Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jadi Korban Salah Sasaran Penembakan Misterius 1982-1985, Ponidjo: Saya Masuk Daftar yang Harus Dibunuh

Kompas.com - 13/04/2023, 07:27 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Rangkaian peristiwa penembakan misterius (1982-1985), - biasanya disingkat 'petrus' - menimbulkan beberapa kasus 'salah sasaran'.

BBC News Indonesia menemui korban tidak bersalah di Yogyakarta, namun namanya tertera dalam 'daftar yang harus dibunuh' oleh militer.

Jalannya agak tertatih dan kadang butuh pegangan. Kulitnya tidak lagi kencang, ada kerutan di dahi. Ingatannya pun mulai memudar.

Namun demikian, pria berusia 88 tahun ini, sulit melupakan apa yang dialaminya 40 tahun silam.

Baca juga: Cerita Keluarga Korban Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Bu Nuk Khawatir Menunggu Sang Suami Pulang

Ketika itu, antara 1982 dan 1985, di Yogyakarta dan sekitarnya, ada operasi pembunuhan terhadap orang-orang yang dicap sebagai preman atau gali - akronim gabungan anak liar.

Nama resminya: Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) yang digelar oleh Garnisun Kodim 0734 Yogyakarta.

"Itu zaman gali-gali ditembaki... Rasanya miris sekali setiap mengingat kembali masa itu," ungkap Ponidjo 'Brindil', nama pria itu tadi, lirih.

Brindil, rupanya, menyimpan cerita kelam saat Garnisun menyatakan perang melawan gali atau preman di Yogyakarta dan sekitarnya.

Dan, namanya tertera dalam daftar gali yang harus 'dihabisi' — dibunuh.

"Jenengku masuk daftar — nama saya masuk dalam daftar," ungkapnya kepada wartawan di Yogyakarta, Furqon Ulya Himawan, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Pria ini lebih leluasa berujar dalam bahasa Jawa.

Baca juga: Dianggap Aib, Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Petrus Terkendala

Operasi pembunuhan terhadap terduga kriminal ini dimulai dari wilayah Kodim 0734 Yogyakarta, akhir Maret 1983.

Lalu meluas ke beberapa Kodim di lingkungan Korem 072/Pamungkas, termasuk Kabupaten Kulonprogo, tempat tinggal Brindil.

Walaupun dulu namanya 'disegani' di wilayah Kulon Progo, tapi Brindil mengaku dirinya hanya pedagang sapi, dan bukan gali atau preman, seperti yang dituduhkan.

Usai pemilihan lurah

Semua berawal saat pemilihan lurah yang berlangsung pada 1982 di Desa Sidorejo, Kulon Progo, DI Yogyakarta.

Saat itu, keponakannya menjadi salah satu calon dan Brindil pun ikut berkampanye. Dia mendatangi masyarakat dan meminta dukungan agar memilih keponakannya sebagai lurah.

"Waktu iku ora ngaggo duit koyo saiki, tapi aku nek omong digugu — zaman itu tidak pakai duit seperti sekarang, tapi kalau saya omong banyak yang mengikuti," kata pria yang jebolan Sekolah Rakyat (SR) atau sekarang setingkat SD.

Ketika hajatan politik pemilihan kepala desa ini digelar, operasi pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh preman di Yogyakarta mulai santer terdengar.

Baca juga: Sejarah 12 Pelanggaran HAM Berat yang Disesalkan Jokowi, Tragedi 65-66 hingga Petrus

Kelak peristiwa di Yogyakarta dan sekitarnya ini, juga di beberapa kota besar lainnya di Indonesia, disebut sebagai pembunuhan misterius alias petrus.

Brindil pun mendengarnya. Tapi dia merasa "aman-aman saja", sampai dia tahu namanya masuk dalam daftar gali yang harus dihabisi.

"Rasanya miris sekali setiap mengingat kembali masa itu... ngeri," ujarnya.

Menjadi target Garnisun

Kini, 40 tahun setelah kejadian 'salah sasaran' itu, Brindil mengaku sudah berlapang dada dan tidak mempersoalkannya.FURQON ULYA HIMAWAN/BBC Indonesia Kini, 40 tahun setelah kejadian 'salah sasaran' itu, Brindil mengaku sudah berlapang dada dan tidak mempersoalkannya.
Kabar itu dia dengar dari kantor kelurahan setempat. Kebetulan sang lurah terpilih adalah keponakannya sendiri.

"Kulo dilayangi, dianggep gali Sidorejo — saya diberi surat, dianggap sebagai gali Sidorejo," kata Brindil.

Lurah Sidorejo, yang tak lain keponakan Brindil sendiri, bingung. Dia tak tahu harus berbuat apa. "Lurahe malah nangis, bingung," cerita Brindil.

Brindil mengaku berusaha bersikap tenang lantaran dirinya bukan gali. Tapi, sebagai manusia biasa, Brindil juga cemas karena sebagian orang-orang yang dicap gali saat itu berakhir tewas ditembak petugas Garnisun.

"Kabare gali-gali biyen lak ditembaki, lak yo wedi toh — kabarnya gali-gali saat itu kan ditembak mati, jadi takut juga," kata Brindil.

Baca juga: Penembakan Misterius (Petrus): Latar Belakang dan Dampaknya

Dihadapkan teror seperti itu, Brindil mengaku bingung dan kesusahan. Dia juga merasa tak ada orang yang bisa menolongnya.

Tapi dia tidak mau lari dan bersembunyi, seperti yang dilakukan orang-orang lain yang berada di 'posisi' yang sama seperti dia.

Lalu, Brindil memutuskan mendatangi Kodim 0731 Kulonprogo di Wates. Keputusan ini diambilnya karena dia mengaku tidak bersalah.

"Ke sana [ke kantor kodim] menjelaskan, daripada salah sasaran. Kenyataannya saya juga bukan gali," ujarnya.

Kini, puluhan tahun kemudian, Brindil menganggap pilihannya melapor ke Kodim 0731, merupakan pilihan tepat.

"Kalau memang saya orang 'kotor', ketika mati tertembak kan jelas siapa pelakunya. Maka saya menghadap Kodim," jelasnya.

Baca juga: Wiranto: Tidak Mudah Menuntaskan Kasus Penembakan Misterius 1982

Di sana, Brindil pun menjelaskan bahwa dirinya bukanlah gali. Dia menekankan bahwa dia tidak pernah merampok, menjambret, meminta jatah keamanan toko, atau memalak para sopir angkutan.

"Saya bakul sapi," tegasnya berulang-ulang di hadapan petugas.

Usai diperiksa di kantor Garnisun, Brindil disuruh pulang dan diminta melapor setiap hari selama sepekan.

Maka setiap hari, setiap jam delapan pagi, Brindil berjalan kaki sekitar 17km menuju kantor Kodim. Dia hanya disuruh tanda tangan, lalu pulang.

Selama satu minggu, Brindil mematuhi perintah itu untuk membuktikan dirinya memang tidak bersalah.

"Saya punya pedoman, yakin tidak pernah berbuat jahat kepada orang lain," katanya.

Baca juga: Desakan Komnas HAM Agar Pemerintah RI Cegah Impunitas Pelaku Pelanggaran HAM

"Saya minta pertolongan kepada Yang Maha Kuasa. Saya jalani semuanya dengan tabah," imbuhnya, kali ini seraya tersenyum.

"Saya korban salah sasaran"

Di hari terakhir 'wajib lapor' di kantor Garnisun, dia diberi amplop berisi surat. Tapi dia tidak tahu apa isinya.

Brindil diminta menyerahkan surat itu ke kantor koramil di wilayah itu.

Keyakinan dirinya bahwa dia tidak bersalah, akhirnya diakui pejabat koramil setempat. Sang komandan menyebut Brindil sebagai korban salah sasaran.

"Pak Koramil cerita, katanya 'salah sasaran'. Saya tidak 'merah', tidak apa-apa. Sudah terima saja, tidak apa-apa," ungkapnya, mengulang apa yang diucapkan sang komandan.

"Tidak 'merah' maksudnya bagaimana, saya juga tidak paham," Brindil — bapak sembilan anak dan 22 cucu ini —menambahkan.

Apapun, mendengar pernyataan itu, Brindil merasa amat lega. Usahanya membuktikan bahwa dia bukan gali, berhasil.

Baca juga: Catatan Amnesty International atas Pelanggaran HAM di Papua pada 2022-2023

'Garnisun tidak punya parameter yang jelas'

Harian 'Kedaulatan Rakyat, 5 April 1983, menurunkan berita utama dengan judul 'Semua gali supaya segera menyerah'.FURQON ULYA HIMAWAN/BBC Indonesia Harian 'Kedaulatan Rakyat, 5 April 1983, menurunkan berita utama dengan judul 'Semua gali supaya segera menyerah'.
Bagaimanapun, kasus yang dialami Brindil membuktikan bahwa daftar orang-orang preman yang harus dihabisi, sulit untuk dipertanggungjawabkan, kata Nur Ismanto, eks aktivis LBH Yogyakarta, yang dulu mengadvokasi kasus korban OPK.

Beruntung Brindil tidak langsung dieksekusi mati. Tetapi menurut Nur Ismanto, sangat mungkin ada kasus serupa Brindil yang nasibnya naas, yaitu mati ditembak.

"Bisa saja terjadi salah sasaran dan potensinya ada," kata Nur Ismanto

Menurutnya, Garnisun tidak punya parameter jelas tentang apa itu gali sehingga potensi kesalahannya besar.

Dan itu memungkinkan terjadinya penyalahgunaan wewenang, karena faktor "tidak suka" dengan orang lain, atau "musuh pribadi".

"Dan potensi kesalahan menjadi besar kalau cepat atau langsung dieksekusi. Apalagi ini tanpa prosedur hukum," tandas Nur Ismanto.

Baca juga: Kick Off Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Dimulai Setelah Lebaran

Merasa difitnah

Setelah melewati masa-masa mengerikan, Brindil melanjutkan aktivitasnya sebagai bakul sapi. Tak ada masyarakat yang menjauhinya atau mendiskriminasinya. Semua berjalan seperti biasa, katanya.

Brindil mencoba berpikir, mengapa dia bisa sampai menjadi korban salah sasaran.

Dia menduga, ada orang tidak senang kepadanya lalu memfitnah. Apalagi peristiwa itu setelah pemilihan kepala desa pada 1982.

Tapi Brindil tak mau ambil pusing. Kalaupun benar dia difitnah, dia tak lagi mempersoalkannya. Toh semua telah terlewati, dan terbukti dia bukan gali.

Baca juga: Komnas HAM Buka Peluang Usut Ulang Tragedi Kanjuruhan, Cari Unsur Pelanggaran HAM Berat

'Terserah bapak Presiden'

Kini, 40 tahun setelah kejadian 'salah sasaran' itu, Brindil mengaku sudah berlapang dada dan tidak mempersoalkannya.

Dia malah tidak tahu bahwa Presiden Joko Widodo — atas nama negara — telah mengakui dan menyesalkan terjadinya beberapa peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu, di antaranya penembakan misterius (1982-1985).

Seperti diketahui, Presiden Jokowi kemudian menjanjikan untuk memulihkan para korban dan keluarganya dalam berbagai peristiwa itu, termasuk barangkali yang dialami Brindil saat itu.

Saat ini, sejumlah kementerian dan otoritas lainnya, termasuk pemerintah daerah, untuk menindaklanjuti kebijakan non yudisial dalam menyelesaikan beberapa pelanggaran HAM di masa lalu.

Sampai awal April 2023, belum ada tindakan kongkret yang bakal diberikan kepada korban dan keluarganya.

Baca juga: Komnas Perempuan Soroti Ketidakjelasan Perlindungan Korban Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Para pegiat HAM mengatakan, luasnya dimensi dari 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu itu, membuat setiap korban memiliki situasi dan kebutuhan berbeda.

Di sinilah, janji pemulihan terhadap korban dan keluarganya, tidak bisa disamakan.

Apapun, atas berbagai kebijakan yang akan ditempuh pemerintah, Brindil tak mau menuntut apa-apa, walau cap gali yang ditimpakan kepadanya itu dahulu bisa berdampak kepada kematiannya,

"Saya tidak menuntut apa-apa. Kalau menuntut malah tidak baik," ujarnya sambil menunjukkan jari telunjuk ke bagian hatinya.

Dia merasa beruntung karena sudah bisa melewati masa-masa itu dengan selamat. Dan bisa hidup tenang menyaksikan anak cucunya hidup rukun dan tidak kurang suatu apa, itu sudah cukup bagi Brindil.

Soal 'kerugian' yang dialaminya, Brindil cuma menyebut dia merasa lelah saat harus berjalan kaki bolak-balik ke kantor Garnisun di Yogyakarta.

Baca juga: Jokowi Teken Keppres 4/2023, Bentuk Tim Pemantau Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat secara Non-Yudisial

Dia membayangkan, betapa jauhnya perjalanan yang harus dia tempuh, serta betapa dalamnya tekanan batin yang dialaminya.

"Berjalan kaki selama seminggu dan tidak bisa kerja [untuk menafkahi keluarga]," ujar Brindil lantas terdiam.

Kalaupun pemerintah berniat baik dengan memperhatikan para korban penembakan misterius, termasuk dirinya, Brindil sangat berterima kasih.

"Tapi kulo sampun sumeleh lan legowo, terserah presiden — Tapi saya sudah menerima dan ikhlas dan berlapang hati," ujar Brindil dengan nada suara yang nyaris tidak terdengar. Dia kemudian tersenyum kecil.

"Di Yogyakarta, penembakan ke gali dilakukan terbuka"

Majalah 'Tempo' edisi 16 April 1983 melaporkan tentang operasi penembakan terhadap orang-orang yang dicap sebagai gali di Yogyakarta.FURQON ULYA HIMAWAN/BBC Indonesia Majalah 'Tempo' edisi 16 April 1983 melaporkan tentang operasi penembakan terhadap orang-orang yang dicap sebagai gali di Yogyakarta.
Istilah 'penembakan misterius' (1982-1985), agaknya, kurang tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi di Yogyakarta dan sekitarnya saat itu.

"Di Yogyakarta tidak ada yang [penembakan yang dilakukan secara] misterius. Penembakannya dilakukan secara terbuka," kata Nur Ismanto, 64 tahun, eks anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, awal Februari 2023.

"Banyak kliping berita soal itu," tambahnya.

Aksi menghabisi gali-gali di wilayah itu, menurutnya, dilakukan secara terbuka dalam Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) yang digelar oleh Garnisun Kodim 0734 Yogyakarta.

Gali merupakan istilah lokal yang merupakan akronim dari gabungan anak liar — sebutan untuk preman atau pelaku kriminal.

Baca juga: Di Sidang Dewan HAM PBB, Menlu Sebut Jokowi Sesali 12 Pelanggaran HAM Indonesia Masa Lalu

Wartawan di Yogyakarta, Furqon Ulya Himawan, melakukan riset dengan membaca ulang terbitan sejumlah media massa saat itu yang memberitakan peristiwa tersebut.

Di Jogja Library Center, Furqon menemukan media massa seperti Koran Kompas, Kedaulatan Rakyat (KR), Berita Nasional (Bernas), serta Majalah Tempo meliput operasi pemberantasan kejahatan (OPK) itu, yang sekaligus menguatkan bahwa operasi itu 'resmi' dan 'terbuka'.

Berikut petikan berbagai liputan media-media tersebut yang dikumpulkan oleh Furqon:

"Kalo tidak menyerah, kami dijemput"

Masih dalam arsip majalah Tempo edisi yang sama, menurut Hasbi, Garnisun "ikut turun", karena terbatasnya tenaga polisi.

Selain Garnisun, Hasbi juga mengatakan operasi gabungan melibatkan masyarakat sehingga kuat untuk menghadapi para gali.

"Cukup tangguh untuk menghadapi semua gali," kata Hasbi.

Dalam penelitian Yustina Devi Ardhiani, berjudul Potret Relasi Gali-Militer di Indonesia:Ingatan Masyarakat Yogyakarta tentang Petrus (1983), dia mewawancarai seorang aparat kepolisian yang pada 1983 terlibat pelaksanaan OPK.

Dia mendapat pengakuan, dalam operasi gabungan itu, yang melakukan "eksekusi tembak adalah tentara", dan menjadi tugas aparat kepolisian untuk "mengambil bangkai" korban penembakan.

