaturnya, maka untuk menentukan hukum mana yang akan diberlakukan, kita dapat menggunakan azaz hukum "lex speciale derogat lex generale".

Azaz ini memiliki arti bahwa hukum khusus mengesampingkan hukum umum agar tepat dalam penerapan hukumnya. Apakah inti kasusnya pada "anak" sebagai korban atau pada "kekerasan seksual" sebagai bentuk kejahatannya.

Apabila kita memandang bahwa kekhususan terletak kepada korban anak, maka yang akan diterapkan adalah UU Perlindungan Anak. Sebaliknya kalau kita memandang kekhususannya pada kekerasan seksualnya, maka yang akan diberlakukan UU TPKS.

UU Perlindungan Anak atau UU TPKS

Menurut kajian kritis pakar hukum, Handra Deddy Hasan, kasus yang sedang bergulir saat ini didorong pada tuntutan para tersangka dengan UU Perlindungan Anak, bagaimana jika disangkakan dengan UU TPKS?

Meskipun keduanya memberikan perlindungan terhadap korban, namun di dalam UU TPKS perlindungan berupa pendampingan lebih jelas diatur dalam Pasal 26 antara lain korban dapat didampingi seperti oleh petugas UPTD PPA, tenaga kesehatan, psikolog, psikiater, advokat, sehingga untuk mengembalikan korban pada kemungkinan pulihnya secara fisik dan psikis bisa lebih memadai.

JIka ancaman hukuman pidana penjara dan dendanya berdasarkan Pasal 82 ayat 1 UU Perlindungan Anak lebih unggul karena ancaman hukuman maksimalnya lima belas tahun dan denda maksimalnya Rp 5 miliar.

Namun jika yang didorong adalah UU TPKS berdasarkan Pasal 6 ayat c, hukuman maksimalnya hanya 12 tahun dan denda maksimalnya hanya Rp 300 juta.

Namun kelemahan UU Perlindungan Anak tidak mengenal hukuman tambahan berupa hukuman restitusi.

Sedangkan dalam UU TPKS ada aturan hakim bisa menjatuhkan hukuman tambahan berupa hukuman restitusi, yaitu memberikan kompensasi atau pemulihan kepada korban kekerasan seksual setelah kejadian tersebut terjadi.

Restitusi ini bertujuan membantu korban mengatasi dampak medis, psikologis, dan sosial yang diakibatkan oleh kekerasan seksual.

Contohnya kebutuhan mendapatkan perawatan medis yang mendesak setelah kejadian tersebut, seperti pemeriksaan forensik, pengobatan luka fisik, atau penanganan infeksi yang mungkin terjadi akibat serangan seksual.

Restitusi dapat mencakup biaya pengobatan dan pemeriksaan medis, termasuk untuk terapi atau konseling yang membantu korban memulihkan diri, dan efek trumatis yang dapat berulang.

Kemudian perlu juga diperbandingkan dalam hal pemberatan hukuman, yaitu tambahan hukuman dari ancaman hukuman yang ada.

Dalam Pasal 82 ayat 2 UU Perlindungan Anak pelaku yang mendapatkan pemberatan dan ditambah hukumannya 1/3 hanya yang mempunyai profesi guru (salah satu pelaku kabarnya berprofesi guru).

Sedangkan dalam Pasal 15 ayat 1g UU TPKS seluruh pelaku akan mendapat bonus tambahan hukuman 1/3 dari hukuman maksimal karena tindak pidana kekerasan seksualnya terjadi pada anak di bawah umur.

Jadi penambahan ekstra tambahan hukuman dalam UU TPKS bukan kepada profesi pelaku, tapi penekanannya pada korban (anak), sehingga kalau menggunakan UU TPKS yang akan mendapat hukuman tambahan tidak hanya guru, tapi seluruh pelaku.

Namun sampai sejauh ini pada umumnya pihak kepolisian belum berani memproses dengan UU TPKS. Alasannya menunggu aturan turunan UU TPKS atau aturan pelaksanaannya. Sebagai catatan UU TPKS masih baru dan mulai berlaku 9 Mei 2022.

Terlepas dari pilihan yang menjadi dasar penetapan hukuman bagi sebelas tersangka-sebelas serigala berbulu domba-orang yang semestinya menjaga anak-anak yang rentan, justru menjadi pelakunya.

Publik harus mengawal kasus ini secara cermat agar para pelaku mendapat hukuman yang setimpal dan kasus ini juga menjadi pembelajaran bagi kita untuk semakin peduli dengan berbagai peristiwa yang terjadi di sekeliling kita.

Mungkin korban pernah berusaha meminta bantuan, namun ia berada dalam posisi sulit di kelilingi para pelaku yang punya power, dan tidak tahu kemana harus mengadu.

Memang kita sangat menyayangkan, mengapa korban sampai mendapat kekerasan oleh para oknum yang punya jabatan tersebut dalam waktu yang begitu lama. Kita khawatir jika para pelaku juga mendorong si korban pada situasi victim blaming.

Jika benar terjadi, maka malang benar nasib gadis muda itu sudah jatuh tertimpa tangga pula. Semoga ia diberi kekuatan dan ketabahan.

Apalagi kondisi terakhir, ia harus menjalani perawatan mengangkat rahimnya. Kekerasan “serigala” macam apa yang bisa menyebabkan si korban harus mengalami penderitaan yang luar biasa!

https://regional.kompas.com/read/2023/06/01/15081391/sebelas-serigala-berbulu-domba

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke