"Akhirnya penanganan untuk selanjutnya terbengkalai," tegas Agus.
Baca juga: Pengidap HIV/AIDS Merasa Bugar, Dokter: Jangan Putus Obat
Kelangkaan reagen ini diakui oleh Siti Nurjaya Soltif, perawat yang menangani pasien HIV/AIDS di RSUD Jayapura.
"Reagen ini selama satu tahun terakhir kosong, baik di puskesmas maupun di rumah sakit, sebenarnya ini di seluruh Indonesia," ujar Siti.
"Kalau pun ada, kami suruh pasien pergi ke klinik swasta dan itu bayarnya mahal, Rp300 ribu. Jadi yang mampu saja yang bisa. Jadi ini juga dilema, jadi akhirnya pasien tidak bisa didiagnosis," aku Siti.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengakui bahwa sejak pandemi - bukan hanya program HIV, tapi hampir semua program-program esensial, termasuk tuberculosis, imunisasi, dan malaria - "sedikit terganggu".
"Di sisi lain, masyarakat juga agak sedikit takut untuk datang ke layanan fasilitas kesehatan, karena takut tertular Covid dan isu-isu lain, bahwa nanti malah terpapar dan sebagainya. Jadi ini memang tantangan-tantangan yang kita hadapi," kata Nadia.
Baca juga: 4 Perbedaan HIV dan AIDS yang Perlu Diketahui
Betapapun, Nadia menegaskan bahwa pemerintah telah menempuh beberapa langkah untuk menyiasati penanganan HIV/AIDS selama pandemi.
Salah satunya, untuk menekan intensitas ODHA ke layanan fasilitas kesehatan, pemberian obat ARV dengan jangka waktu lebih lama dari sebelum pandemi.
Jika biasanya obat diberikan dua minggu hingga sebulan sekali, selama pandemi obat ARV diberikan tiap tiga bulan.
"Dan ini masih sampai saat ini walaupun kondisi Covid-19 kita terus membaik," katanya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.