"Pada zaman OPK, itu operasi tembak di tempat, saya itu setiap hari ikut mengambil bangkai. Zaman itu, polisi kerjaannya mengambil [jenazah korban penembakan] di jalan," kata salah seorang narasumber Yustina.

Baca juga: Dari Plaza de Mayo ke Seberang Istana, Solidaritas Korban Pelanggaran HAM

Berawal dari kematian Sri Mulyani, korban jambret

Harian 'Kedaulatan Rakyat', 21 Maret 1983.FURQON ULYA HIMAWAN/BBC Indonesia Harian 'Kedaulatan Rakyat', 21 Maret 1983.
Sejumlah media memberitakan, pada Sabtu malam, 20 Maret 1983, Sri Mulyani, mahasiswi Akademi Kesejahteraan Keluarga (AKK) Yogyakarta, "dijambret" oleh dua orang tidak jauh dari Gereja Kotabaru, Yogyakarta.

Dia bersama tunangannya, Eko, mahasiswa Universitas Pembangunan Nasional (UPN), tengah berboncengan naik sepeda motor Yamaha Bebek.

Mereka hendak membeli oleh-oleh untuk keluarga Sri di Cirebon. Awalnya mereka mencari di sekitar Malioboro, tapi tak ada yang cocok.

Mereka pun berniat melanjutkan ke Mirota di Kotabaru. Ketika sampai di samping Gereja Kotabaru, ada dua orang naik motor Honda GL memepet kendaraan mereka, dan menjambret dompet Sri.

Mereka kemudian mengejar pelaku jambret. Di dekat Masjid Syuhada Kotabaru, mereka memergokinya, dan Eko menabrakkan kendaraannya dan terjadilah perkelahian.

Baca juga: Jokowi Teken Inpres Penyelesaian Non-Yudisial untuk Pelanggaran HAM Berat

Eko kewalahan dan berteriak minta tolong. Dan senjata tajam salah seorang penjambret mengenai bagian kepala bawah telinga kanan Sri.

Warga kemudian datang menolong dan berhasil menangkap penjambret. Sri segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan medis.

Sri Mulyani, putri A. Karim, Kepala Dinas P dan K Kabupaten Cirebon, akhirnya meninggal dunia di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta.

Harian Kedaulatan Rakyat dan Kompas memberitakan peristiwa penjambretan yang berujung kematian Sri Mulyani.

Dan Komandan Kodim 0734 Yogyakarta, Letkol CZI M. Hasbi, menjadikannya sebagai alasan memulai OPK.

"Tindakan keras terpaksa dilakukan untuk memberi perlindungan sekaligus menghilangkan keresahan masyarakat," kata Hasbi kepada wartawan, 14 April 1983.

Baca juga: Keadilan Historis Dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat

Di Yogyakarta, siapa terduga kriminal yang pertama 'dihabisi'?

Senin, 28 April 1983, sekira pukul 22.00, di lokalisasi Sanggrahan, Yogyakarta, Suwahyono atau Wahyo, hendak meninggalkan tempat itu bersama seorang perempuan.

Saat itu Wahyo dikenal sebagai pentolan gali di Yogyakarta.

Belum sampai keluar lokalisasi, dia dihadang sosok pria yang menggenggam pedang, demikian laporan media saat itu.

Belum sempat terjadi pertarungan, terdengar tembakan peringatan dari petugas Garnisun. Wahyo lalu diringkus, tapi pria berpedang itu tadi dibiarkan melenggang.

Protes Wahyo tak digubris. Wahyo lalu berusaha melepaskan pegangan petugas, dan berhasil. Lalu "dor!" Kakinya dihantam timah panas.

"Lho, kok malah saya yang ditembak," teriak Wahyo. Teriakan Wahyo itu dijawab dengan serentetan tembakan. Dia tersungkur dan tewas bersimbah darah.

Baca juga: Tak Hanya 3, Jokowi Diminta Akui Semua Pelanggaran HAM Masa Lalu di Aceh

Penembakan Wahyo menjadi gong pembuka perang melawan gali melalui OPK yang dipimpin Letkol CZI M. Hasbi, seperti diberitakan sejumlah media kala itu.

Saat pemakaman Wahyo, banyak teman dan koleganya datang melayat. Mereka mengenakan jaket hitam.

Dan, menurut eks pegiat LBH Yogyakarta yang saat itu mengadvokasi kasus pembunuhan orang-orang yang dicap gali, Nur Ismanto, aparat Garnisun memotret wajah-wajah teman Wahyo yang datang bersolidaritas.

"Konon ceritanya, di situlah mereka dipotret semua oleh aparat. Baru muncul rentetan penembakan berikutnya," kata Ismanto.

Tentang 'solidaritas' antar-gali saat pemakaman Wahyo, juga diungkapkan Hasbi dalam pemberitaan Majalah Tempo edisi April 1983.

Meski tidak spesifik menyebut nama, Hasbi mengetahui bahwa gali dari Semarang dan Surakarta datang melayat.

Baca juga: Komnas HAM Minta Dilibatkan Dalam Upaya Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Berat

"Gali-gali itu juga punya hubungan erat satu sama lain. Gali dari Semarang dan Surakarta banyak yang melayat ketika temannya di Yogyakarta tertembak mati.

"Mereka punya ikatan batin yang kuat. Organisasi mereka mau meniru mafia dan saya lihat jaringan-jaringannya sudah mengakar," ujar Hasbi.

'Berburu' gali usai pemakaman

Harian 'Kompas', 29 April 1983.FURQON ULYA HIMAWAN/BBC Indonesia Harian 'Kompas', 29 April 1983.
Tak lama setelah meninggalnya Wahyo, orang-orang yang dicap gali tewas dalam operasi yang digelar Garnisun.

Menurut Ismanto, penembakan berikutnya terjadi di sejumlah tempat, seperti di Mandala Krida, Jalan Wonosari, dan tempat lainnya.

Pada Minggu pertama April 1983, sudah ada lima orang yang dicap gali tewas tertembak. Mereka ditembak di bagian perut, hingga jidat.

Seperti Tohirin, warga Bantul yang mati tertembak di jidat, pinggang, dan kakinya. Empat orang lainnya yang disebut "tertembak" adalah Suwahyono, Agus, Surgiyanto, dan Joko Tuko.

Menurut Hasbi, para gali itu tewas tertembak karena melawan atau berusaha melarikan diri saat disergap.

Baca juga: Komnas HAM Akan Samakan Prosedur dengan Kejagung demi Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Berat

Dia mengaku telah memiliki daftar nama-nama gali, dan meminta mereka untuk menyerah.

"Yang nekat, percayalah, pasti akan kami kejar," kata Hasbi kepada wartawan, 5 April 1983.

Pada pemberitaan Kedaulatan Rakyat, 7 April 1983, Hasbi kembali memperingatkan mereka agar segera menyerahkan diri sebelum "kesabaran aparat negara habis".

Komandan Garnisun Yogyakarta yang pernah menjadi Kodim Cilacap, dan memimpin operasi penangkapan Johny Indo yang lari dari Nusakambangan (1982) ini, mengaku telah mendapat petunjuk dan restu Pangdam VII Diponegoro, Letjen TNI Ismail.

"Kalau sudah diimbau tapi belum mau mengindahkan, maka aparat keamanan yang akan menjemput," katanya.

Baca juga: Jokowi Akan Temui Korban Pelanggaran HAM Masa Lalu

Dalam pemberitaan itu, nama-nama orang yang masuk daftar 'hitam' atau dicap sebagai gali berjumlah 68 orang. Mereka disebutkan ada yang sudah tewas tertembak atau menyerahkan diri.

Pada hari-hari selanjutnya, sejumlah media selalu menyorot kematian orang-orang yang dicap sebagai gali dalam OPK.

Mengapa ada perbedaan jumlah orang-orang yang dihabisi?

Dalam catatan harian Kompas, 12 April 1983, selama dua minggu operasi pembasmian, ada 11 orang yang dicap sebagai gali tewas tertembak.

Mereka adalah Suwahyono, Agus, Tohirin, Budi Kancil, Slamet Gajah, Suyanto Gareng, Bustanul Arifin, Tutuko, Kojur, Suharno, Sarimun.

Sementara Koran Berita Nasional (Bernas) di hari yang sama, menyebut, selama dua minggu OPK, ada 15 orang yang dicap gali tewas tertembak.

Mereka adalah: Suwahyono, Tohirin, Agus, Kojur, Tetuko, Gareng, Tanul, Slamet Gajah, Budi Kancil, Harno, Sarimun, Manuk, Edi Widiarso, Kelik, dan Lole.

Versi Majalah Tempo edisi Juni 1983, mencatat, Garnisun Yogyakarta yang sejak akhir Maret secara terbuka mengumumkan OPK, telah melumpuhkan 60 gali.

Baca juga: Komnas HAM Catat Ada 6.000 Korban Pelanggaran HAM Berat

Perbedaan jumlah ini terjadi lantaran Hasbi tidak pernah merilis rinci berapa jumlah orang yang dicap sebagai gali, tewas tertembak, dan berapa orang yang telah menyerahkan diri ke petugas.

"Dari para korban saya pastikan, tak ada tembakan keliru. Mereka semua memang sudah tercatat sering membikin onar di lingkungan sekelilingnya," kata Hasbi kepada sejumlah jurnalis, 15 April 1983, tanpa menyebut jumlah orang yang dicap gali telah tewas tertembak.

Komandan Korem 072/Pamungkas, Kolonel Siswadi juga tak mau merinci jumlah orang yang tertembak.

Menurutnya, para gali selain meninggal tertembak petugas Garnisun, juga meninggal karena dikeroyok massa atau oleh teman-temannya sendiri.

"Kelompok mereka juga saling bersaing, saling menjatuhkan satu sama lain," kata Siswadi, seperti diberitakan surat kabar Kompas, 29 April 1983.

Sementara dalam penelitian Yustina, narasumber dia menyebut, setiap pagi patroli mengambil mayat di pinggir jalan, di dalam karung goni. Setiap hari, lebih dari 10, dan itu berlangsung kurang lebih dua bulan.

"Hitung sendiri kira-kira berapa," kata narasumber Yustina.

Baca juga: Jokowi: Saya Minta Seluruh Kementerian Tindaklanjuti soal Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat

Berakhir di Luweng Semanu, Gunung Kidul

Orang-orang yang dicap sebagai gali tak hanya dieksekusi tembak, ada juga yang dieksekusi mati dengan cara dimasukkan dalam luweng atau gua vertikal. (Foto: Luweng atau gua Grubug di Gunungkidul, DIY).dokumen BBC Indonesia Orang-orang yang dicap sebagai gali tak hanya dieksekusi tembak, ada juga yang dieksekusi mati dengan cara dimasukkan dalam luweng atau gua vertikal. (Foto: Luweng atau gua Grubug di Gunungkidul, DIY).
Menurut Ismanto, orang yang dicap sebagai gali tak hanya dieksekusi tembak, ada juga yang dieksekusi mati dengan cara dimasukkan dalam luweng atau gua vertikal yang terletak di Semanu, Gunungkidul, DIY.

