BANGKA, KOMPAS.com - Kayu sebagai bahan alternatif untuk mengurangi porsi penggunaan batu bara ternyata sangat sulit didapat. Ini menyebabkan penggunaan co firing batu bara dengan woodchip (serpihan kayu) juga sulit untuk ditingkatkan.
"Saat ini kita sudah berjalan dengan co firing woodchip sebesar lima persen dari total bahan bakar PLTU," kata General Manager PLN Bangka Belitung, Amris Adnan di PLTU Air Anyir Bangka, Selasa (27/9/2022).
Amris mengakui, tidak mudah untuk mengumpulkan woodchip dalam jumlah besar karena berkaitan dengan ketersediaan kayu dari masyarakat.
Baca juga: Abu Sisa Pembakaran Batu Bara PLTU Dijadikan Bahan Rumah Bantuan di Aceh
Kayu yang digunakan pun harus dipastikan asal usulnya, sehingga tidak berasal dari hutan lindung.
"Untuk penyediaan kayu dilakukan perusahaan yang menang tender. Kayu itu dicincang lagi sehingga berbentuk woodchip," ujar Amris.
Penggunaan woodchip, kata Amris, bagian dari upaya menekan emisi karbon yang bersumber dari pembakaran batu bara.
Ini mengacu pada target 23 persen bauran energi terbarukan pada 2025 dan net zero emission pada 2060.
"Juni 2022 telah ada kontrak dengan pemasok woodchip selama setahun sebanyak 15.000 ton. Agustus lalu pengiriman dimulai dan September 2022 ini mulai komersialisasi co firing," ujar Amris.
PLTU Air Anyir Bangka memiliki kapasitas daya terpasang sebesar 2 x 30 MW dengan dua mesin penggerak.
Rata-rata produksi tahunan PLTU Air Anyir mencapai 354.391 MWh per tahun dan pemakaian Batubara mencapai 365.933 ton per tahun.
Dengan implementasi cofiring 5 persen maka PLTU Air Anyir Bangka berpotensi mengonsumsi 18.297 ton biomassa atau woodchip per tahun atau 1.500 ton per bulan.
"Dampak ke tungku PLTU tidak ada perubahan," ujar Amris.
Saat ini harga penyediaan woodchip masih disamakan dengan harga acuan batu bara.
Baca juga: Uji Coba Cangkang Kelapa Sawit Pengganti Batu Bara di PLTU Tembilahan, Beban 7 MW Tetap Stabil
Ke depan kata Amris juga bakal dilakukan pengembangan dengan menggunakan cangkang sawit.
Sementara untuk penggunaan kayu yang sudah diolah berbentuk pelet bakal sulit direalisasikan karena harganya yang mahal.
Penyedia diprediksi bakal mementingkan ekspor ke Eropa jika harga dalam negeri pelet kayu disamakan dengan batu bara.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.