Sedangkan terkait pembangunannya, Ary menuturkan proyek residensial mewah itu tidak menyalahi aturan tata ruang, sebab lokasinya tidak berada di dalam area Balai Taman Nasional Karimun Jawa.
Baca juga: Hendak Masuk Malaysia, 7 TKI Ilegal Diselamatkan di Pulau Judah Karimun
Tetapi sejauh ini, proyek tersebut belum mengantongi izin karena masih dalam proses pengajuan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dalam konteks itu, Ary mengatakan pihak kontraktor semestinya belum boleh memulai pembangunan. Namun berdasarkan kesaksian warga setempat dan sejumlah video yang diunggah oleh PT LHI melalui media sosialnya, kontraktor telah memulai pembangunan fisik di area itu meski izin tersebut belum diterbitkan.
"Terkait (pembangunan yang sudah dimulai) itu, nanti kami akan koordinasikan dengan pihak lain," kata Ary, tanpa menjelaskan lebih rinci tindakan yang akan diambil atas dugaan pelanggaran itu.
Baca juga: Hatusaka, Gua Terdalam di Indonesia yang Ada di Pulau Seram
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada, Heru Nugroho, menuturkan apa yang terjadi di Karimun Jawa berpotensi memicu kesenjangan sosial dan ekonomi, bahkan menciptakan gentrifikasi.
Gentrifikasi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menggambarkan kedatangan penduduk kelas menengah ke sebuah wilayah yang keadaannya 'buruk' atau baru saja dimodernisasi.
Menurut Heru, kehadiran investasi seperti The Start Up Island itu di satu sisi berpotensi menumbuhkan perekonomian masyarakat setempat.
Baca juga: Sampan Dihantam Badai, Nelayan di Karimun Hilang Saat Melaut
Tetapi apa yang terjadi pada daerah wisata lain di Indonesia yang menghadapi situasi serupa, warga setempat justru sering kali termarjinalkan alih-alih menjadi semakin berdaya secara ekonomi.
Heru mengatakan pola yang sama sangat mungkin terjadi di Karimun Jawa.
"Mereka (investor) seolah-olah menjual 'Karimun Jawa Dream' di pulau tropis kepada pasarnya, tetapi pertanyaannya bisa kah ekonomi yang tercipta di situ terintegrasi dengan masyarakat lokal?" ujar Heru.
Baca juga: Lepas Kendali, Mobil Calya Ringsek Tabrak Pagar Beton di Karimun, Riau
Heru mencontohkan beberapa tempat wisata di Bali yang mayoritas tanah dan propertinya dimiliki oleh orang luar. Sementara itu, orang-orang lokal lebih banyak bekerja sebagai sopir, pemandu wisata, atau pelayan.
Pasalnya, kebanyakan warga lokal di daerah yang tergentrifikasi tidak cukup berdaya untuk bersaing dengan para pendatang yang memiliki lebih banyak sumber daya.
"Kesannya, 'ini lho kami akan menyediakan lapangan kerja', tapi lapangan kerja apa seperti apa dulu? Pasti yang kelas bawah dan dibayar murah," ujar dia.
Menurut Heru, situasi itu juga terbentuk karena pola pikir pemerintah yang cenderung mengutamakan penanaman modal tanpa mengakomodasi ruang yang cukup untuk memberdayakan masyarakat lokal.
Sehingga, pada akhirnya, masyarakat lokal menjadi terpinggir di tanah mereka sendiri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.