"Dulu itu sempat muncul eksekusi non tembak," kata Ismanto.

Mereka ini orang-orang yang masuk daftar OPK, tapi keberadaannya sudah di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP).

Dan ketika masa hukumannya habis, mereka sudah dijemput tapi tidak pernah sampai rumah. Kabarnya, mereka dieksekusi dengan cara dimasukkan ke dalam luweng.

"Saya pernah ke sana, warga sana membenarkan. Dulu kalau hujan itu baunya amis darah," katanya.

Adanya eksekusi non tembak bagi orang-orang itu, membuat mereka yang akan keluar LP, merasa ketakutan, katanya.

Baca juga: Pemerintah Akan Temui Korban Pelanggaran HAM Berat di Luar Negeri, Beri Jaminan sebagai WNI

Tak sedikit yang meminta perlindungan ke LBH Yogyakarta. Mereka, kata Ismanto, sebelum bebas sudah berkirim surat ke LBH.

Dan orang tersebut ketika keluar LP dijemput LBH dan diantar pulang ke rumah. "Dan ada beberapa orang yang akhirnya selamat," ungkapnya.

Dalam penelitiannya, Yustina juga menyebut ada korban OPK yang dibuang ke Luweng di Semanu, Gunungkidul.

Narasumber Yustina dari aparat kepolisian mengatakan, mereka yang dimasukkan dalam luweng adalah orang yang tidak mempan ketika dipukul menggunakan besi, dan orang yang kebal peluru.

Mereka dari berbagai kota, di antaranya Magelang, Semarang, dan Yogyakarta.

"Korban dibawa dan diterjunkan ke Luweng Semanu, dalam kondisi kaki tangan terikat," kata narasumber Yustina.

Baca juga: Pemerintah Sebut Sudah Antisipasi Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Non-yudisial Menuai Kritik

Tentang siapa saja korban yang dimasukkan ke dalam luweng di Gunungkidul, Ismanto tidak berani memastikan kriterianya, apakah hanya narapidana yang sudah keluar dari LP lalu dijemput aparat, atau ada korban dengan kriteria lain.

"Itu yang tahu hanya mereka," kata Ismanto.

Mengapa perang melawan gali diperluas?

Harian 'Kompas', 14 April 1983.FURQON ULYA HIMAWAN/BBC Indonesia Harian 'Kompas', 14 April 1983.
Operasi gabungan memberantas orang-orang yang dicap gali di Yogyakarta dan sekitarnya terus dilakukan oleh Garnisun.

Hal itu dikatakan Hasbi kepada wartawan, dan diberitakan sejumlah media, seperti Kompas dan Kedaulatan Rakyat,15 April 1983.

"Gebrakan ini akan terus kita lakukan. Hanya pola sistem serta titik berat operasi, tentunya bakal selalu disesuaikan dengan kebutuhan," kata Letkol CZI Mohammad Hasbi.

Di hadapan lebih dari 25 wartawan, Hasbi menyebut, landasan hukum operasi yang ditanganinya adalah 'Operasi Clurit'. Dan penggunaan metode shock therapy, menurut Hasbi, hasilnya "memuaskan".

Baca juga: Komnas HAM Minta Pemerintah Konsultasi Dulu Sebelum Bentuk Satgas Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Berat

Seminggu lebih setelahnya, Kamis, 28 April 1983, Pangkowilhan II, Letjen TNI Yogie Suardi Memet melakukan pertemuan dengan Wakil Gubernur DIY Paku Alam VIII di Gedung Wilis Yogyakarta.

Usai pertemuan, Yogie mengatakan, OPK yang masih berlangsung di Yogyakarta, sangat dimungkinkan diterapkan di kota-kota lain. Hal ini diberitakan harian Kompas, 29 April 1983.

"Tujuannya baik, untuk menciptakan suasana tenang dalam masyarakat. Karena itu tak ada jeleknya dikembangkan di kota-kota lain. Kita sekarang bisa melihat masyarakat merasa aman," ujar Yogie.

Danrem 072/Pamungkas Kolonel Siswadi mengatakan, OPK yang diawali di wilayah Kodim 0734 Yogyakarta pada akhir Maret, telah diperluas.

Mencakup beberapa Kodim di lingkungan Korem 072/Pamungkas, seperti di Bantul, Sleman, Gunungkidul, dan Kulonprogo.

Baca juga: Jokowi Diminta Buktikan Niat Politik Selesaikan 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat

Menurutnya, ada beberapa tahapan dalam OPK. Tahap pemberian shock therapy selama tiga minggu, dan tahap pembinaan di minggu kelima.

Dalam tahap ini, sejumlah instansi pemerintah terlibat. Seperti dinas sosial, tenaga kerja, pendidikan masyarakat serta pemerintah daerah.

Beberapa hari setelah ucapan Pangkowilhan II Letjen TNI Yogie Suardi Memet, muncul kejadian serupa di Jakarta.

Orang-orang yang dicap sebagai preman dan residivis mati tertembak secara misterius, demikian laporan Tempo edisi Mei 1983 yang mengulasnya.

Banyak yang menduga, Jakarta menerapkan operasi seperti di Yogyakarta. Salah seorang yang meyakininya adalah Adnan Buyung Nasution, Ketua Dewan Pengurus YLBHI.

"Berdasarkan keterangan Pangkowilhan II belum lama ini," kata Adnan kepada Majalah Tempo, saat itu.

Baca juga: Akui 12 Pelanggaran HAM Berat, Jokowi Diminta Perintahkan Jaksa Agung Tindak Lanjuti Laporan Komnas HAM

Menurut Adnan, modus operasinya sama: korban diciduk, dibunuh, dan mayatnya dilempar begitu saja. Kemudian diumumkan bahwa korban tembakan adalah seorang residivis.

Tudingan itu dibantah Kepala Daerah Kepolisian VII Metro Jaya Mayjen Pol. Sudjoko.

Menurutnya, pada pertengahan Mei 1983, di wilayah Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan Depok, memang mengadakan lagi Operasi Clurit, karena tingkat kejahatan cenderung meningkat.

Tapi bukan seperti operasi di Yogyakarta, ujar Sudjoko.

Menurutnya, Jakarta bukan Yogyakarta. Tidak perlu sistem tembak di tempat. Cukup dengan ditangkap dan ditahan.

Katanya, orang-orang yang mati tertembak itu, apakah tertembak petugas atau penembak gelap.

Baca juga: Jokowi Diminta Buktikan Niat Politik Selesaikan 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat

Tentang Operasi Clurit, harian Kompas,17 Februari 1983 memberitakan bahwa Operasi Clurit telah dilaksanakan sejak 21 Januari 1983.

Menurut Laksamana TNI Sudomo, selaku Pangkopkamtib, Operasi Clurit bukanlah gerakan yang "panas-panas tahi ayam", tapi akan terus dilanjutkan secara sistematis sepanjang tahun.

'Shock therapy' ala Presiden Suharto

Berita 'Budi Kancil dan Slamet Gajah tertembak dalam penggerebegan' dimuat di Harian Bernas, 11 April 1983.FURQON ULYA HIMAWAN/BBC Indonesia Berita 'Budi Kancil dan Slamet Gajah tertembak dalam penggerebegan' dimuat di Harian Bernas, 11 April 1983.
Presiden Suharto, dalam buku otobiografinya berjudul Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, menjelaskan tentang peristiwa Petrus.

Menurut Suharto, peristiwa yang ramai dibicarakan media sebenarnya juga tidak misterius.

Dia berujar, latar belakang peristiwa itu didahului ketakutan yang dirasakan rakyat. Seperti adanya perampokan, pembunuhan, dan ancaman-ancaman dari orang jahat.

Dia berargumen, mereka tidak hanya melanggar hukum, tapi sudah melebihi batas perikemanusiaan.

"Umpamanya, orang tua sudah dirampas pelbagai miliknya, kemudian masih dibunuh," kata Suharto kepada G. Dwipayana, dan Ramadhan K.H. yang menulis buku otobiografinya.

Bagi Suharto, hal itu sudah keterlaluan dan tidak bisa didiamkan. "Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas," katanya.

Baca juga: Daftar Pelanggaran HAM Berat di Papua

Tindakan tegas yang Suharto maksud adalah dengan kekerasan.

"Tapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor! dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak. Karena melawan, maka mereka ditembak."

Tentang mayat-mayat yang ditinggalkan begitu saja di jalan atau tergeletak di pinggir jalan, menurut Suharto, itu untuk shock therapy.

"Supaya banyak orang mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya," katanya.

"Maka meredalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu," imbuh Suharto seperti tertulis dalam otobiografinya yang diterbitkan pada 1989.

Dan di Yogyakarta, tindakan dengan metode shock therapy itu terus digencarkan oleh garnisun.

"Penjahat pun berhak mendapatkan keadilan"

Metode shock therapy yang digunakan Presiden Suharto untuk meredakan kejahatan terbilang 'berhasil'. Dari segi jumlah, angka kejahatan menurun di daerah yang menjadi OPK, seperti di Yogyakarta.

Harian Kompas, 25 April 1983, memberitakan, di Yogyakarta tidak ada lagi kasus perampokan, penodongan, dan pemerasan, di minggu keempat pelaksanaan OPK.

Sedangkan kasus jambret, pencurian kendaraan bermotor, sampai pada 23 April, masing-masing hanya terjadi sekali dan dua kali. Sebelum OPK, perampokan rata-rata per bulannya terjadi 40 kali.

Wadanresta 961, Mayor (Pol) Suharto, mengatakan, pada Januari-Februari, penjambretan rata-rata terjadi 20 kali. Maret menurun menjadi delapan kali, dan April hanya masuk laporan sekali.

Baca juga: Penyesalan Jokowi di 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat Dinilai Gimik dan Pengalihan Isu Perppu Cipta Kerja

Harian Kompas, 29 April 1983, kembali memuat berita tentang turunnya angka kejahatan di Semarang, Solo, dan Yogyakarta pada Maret-April.

Menurut Kasi Pendak IX Jawa Tengah, Mayor Pol. Haryono, turunnya angka kriminalitas di tiga kota besar itu, menjadi barometer turunnya angka kriminalitas di Jawa tengah.

Haryono mengatakan, turunnya angka kriminalitas di Yogyakarta, Solo, dan Semarang, merupakan hasil dari langkah tegas aparat keamanan memberantas kriminalitas.

"Para penjahat yang ketakutan itu melarikan diri dan bersembunyi ke daerah lain, menghindari penangkapan aparatur keamanan di Jawa Tengah dan Yogyakarta," katanya.

Tapi Adnan Buyung Nasution, dalam Tempo edisi Mei 1983, mengatakan, operasi semacam itu serupa tindakan main hakim sendiri, dan menghambat usaha meningkatkan kesadaran hukum masyarakat seperti dicanangkan dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Buyung Nasution, yang saat itu menjabat Ketua Dewan Pengurus YLBHI, melihat masyarakat pun menyambut positif operasi pemberantasan gali, karena hasilnya yang konkret, cepat, dan langsung.

