"Sebenernya ini kayu-kayu pendek yang dipotong, dibentuk, lalu digabung. Jadi memanfaatkan limbah kayu yang tidak dipakai. Mungkin proses pembuatan dari awal sampai finishing rata-rata 10 harian," jelas dia.
Terlepas dari itu, Bambang menjual alat-alat musik keroncong ini dengan harga yang beragam.
Alat cuk dan cak, dijual dengan harga mulai dari Rp 350.000, Rp 450.000, hingga Rp 800.000. Sedangkan alat musik bass dijual dengan harga Rp 5 jutaan.
Uniknya, pemasaran alat-alat musik milik Bambang ini sudah tersebar di berbagai pulau Indonesia. Bahkan, alat musik produksi Bambang ini pernah tembus di pasar Malaysia.
"Kalau di Indonesia hampir menyeluruh, ada Rembang, Tidore, Papua, Kudus, Demak, Jepara, Ungaran, masih banyak lagi. Kalau terjauh di Malaysia pas tahun 1999an lalu," ucap Bambang.
Meski hampir tergerus zaman, imbuh Bambang, masih ada peminat alat keroncong yang kerap memesan di rumah produksinya.
Baca juga: Waldjinah, dari Kembang Kacang hingga Ratu Keroncong
Bahkan, dalam satu bulan, Bambang bisa menyelesaikan kira-kira 10 alat musik.
"Paling banyak pesanan cuk atau ukulele. Karena bikinnya yang paling cepet. Dalam satu bulan rata-rata pasti ada 10 yang beli," ungkap dia.
Selain memproduksi alat musik keroncong, Bambang juga aktif menggerakkan Komunitas Pelaku Keroncong Semarang (KPKS).
Dalam komunitas tersebut, Bambang mengumpulkan seluruh pelaku seni keroncong di Kota Semarang untuk bersama-sama meningkatkan kualitas.
Tidak hanya itu, dirinya juga melakukan pendataan agar mendapat BPJS Ketenagakerjaan.
"Sekarang sudah hampir 50 anggota. Ya, salah satunya kalau di sini diajari bagaimana bermain keroncong yang benar. Kedua, buat mendapatkan BPJS Ketenagakerjaan, kan kebanyakan pada ndak punya," jelas Bambang.
Baca juga: Menkop UKM: Kota Solo Jadi Kiblat Dunia Ilmu Budaya Musik Keroncong
Kendati demikian, tidak sedikit anak muda yang tergabung menjadi anggota KPKS.
Bambang menyebut, hal itu lah yang membuat musik keroncong bisa bertahan hingga saat ini. "Kan banyak juga anak-anak SMA, pemuda yang ngamen, mencari uang juga," ucap Bambang.
Hebatnya, komunitas musik satu ini sudah menjalin kerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Semarang. Sehingga, mereka bisa mendapat tempat yang legal untuk mengamen.
Diantaranya seperti Lawang Sewu, Terminal Mangkang, Taman Lele, Goa Kreo, Sam Poo Kong, hingga Kota Lama.
"Kalau main pas hari Sabtu Minggu, sekitar sore. Tapi ini masih libur karena terkendala cuaca. Kalau lagu yang dimainkan bebas, asal musiknya keroncong. Ini karena untuk mempertahankan seni keroncong," pungkas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.