Eko mengungkapkan bahwa dari 20 peserta tersebut, yang masih bertahan hingga saat ini untuk memproduksi dan mengembangkan batik hanya 4 orang, termasuk dirinya.
Pasca pelatihan, Eko mencoba untuk memproduksi batik di satu lembar kain. Pihaknya menyebutkan bahwa modal dari produksi tersebut hanya Rp 50.000.
“Karena kain dan lilin malamnya sudah ada, maka saya beli pewarnanya saja seharga Rp 50.000,” ucap Eko.
Eko juga mengatakan bahwa dulunya, dirinya tidak memiliki alat-alat khusus seperti kompor dan wajan untuk memanaskan lilin malam. Sehingga, dirinya harus bergantian menggunakan kompor dan wajan dapur yang digunakan untuk memasak.
Satu lembar kain batik yang dibuat Eko akhirnya jadi. Kain tersebut merupakan pesanan seorang dosen Universitas Diponegoro (Undip) yang digunakan sebagai taplak meja.
“Karena saat itu saya masih belum percaya diri dengan karya saya, maka ya sudah saya jual Rp 25.000 saja,” tutur Eko.
Ketika taplak meja tersebut dipasang di suatu acara, tak disangka ada salah satu peserta tertarik dengan karya milik Eko, dan menawarkan pinjaman untuk memproduksi batik.
Dengan itu, semangat Eko semakin tumbuh. Selama hampir 22 tahun ini, Eko berhasil bertahan hidup dengan karya-karya batik yang ia miliki.
Produksi batik di Kota Semarang memang belum sebesar Yogyakarta, Solo, maupun Pekalongan. Namun, motif-motif batik Semarang memiliki ciri yang khas. Menurut Eko, terdapat penyebutan batik di Kota Lumpia ini. Batik Semarang, Semarangan, dan Sembarangan.
Batik Semarang, merupakan sebutan batik khas Kota Semarang. Motif-motif yang digambar dalam Batik Semarang meliputi ikon-ikon khas Semarang, seperti Kota Lama, Gereja Blenduk, Lawang Sewu, lumpia, tahu petis, wewe gombel, bandheng presto, hingga warak.
Baca juga: Museum Batik Danar Hadi: Sejarah, Lokasi, Jam Buka, dan Harga Tiket Masuk
Sedangkan Batik Semarangan, sama halnya dengan Batik Semarang. Motif-motif yang digambar meliputi ikonik khas Kota Semarang.
Hanya saja, Semarangan merupakan kata sifat. “Jika orang luar kota bilang, “Pak, beli batik Semarangan!”. Nah itu artinya, dia ingin batik seperti yang dibuat orang Semarang,” jelas Eko.
Disamping itu, ada juga yang disebut Batik Sembarangan. Menurut Eko, batik ini merupakan batik yang sudah tidak berjalan pada relnya.
“Dalam artian, masyarakat membeli Batik Semarangan, namun tidak di Kota Semarang,” tuturnya.
Namun, Eko tetap berharap jika masyarakat Indonesia, dapat ikut serta menghargai dan melestarikan warisan budaya Indonesia. Tidak hanya dengan mengenakan batik, paling tidak mengenal batik di kota masing-masing.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.