Baca juga: Seruan buat Pemerintah: Mengaku dan Menyesal Saja Tak Cukup, Seret Pelaku Pelanggaran HAM Berat ke Pengadilan!

Tapi dalam negara hukum, operasi semacam itu sama sekali tidak dibenarkan.

"Penjahat pun berhak mendapatkan keadilan," katanya.

Meski mendapat kritik, OPK tetap berlangsung. Komandan Garnisun M. Hasbi dalam Koran Kompas, 15 April 1983, mengatakan, operasi tak akan dihentikan.

Dan dia menegaskan, akan terus mengejar para gali sampai keresahan masyarakat hilang.

Kini, tragedi itu sudah 40 tahun berlalu. Presiden Joko Widodo mengakuinya sebagai pelanggaran HAM berat, serta menyesalkannya.

Presiden berjanji akan menyelesaikannya di luar kerangka hukum, yakni dengan membentuk tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM berat masa lalu (PPHAM).

Walaupun tidak menutup penyelesaian secara hukum, ada suara-suara yang berkembang di aparat penegak hukum, kendalanya ada pada pembuktian.

Baca juga: Laporan PPHAM: Tak Ada Faktor Tunggal Penyebab Pelanggaran HAM Berat di Indonesia

Sebuah alasan yang sejak awal dipertanyakan para pegiat HAM.

"Ketika memang pelakunya masih ada, ya tepat apabila harus diadili dulu," kata Nur Ismanto, eks pegiat LBH Yogyakarta, yang dulu terlibat upaya melindungi orang-orang yang dulu dicap gali dan terancam kehilangan nyawanya.

"Hal itu penting sebagai satu pembelajaran sejarah hukum di Indonesia terhadap penegakan HAM," tandasnya.

Wartawan di Yogyakarta, Furqon Ulya Himawan, melakukan liputan ini dan menuliskannya untuk BBC News Indonesia.

Ini adalah seri kedua dalam liputan khusus tentang 'Penembakan Misterius 1982-1985'.

Silakan baca seri pertamanya: Pembunuhan misterius 1982-1985: 'Walau bapak saya gali, dia tak bisa dibunuh tanpa diadili dulu'

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Stigma terhadap Aceh Bakal Menguat jika BNN Razia Kuliner Mengandung Ganja

Stigma terhadap Aceh Bakal Menguat jika BNN Razia Kuliner Mengandung Ganja

Regional
Hapus Stigma Makanan Aceh Mengandung Ganja, BNN Bakal Razia Rumah Makan

Hapus Stigma Makanan Aceh Mengandung Ganja, BNN Bakal Razia Rumah Makan

Regional
Remaja di Kupang Tikam Seorang Pria karena Dianiaya Saat Melintas di Acara Pesta Ulang Tahun

Remaja di Kupang Tikam Seorang Pria karena Dianiaya Saat Melintas di Acara Pesta Ulang Tahun

Regional
Berendam di Pemandian Air Panas, Warga Ambarawa Meninggal Usai Membasahi Kaki

Berendam di Pemandian Air Panas, Warga Ambarawa Meninggal Usai Membasahi Kaki

Regional
Ikut Penjaringan Pilkada di Empat Partai, Sekda Semarang: Kehendak Semesta

Ikut Penjaringan Pilkada di Empat Partai, Sekda Semarang: Kehendak Semesta

Regional
Perayaan Waisak, Ada Pelarungan Pelita di Sekitar Candi Borobudur

Perayaan Waisak, Ada Pelarungan Pelita di Sekitar Candi Borobudur

Regional
Goa Garunggang di Bogor: Daya Tarik, Harga Tiket, dan Rute

Goa Garunggang di Bogor: Daya Tarik, Harga Tiket, dan Rute

Regional
Longsor di Maluku Tengah, Satu Rumah Warga Ambruk

Longsor di Maluku Tengah, Satu Rumah Warga Ambruk

Regional
Kunjungi Bocah Korban Kekerasan Seksual, Walkot Pematangsiantar Beri Motivasi hingga Santunan

Kunjungi Bocah Korban Kekerasan Seksual, Walkot Pematangsiantar Beri Motivasi hingga Santunan

Regional
Pemkot Semarang Raih Opini WTP 8 Kali Berturut-turut, Mbak Ita: Cambuk agar Lebih Baik

Pemkot Semarang Raih Opini WTP 8 Kali Berturut-turut, Mbak Ita: Cambuk agar Lebih Baik

Regional
Organisasi Guru di Demak Tolak Larangan Study Tour, Ini Kata Mereka

Organisasi Guru di Demak Tolak Larangan Study Tour, Ini Kata Mereka

Regional
Teknisi di Lampung Gondol Rp 1,3 Miliar, Curi dan Jual Data Internet

Teknisi di Lampung Gondol Rp 1,3 Miliar, Curi dan Jual Data Internet

Regional
Warga Cepu Temukan Fosil Gading Gajah Purba, Diduga Berusia 200.000 Tahun

Warga Cepu Temukan Fosil Gading Gajah Purba, Diduga Berusia 200.000 Tahun

Regional
Video Viral Seorang Pria di Kupang Dipukul Pakai Kayu di Tangan hingga Pingsan, Kasus Berujung ke Polisi

Video Viral Seorang Pria di Kupang Dipukul Pakai Kayu di Tangan hingga Pingsan, Kasus Berujung ke Polisi

Regional
Pembunuh Kekasih Sesama Jenis di Banten Dituntut 16 Tahun Penjara

Pembunuh Kekasih Sesama Jenis di Banten Dituntut 16 Tahun Penjara

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com