Salin Artikel

Lestarikan Batik di Semarang, Eko Haryanto: Bedakan Batik Semarang, Semarangan, dan Sembarangan

Bertempat di gerai batik miliknya, Cinta Batik Semarang tepatnya di Kampung Batik Gedong, No 430, Kelurahan Rejomulyo (Bubakan), Semarang, Eko sapaan akrabnya, membagikan cerita jatuh bangunnya sebagai pengrajin batik kepada Kompas.com, Jumat (11/2/2022).

Pada 2009, United Nations, Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) telah mengesahkan Batik sebagai salah satu warisan dunia yang berasal dari Indonesia. Dalam hal ini, kota penghasil batik di Indonesia yang sering dikenal adalah Pekalongan, Solo, dan Yogyakarta.

Menurut Eko, banyak orang yang menyangkal jika Kota Semarang memiliki batik yang berkualitas baik.

“Padahal jauh sebelum ada batik di Pekalongan, di Semarang sudah ada. Boleh-boleh saja menyangkal, tapi menurut beberapa penelitian telah menemukan ini,” kata Eko.

Dalam sejarahnya, batik di kota Semarang sudah muncul pada 1840. Saat itu, banyak masyarakat Eropa sedang mencari kebutuhan sandang.

Maka, banyak juga masyarakat Indonesia yang diperbudak untuk memproduksi batik. Motif batik yang dibuat berupa batik pesisir, mengingat letak Semarang yang tidak jauh dari daerah pesisir.

Sementara itu, pada 1942, terjadilah Perang Dunia Dua. Sehingga, produksi batik di Semarang menjadi tidak kondusif dan vakum selama beberapa tahun.

Atas dasar itu, Eko tergugah hatinya untuk memunculkan kembali batik di Semarang. Menurut dia, warisan nenek moyang adalah suatu hal yang mahal. Dengan membantu melestarikan, maka batik akan tetap hidup.

“Jika tidak ada yang melestarikan, maka akan hilang,” tuturnya kepada Kompas.com.

Eko memilih menjadi perajin batik bukan tanpa alasan. Dirinya memiliki visi untuk melestarikan budaya Indonesia, serta ingin mengembangkan batik Semarang agar dikenal banyak orang. Meskipun, tambah Eko, tidak banyak masyarakat sekitar yang mendukung visinya tersebut.

Seiring berjalannya waktu, Eko berhasil membuktikan visinya untuk mengembangkan produksi batik di Kota Semarang. Sementara, masyarakat yang dulunya tidak mendukung, menjadi tertegun dan tergugah untuk ikut mengembangkan batik.

“Hanya saja, yang produksi hanya satu, tapi yang menjual banyak sekali,” ungkap Eko.

Awal mula

Di balik kesuksesan Eko dalam mengembangkan batik di Kota Semarang, terdapat perjuangan yang besar sebelumnya. Pada 2006, pihak Dinas Kebudayaan Kota Semarang hendak menggelar pelatihan membatik di daerah tempat tinggalnya, Rejomulyo, Semarang Timur.

Saat itu, kata Eko, untuk mengumpulkan 20 orang agar mengikuti pelatihan sangatlah sulit. Atas dasar keinginan dan ketertarikan Eko dalam seni membatik, maka Eko beserta isterinya, Iin Windhi mengikuti pelatihan tersebut.

Eko mengungkapkan bahwa dari 20 peserta tersebut, yang masih bertahan hingga saat ini untuk memproduksi dan mengembangkan batik hanya 4 orang, termasuk dirinya.

Pasca pelatihan, Eko mencoba untuk memproduksi batik di satu lembar kain. Pihaknya menyebutkan bahwa modal dari produksi tersebut hanya Rp 50.000.

“Karena kain dan lilin malamnya sudah ada, maka saya beli pewarnanya saja seharga Rp 50.000,” ucap Eko.

Eko juga mengatakan bahwa dulunya, dirinya tidak memiliki alat-alat khusus seperti kompor dan wajan untuk memanaskan lilin malam. Sehingga, dirinya harus bergantian menggunakan kompor dan wajan dapur yang digunakan untuk memasak.

Satu lembar kain batik yang dibuat Eko akhirnya jadi. Kain tersebut merupakan pesanan seorang dosen Universitas Diponegoro (Undip) yang digunakan sebagai taplak meja.

“Karena saat itu saya masih belum percaya diri dengan karya saya, maka ya sudah saya jual Rp 25.000 saja,” tutur Eko.

Ketika taplak meja tersebut dipasang di suatu acara, tak disangka ada salah satu peserta tertarik dengan karya milik Eko, dan menawarkan pinjaman untuk memproduksi batik.

Dengan itu, semangat Eko semakin tumbuh. Selama hampir 22 tahun ini, Eko berhasil bertahan hidup dengan karya-karya batik yang ia miliki.

Batik Semarang, Semarangan, dan Sembarangan

Produksi batik di Kota Semarang memang belum sebesar Yogyakarta, Solo, maupun Pekalongan. Namun, motif-motif batik Semarang memiliki ciri yang khas. Menurut Eko, terdapat penyebutan batik di Kota Lumpia ini. Batik Semarang, Semarangan, dan Sembarangan.

Batik Semarang, merupakan sebutan batik khas Kota Semarang. Motif-motif yang digambar dalam Batik Semarang meliputi ikon-ikon khas Semarang, seperti Kota Lama, Gereja Blenduk, Lawang Sewu, lumpia, tahu petis, wewe gombel, bandheng presto, hingga warak.

Sedangkan Batik Semarangan, sama halnya dengan Batik Semarang. Motif-motif yang digambar meliputi ikonik khas Kota Semarang.

Hanya saja, Semarangan merupakan kata sifat. “Jika orang luar kota bilang, “Pak, beli batik Semarangan!”. Nah itu artinya, dia ingin batik seperti yang dibuat orang Semarang,” jelas Eko.

Disamping itu, ada juga yang disebut Batik Sembarangan. Menurut Eko, batik ini merupakan batik yang sudah tidak berjalan pada relnya.

“Dalam artian, masyarakat membeli Batik Semarangan, namun tidak di Kota Semarang,” tuturnya.

Namun, Eko tetap berharap jika masyarakat Indonesia, dapat ikut serta menghargai dan melestarikan warisan budaya Indonesia. Tidak hanya dengan mengenakan batik, paling tidak mengenal batik di kota masing-masing.

https://regional.kompas.com/read/2022/03/11/153054678/lestarikan-batik-di-semarang-eko-haryanto-bedakan-batik-semarang-semarangan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke