Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Puta, Sempat Menyiapkan Makam Sendiri karena HIV/AIDS, Kini Rangkul Ribuan ODHA Jateng Bangkit Bersama

Kompas.com - 09/09/2022, 22:51 WIB
Titis Anis Fauziyah,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi

SEMARANG, KOMPAS.com - Masih terekam di memori Puta Aryatama (42) saat dirinya diopname, terbaring tak berdaya di tempat tidur rumah sakit.

Ia bahkan hampir menyerah dan menyiapkan pemakaman.

Puta menceritakan, awalnya pada 2007, ia didiagnosa mengidap TBC di Rumah Sakit Paru Salatiga.

Sebab, saat itu hanya RS besar yang dapat melakukan tes HIV/AIDS.

Baca juga: Temuan Mayat Terbakar Diduga Iwan Budi Pegawai Bapenda Semarang, Sang Istri Masih Tak Percaya

Ia hanya merasakan sesak di dada. Selama dirawat, imunnya memburuk dan kondisi semakin kritis.

Berat badannya anjlok dari 60 menjadi 35 kilogram.

“Akhirnya waktu itu sudah mengumpulkan keluarga karena kayaknya sudah mau pesan rumah masa depan (meninggal),” tutur Puta, kepada Kompas.com, di kantor Yayasan PEKA, Semarang, pada Jumat (9/9/2022).

Diduga tertular dari narkoba

Dari situlah muncul pembicaraan soal riwayat hidup Puta sejak masa kecilnya.

Setelah diusut, semasa SMA hingga kuliah di Jakarta, ia pernah menjadi pecandu narkoba yang menggunakan suntikan mulai tahun 1995.

Melihat teman pengguna narkoba mengalami overdosis, tahun 2000, ia berhenti dan mengasingkan diri ke Bogor agar tidak terpengaruh lagi.

Ia pun pulang ke kampung halaman di Salatiga.

Mengingat hal itu, orangtuanya berinisiatif mengecek sampel darahnya di Laboraorium RSUP Kariadi Semarang untuk memastikan penyakitnya.

Baca juga: PNS Bapenda Kota Semarang yang Hilang Ternyata Akan Jadi Saksi Kasus Dugaan Korupsi Ini

“Dari RSUP Kariadi dapat obat, dan tiga bulan dirawat di RS Paru Salatiga kondisi membaik setelah mendapat obat itu. Tapi, saya masih enggak tahu apa penyakitnya,” terang dia.

Sesampainya di rumah, seorang penyuluh HIV/AIDS datang ke rumahnya dan menjelaskan kondisi yang dialami Puta.

Ia pun mulai bergabung dengan komunitas orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Salatiga.

Selama satu tahun, kondisinya membaik dan berat badannya kembali.

Dari anggota, Puta mulai memimpin komunitas ODHA di Salatiga.

Tahun 2011, ia menjangkau komunitas ODHA lebih luas di lingkung Provinsi Jawa Tengah. Ia mulai berjejaring dengan relasi di Jakarta.

 

Pada 2015, akhirnya Puta resmi membentuk komunitas menjadi Yayasan Peduli Kasih (PEKA).

Ia menggerakkan rekan sesama ODHA untuk mendampingi ODHA lainnya di seluruh pelosok daerah Jateng.

“Dengan dukungan sebaya sesama ODHA, kami berbagi motivasi supaya semangat melanjutkan hidup dan kami beri obat-obatan yang dibutuhkan,” tutur Puta.

Sekarang, Puta memiliki 40 kelompok komunitas ODHA yang tersebat di 35 kabupaten atau kota di Jateng.

Di dalamnya terdapat 90 ODHA mandiri yang menjadi pendamping di daerah masing-masing.

“ODHA mandiri itu kan ibaratnya sudah bisa menerima dirinya dan tidak perlu motivasi lagi. Mereka sekarang yang membantu ODHA yang baru terdiagnosa,” imbuh dia.

Stigma negatif

Tantangan dari luar yang masih dihadapi Puta yakni stigma buruk baik dari nakes maupun orang lain yang menyudutkan dan mendiskriminasi ODHA.

“Kadang pas lagi periksa dan nakes tahu kalau dia ODHA, perlakuannya langsung berbeda dan kadang merendahkan. Enggak semua, tapi masih ada yang begitu,” kata dia.

Belum lagi informasi hoaks yang bertebaran di internet selama pandemi Covid-19. Terkadang ODHA tidak bisa menyaring informasi yang benar sesuai kebutuhannya.

Meski pengobatan gratis dibiayai pemerintah secara penuh.

Baca juga: Mayat Tanpa Kepala di Semarang, Ada Papan Nama Iwan Budi Paulus dan Motor Hangus Terbakar di TKP

 

Namun, banyak anak korban orang tertular orang tua HIV/AIDS ditolak di sekolah. Bahkan, tidak diterima di keluarganya sendiri.

“Yang sebatang kara karena orangtuanya yang kena HIV meninggal juga ada, kalau kami di Jateng biasanya dirawat Rumah Aira,” ujar dia.

Ia sangat berharap kemajuan teknologi dan dunia medis dapat meracik vaksin maupun obat HIV/AIDS.

 

Sebab, pengobatan seumur hidup yang harus dijalani para ODHA terkadang dirasa melelahkan.

“Banyak yang sudah capek hidup bergantung dari minum obat, akhirnya berhenti dan meninggal,” ungkap Puta.

Saat ini, 90 anggota pendampingnya secara rutin mengikuti pelatihan staf dan rapat bulanan.

Ia terus memonitoring perkembangan sekitar 14.000 ODHA yang didampingi timnya.

Baca juga: Loenpia Gang Lombok, Lumpia Legendaris di Semarang yang Umurnya Ratusan Tahun

“Data dari layanan dan laporan pasien kami mencatat Juli-Agustus 2022 total 12.758 ODHA di Jateng, kami damping dan dukung terus,” kata dia.

Sebanyak 11.073 merupakan ODHA lama, dan sejumlah 1.685 berasal dari ODHA yang baru terdeteksi di sekitar periode tersebut.

“Melihat mereka yang terkapar di RS bisa pulih dan bangkit itu sangat berharga. Karena bagi saya nyawa itu tidak bisa dibayar dengan apapun,” pungkas Puta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Wilayah Rawan Banjir Kiriman Malaysia Jadi Sasaran TMMD, Kodim 0911/NNK Siapkan Lahan Pangan

Wilayah Rawan Banjir Kiriman Malaysia Jadi Sasaran TMMD, Kodim 0911/NNK Siapkan Lahan Pangan

Regional
6 WNI Jadi Tersangka Penyelundupan WN China ke Australia

6 WNI Jadi Tersangka Penyelundupan WN China ke Australia

Regional
Korban Tungku Meledak di Lampung Bertambah Jadi 4 Orang, Polisi Selidiki Penyebabnya

Korban Tungku Meledak di Lampung Bertambah Jadi 4 Orang, Polisi Selidiki Penyebabnya

Regional
Pilkada Demak: Dua Orang Mendaftar ke Gerindra, Ada yang Diantar Klub Sepak Bola

Pilkada Demak: Dua Orang Mendaftar ke Gerindra, Ada yang Diantar Klub Sepak Bola

Regional
Nekat Rebut Kalung Emas Lansia, Jambret di Brebes Babak Belur Dihakimi Massa

Nekat Rebut Kalung Emas Lansia, Jambret di Brebes Babak Belur Dihakimi Massa

Regional
Mawar Camp Gunung Ungaran di Semarang: Daya Tarik, Aturan, dan Harga Tiket

Mawar Camp Gunung Ungaran di Semarang: Daya Tarik, Aturan, dan Harga Tiket

Regional
Tak Hafal Lagu Indonesia Raya Saat Bikin KTP, Gadis di Nunukan Mengaku Dilecehkan ASN Disdukcapil

Tak Hafal Lagu Indonesia Raya Saat Bikin KTP, Gadis di Nunukan Mengaku Dilecehkan ASN Disdukcapil

Regional
Sabtu, Wali Kota Semarang Bakal Daftar Pilkada 2024 di DPC PDI-P

Sabtu, Wali Kota Semarang Bakal Daftar Pilkada 2024 di DPC PDI-P

Regional
Polisi Tangkap Preman yang Acak-acak Salon Kecantikan di Serang Banten

Polisi Tangkap Preman yang Acak-acak Salon Kecantikan di Serang Banten

Regional
Rumah Pembunuh Pelajar SMK Diserang Puluhan Massa Bersenjata Parang

Rumah Pembunuh Pelajar SMK Diserang Puluhan Massa Bersenjata Parang

Regional
Maju Bakal Calon Wakil Wali Kota Semarang, Ade Bhakti Mendaftar ke PDI-P

Maju Bakal Calon Wakil Wali Kota Semarang, Ade Bhakti Mendaftar ke PDI-P

Regional
Teka-teki Pria Ditemukan Terikat dan Berlumpur di Semarang, Korban Belum Sadarkan Diri

Teka-teki Pria Ditemukan Terikat dan Berlumpur di Semarang, Korban Belum Sadarkan Diri

Regional
Menikah Lagi, Pria di Sumsel Luka Bakar Disiram Air Keras oleh Istrinya

Menikah Lagi, Pria di Sumsel Luka Bakar Disiram Air Keras oleh Istrinya

Regional
Duduk Perkara Rektor Unri Laporkan Mahasiswa yang Kritik Soal UKT

Duduk Perkara Rektor Unri Laporkan Mahasiswa yang Kritik Soal UKT

Regional
Truk Dipalak Rp 350.000 di Jembatan Jalinteng, Polisi 'Saling Lempar'

Truk Dipalak Rp 350.000 di Jembatan Jalinteng, Polisi "Saling Lempar"

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com