Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komarudin Watubun
Politisi

Komarudin Watubun, SH, MH adalah anggota Komisi II DPR RI; Ketua Pansus (Panitia Khusus) DPR RI Bidang RUU Otsus Papua (2021); pendiri Yayasan Lima Sila Indonesia (YLSI) dan StagingPoint.Com; penulis buku Maluku: Staging Point RI Abad 21 (2017).

Zona Blok Masela dan Potensi "Provinsi Prisai" Indonesia

Kompas.com - 24/11/2022, 17:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Proyek Blok Masela dilakukan di zona seluas sekitar 4.291,35 km2 di laut dalam 300-1000 meter di Laut Arafura dan sekitar 800 km sisi timur Kota Kupang, Provinsi NTT. Maka proyek Blok Masela akan dikelola di laut dan darat.

Dari sumur-sumur off-shore (laut dalam), dipasang pipa-pipa menuju unit proses terapung guna memisahkan minyak dan gas. Kemudian gas disalurkan melalui pipa ke darat sekitar 180-200 km. Aliran gas ke onshore (darat) mendukung operasi industri petrokimia.

Operasi ini tentu membutuhkan persiapan keahlian, pengetahuan dan kompetensi SDM. Maka pada siang Rabu 6 April 2016, usai meresmikan Pelabuhan Tobelo di Halmahera Utara, Maluku, Presiden Jokowi  merilis arah kebijakan SDM.

“Kemarin malam, saya sudah ketemu dengan Rektor Universitas Pattimura dan juga politekniknya, sudah saya sampaikan ada kebutuhan ini, menyiapkan 12.000 sumber daya manusia (SDM) yang akan mendukung pengelolaan Blok Masela,” kata Jokowi ketika itu.

Pada Juli 2019 di Istana Merdeka (Jakarta), Presiden Jokowi menerima laporan SKK Migas bahwa produksi Blok Masela dimulai tahun 2027. Total biaya pengembangan lapangan Proyek LNG Lapangan Abadi di Blok Masela mencapai 18,5 – 19,8 miliar dollar AS.

Desain model ‘Provinsi Prisai RI’

Buku Twenty years Indonesian foreign policy 1945–1965 (2018:365), Dr Ide Anak Agung Gde Agung mengutip Presiden Soekarno (1962): “In Soekarno’s view, the ‘dynamic processes of social change’ often result in or represent a conflict between the old established and the new nationalist forces, and ‘a lasting peace can be achieved only if this controntation leads to a world where the domination of colonialism, imperialism, and neocolonialism in all their manifestations is radically eliminated.

Jadi, menurut Soekarno, perubahan masyarakat sering terselutante dalam konflik antara tata-kolonial lama vs kekuatan-kekuatan nasionalis (pejuang kemerdekaan); dalam lingkungan dan kondisi semacam ini, suatu perdamaian abadi dapat diraih, jika konfrontasi ini menghasilkan tata dunia yang mengikis habis dominasi kolonialisme, imperialisme, dan neo-kolonialisme dalam segala bentuknya.

Pandangan Soekarno itu masih valid hingga hari ini, bahkan masa datang. Tahun 1711, Steele menulis dalam The Spectator edisi 19 Oktober 1711: “It is generally observed, that in countries of the greatest plenty there is the poorest living”. Bahwa Rakyat pada zona-zona kaya sumber daya alam, selalu mengalami nestapa kemiskinan.

Kemudian isu itu muncul lagi dalam debat-debat ilmiah tahun 1950-an dan 1960-an perihal ‘economic course’ atau nestapa ekonomi pada negara-negara berkembang yang sangat kaya sumber-sumber daya alam. (Michael L. Ross, 2015: 239-259).

Kemudian riset empirik Richard Audy (1993) dan Jeffrey Sachs dan Andrew Warner (1995) menemukan gejala dan korelasi antara rakyat pada wilayah kaya sumber alam yang terperangkap oleh kemiskinan dan perang saudara atau konflik akut. Ada risiko ‘resource curse’ atau ‘paradox of plenty’ yakni rakyat pada zona kaya sumber alam khususnya mineral-mineral langka dan strategis serta bahan bakar fosil, selalu hidup miskin dan/atau terperangkap konflik akut.

Jalan keluar dari kecemasan Soekarno dan risiko nestapa ekonomi atau paradoks kaya sumber alam, dapat ditemukan, jika model pengembangan provinsi ‘prisai’ Blok Masela dan sekitarnya, menerapkan antara lain model Norwegia. Norwegia mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Mmaka, pilihannya ialah tata-kelola kapital-kapital berbasis sumber daya alam dan investasi modal SDM lokal di Kepulauan Maluku dan sekitarnya.

Baca juga: Gubernur NTT Sebut Pembagian Fee Blok Masela akan Diputuskan Presiden Jokowi

Model Norway—model Norwegia—lazimnya memilah enam modal (capital) sebagai sumber kesejahteraan rakyat, yakni kesejahteraan (welfare) selalu lahir dari sinergi dan saling-dukung antara modal keuangan (financial capital) + modal riil (real capital) + sumber daya manusia (human resources) + sumber daya alam (natural capital) + modal tata-kelola kelembagaan atau manajemen (institutional capital), dan modal sains-teknologi (the stock of technological knowledge) (Moe, 2010:7-12).

Kapital alam (natural capital) terdiri dari (a) modal alam berbasis pasar (market-based capital) seperti gas, minyak, mineral, perikanan, dan lain-lain; (b) modal alam yang tidak dapat diperjual-belikan (non-market-based capital) seperti fungsi ekosistem, keragaman-hayati, dan lain-lain. Dengan model tersebut di atas, Norwegia sampai hari ini, masih menjadi negara sangat sehat-sejahtera-lestari (sustainable state) di dunia.

Jika merujuk model Norwegia tersebut, rakyat Kepulauan Maluku saat ini, memiliki hak 10 persen dari tata-kelola Blok Masela. Rakyat belum memiliki modal-modal lainnya, seperti keuangan dan iptek.

Menurut laporan Kementerian ESDM (Humas Setkab RI, 18/7/2019), jumlah output gas alam Blok Masela sebesar 10,5 juta ton/tahun dan memasok penyediaan gas melalui jalur pipa. Kondensatnya mencapai sekitar 35.000 barel kondensat per hari.

Maka proyek investasi Blok Masela perlu melibatkan pelatihan dan rekrut SDM-SDM lokal—misalnya Maluku, Papua, dan NTT, maka proyek ini menjadi mesin pertumbuhan sosial-ekonomi (engine of growth) kawasan timur Indonesia.

Jika investasi-investasi turunan proyek Blok Masela seperti perbankan, pelatihan SDM politeknik, jasa hukum, sektor industri turunan – sekitar 140-an produk turunan dari gas—dibangun di Kepulauan Maluku dan sekitarnya, maka bakal lahir tata-dunia baru berbasis zona kawasan timur.

Model Norwegia tersebut di atas dapat menjabarkan prinsip-prinsip dasar tata-kelola pertambangan secara berkelanjutan, yakni prinsip demokrasi ekonomi, efisiensi, berkeadilan, dan berkelanjutan yang diukur dari sehat-lestari ekosistem negara sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Penjabaran filosofi yuridis ini melahirkan suatu model ‘provinsi prisai’ Indonesia dari kawasan Blok Masela dan sekitarnya untuk bangsa dan negara Indonesia kini dan masa datang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com