Menurut Alexander, pihaknya melakukan penertiban itu karena penghuni menghalangi program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan oleh pemerintah.
Bahkan, mereka melakukan tindakan yang dapat membahayakan diri mereka sendiri.
"Misalnya perempuan dan anak naik ke atas alat berat dan memaksa operator alat berat untuk jalankan ekskavator, jika eksavator jalan, anak dan perempuan pasti akan jatuh dan pasti nanti pemerintah akan disalahkan lagi. Makanya kita pangkas dari akar, bongkar rumah. Rumah tidak ada, mereka pasti tidak akan tinggal lagi di situ,” jelasnya.
Menurut Alex, rumah-rumah yang dibangun oleh pemerintah provinsi ditertibkan karena dihuni oleh orang –orang yang tidak bertanggung jawab.
Mereka dianggap membangun rumah-rumah di dalam kawasan lahan milik pemerintah provinsi itu secara ilegal.
Dia menjelaskan, rumah-rumah ini pada awalnya dibangun oleh pemerintah Provinsi dengan alasan kemanusian sambil menunggu negoisasi pemerintah provinsi dengan keluarga Nabuasa terkait relokasi bagi para okupan tersebut.
Setelah keluarga Nabuasa sebagai tuan tanah memberikan tanah untuk relokasi di luar kawasan milik Pemerintah Provinsi, maka mereka direlokasi ke tempat tersebut.
Baca juga: Australia Klaim Pulau Pasir, Masyarakat Adat NTT Bakal Gugat ke Pengadilan Canberra
Namun dari 37 Kepala Keluarga (KK), hanya 19 KK yang setuju, sementara 18 KK lainnya tidak setuju dengan upaya relokasi.
"Ke-18 KK yang tidak setuju ini kemudian menghilang entah ke mana, lalu kemudian muncul kembali saat kita sedang melaksanakan program-program pemberdayaan masyarakat di kawasan Besipae. Mereka menempati kembali rumah-rumah yang dibangun pemerintah tanpa izin dengan cara ilegal membongkar kunci-kunci yang ada. Makanya kita tertibkan,” jelasnya.
Terkait dengan upaya penertiban ini, Alex menjelaskan sudah melakukan sosialisasi dan mengirimkan surat kepada para warga yang menghuni tempat itu.