Sementara itu, Akademisi Universitas Jambi, Dede Martino, menuturkan, produksi minyak goreng skala rumahan harus didukung semua pihak, agar tercipta kemandirian di tingkat petani.
Ilmuwan Jambi yang mengantongi ratusan hak paten ini menyebutkan, teknologi untuk produksi minyak goreng skala rumahan dapat dibuat dengan biaya Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar.
"Kelompok koperasi di Bengkulu sudah bisa bikin minyak goreng sendiri. Mereka jual ke anggota koperasi dan masyarakat sekitar," kata Dede.
Dede mengatakan, mesin sederhana minyak goreng rumahan, bekerja sedikit rumit dan kurang efisien. Tetapi kualitas minyak yang dihasilkan cukup baik.
Dengan adanya kelompok petani skala rumahan, stok minyak di pasaran akan melimpah. Maka pelaku kartel minyak goreng kehilangan daya monopoli harga.
Dede mencontohkan lagi, di Afrika, tempat asal sawit, masyarakat mengolah sendiri minyak sawit dalam skala kecil, bukan diantar ke pabrik.
Pembuatan pertama kali dengan metode tumbuk dan peras yang dilakukan dukun, untuk pengobatan karena kaya pro vitamin A.
Lama-lama, produksi semakin berkembang dan dijual ke masyarakat luas. Sehingga di Afrika tidak butuh pabrik sawit untuk menghasilkan minyak goreng.
"Kilang kecil petani desa akan menghidupkan ekonomi desa. Apalagi bahan baku sawit yang berlimpah di Jambi, tentu bisa berkembang dengan cepat," ujar Dede.
Selain produksi minyak goreng, Dede mendorong petani mengolah lidi sawit. Untuk sekarang Jambi akan mengirim 1 kontainer lidi sawit ke Eropa.
Selanjutnya, petani mengolah daun dan pelepah sawit untuk pakan ternak.
Kemudian petani juga bisa beternak madu dan sapi di kebun sawitnya. Dengan demikian, rendahnya harga sawit membuat petani tetap mandiri dalam ekonomi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.