Salin Artikel

Kisah Bambang Wisnu, Pelestari dan Pembuat Alat Musik Keroncong yang Bertahan sejak 1996 di Kota Semarang

Di tengah gempuran musik modern saat ini, Bambang, sapaan akrabnya, masih bersikeras menggeluti musik keroncong.

Hal tersebut bisa dilihat di teras rumahnya, tepatnya di Jalan Sanggung Raya, Nomor 181, Kelurahan Jatingaleh, Kecamatan Candisari, Kota Semarang.

Sejumlah alat musik keroncong, seperti cuk atau ukulele, cak, selo, bass, dan biola tampak tergantung di serambi rumah.

Tak hanya itu, peralatan tukang seperti amplas listrik, gergaji listrik, cat warna, mesin bur, tang, dan alat tukang lainnya juga tampak tertata di rak besi depan rumah.

Bambang, sapaan akrabnya, menyebut, profesi sebagai seorang perajin dan pemusik keroncong yang dia pilih itu sudah dimulai sejak 1996 silam.

Awalnya, Bambang hanya ingin bisa memainkan biola. Lantaran tak memiliki alat musik tersebut, dirinya berinisiatif untuk membuat biola sendiri.

"Awalnya pengen belajar biola. Waktu tahun itu kan harga biola sudah mahal dan saya tidak mampu beli. Lalu berpikir gimana caranya bisa main, makanya bikin sendiri," jelas Bambang kepada Kompas.com, Senin (13/4/2023).

Dari situlah, Bambang mulai menggeluti kemampuannya membuat alat musik keroncong berbahan dasar kayu.

Lebih jelas Bambang mengatakan, ada sejumlah langkah untuk membuat alat-alat musik keroncong, seperti cuk, cak, selo, dan bass.

Pertama, pemotongan pola alat musik. Lalu, melakukan pengamplasan kayu. Ketiga, pemasangan seluruh bagian.

"Setelah body jadi semua, baru dipasang neck. Setelah itu, baru finishin, itu pengecatan. Tergantung permintaan, mau dicat biasa atau melamin," tutur Bambang.

Disamping itu, Bambang menyebut, kayu yang digunakan dalam memproduksi alat musik keroncong ini diambil dari kayu mahoni, nangka, ataupun kayu jati Belanda.

Tak heran, alat musik hasil produksinya ini memiliki ketahanan yang kuat.

Dalam proses pembuatan alat musik, Bambang membutuhkan waktu kurang lebih 10 hari untuk menyelesaikan 1-2 alat musik, tergantung jenis alat musik.

"Sebenernya ini kayu-kayu pendek yang dipotong, dibentuk, lalu digabung. Jadi memanfaatkan limbah kayu yang tidak dipakai. Mungkin proses pembuatan dari awal sampai finishing rata-rata 10 harian," jelas dia.

Terlepas dari itu, Bambang menjual alat-alat musik keroncong ini dengan harga yang beragam.

Alat cuk dan cak, dijual dengan harga mulai dari Rp 350.000, Rp 450.000, hingga Rp 800.000. Sedangkan alat musik bass dijual dengan harga Rp 5 jutaan.

Uniknya, pemasaran alat-alat musik milik Bambang ini sudah tersebar di berbagai pulau Indonesia. Bahkan, alat musik produksi Bambang ini pernah tembus di pasar Malaysia.

"Kalau di Indonesia hampir menyeluruh, ada Rembang, Tidore, Papua, Kudus, Demak, Jepara, Ungaran, masih banyak lagi. Kalau terjauh di Malaysia pas tahun 1999an lalu," ucap Bambang.

Meski hampir tergerus zaman, imbuh Bambang, masih ada peminat alat keroncong yang kerap memesan di rumah produksinya.

Bahkan, dalam satu bulan, Bambang bisa menyelesaikan kira-kira 10 alat musik.

"Paling banyak pesanan cuk atau ukulele. Karena bikinnya yang paling cepet. Dalam satu bulan rata-rata pasti ada 10 yang beli," ungkap dia.

Bentuk komunitas pelaku keroncong Semarang

Selain memproduksi alat musik keroncong, Bambang juga aktif menggerakkan Komunitas Pelaku Keroncong Semarang (KPKS).

Dalam komunitas tersebut, Bambang mengumpulkan seluruh pelaku seni keroncong di Kota Semarang untuk bersama-sama meningkatkan kualitas.

Tidak hanya itu, dirinya juga melakukan pendataan agar mendapat BPJS Ketenagakerjaan.

"Sekarang sudah hampir 50 anggota. Ya, salah satunya kalau di sini diajari bagaimana bermain keroncong yang benar. Kedua, buat mendapatkan BPJS Ketenagakerjaan, kan kebanyakan pada ndak punya," jelas Bambang.

Kendati demikian, tidak sedikit anak muda yang tergabung menjadi anggota KPKS.

Bambang menyebut, hal itu lah yang membuat musik keroncong bisa bertahan hingga saat ini. "Kan banyak juga anak-anak SMA, pemuda yang ngamen, mencari uang juga," ucap Bambang.

Hebatnya, komunitas musik satu ini sudah menjalin kerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Semarang. Sehingga, mereka bisa mendapat tempat yang legal untuk mengamen.

Diantaranya seperti Lawang Sewu, Terminal Mangkang, Taman Lele, Goa Kreo, Sam Poo Kong, hingga Kota Lama.

"Kalau main pas hari Sabtu Minggu, sekitar sore. Tapi ini masih libur karena terkendala cuaca. Kalau lagu yang dimainkan bebas, asal musiknya keroncong. Ini karena untuk mempertahankan seni keroncong," pungkas dia.

https://regional.kompas.com/read/2023/03/13/133504878/kisah-bambang-wisnu-pelestari-dan-pembuat-alat-musik-keroncong-yang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke