Bupati Cianjur, Herman Hermansyah, mengatakan dia menerima informasi bahwa Sarah dan Abdul Latif melakukan 'kawin kontrak', sebuah praktik yang marak terjadi di Cianjur.
'Kawin kontrak' biasa dilakukan antara warga negara asing dengan perempuan setempat dengan perjanjian tertentu.
"Informasinya adalah kawin kontrak," kata Herman kepada BBC Indonesia.
Jauh sebelum kematian Sarah, Herman mengaku sempat menerima beragam aduan terkait 'kawin kontrak'. Kata Herman, paling tidak setiap pekan ada aduan terkait pelanggaran yang terjadi dalam ikatan 'kawin kontrak'.
Baca juga: Sebabkan Seorang Perempuan di Cianjur Tewas, Ini Bahaya Air Keras
Oleh sebab itu, Pemerintah Kabupaten Cianjur menerbitkan peraturan bupati yang diharapkan bisa mencegah praktik 'kawin kontrak' di wilayahnya pada Juni lalu.
"Perbup sudah jalan cuma memang masyarakat ada yang tahu, ada yang nggak. Ada yang curi-curi, ya kejadiannya seperti ini. Ini kan katanya baru satu bulan setengah nikah sirinya," kata Herman.
Meski sudah membuat peraturan bupati tentang pencegahan kawin kontrak, Herman mengatakan peraturan itu tidak cukup kuat menghalangi praktik kawin kontrak karena sifat perbup hanyalah sebagai imbauan, belum memuat sanksi.
Baca juga: Praktik Kawin Kontrak Menjamur, Puan Janji Segera Sahkan RUU TPKS
"Nah, perda itu kemarin, dari menteri perempuan dan anak mereka janji mau bikin permen (peraturan Menteri) terkait. Biasanya kuat, ada rujukannya, perda itu dari permen," ujarnya.
Di sisi lain, Herman bersyukur karena terduga pelaku pembunuhan Sarah, yang merupakan suami sirinya sendiri, bisa ditangkap.
Dia berharap terduga pelaku bisa dihukum seberat-beratnya agar memberikan terapi kejut bagi para WNA yang terlibat 'kawin kontrak' dan warga Cianjur sendiri.
Baca juga: Ketua DPR Minta Jaminan Perlindungan Perempuan Pelaku Kawin Kontrak
"Harus ditindaklanjuti sesuai ketentuan yang berlaku dan dihukum seberat-beratnya, biar jadi shock therapy buat warga negara asing dan warga saya sendiri."
Praktik 'kawin kontrak' sendiri memang bukan hal baru di Cianjur.
Aktivis perempuan, yang juga menjadi Ketua Harian Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Lidya Indayani Umar, mengaku pernah melakukan penelitian bersama rekan-rekannya ke wilayah tempat terjadinya 'kawin kontrak' pada awal tahun 2000 lalu.
Rekan Lidya yang terjun langsung menjadi 'calon pengantin kawin kontrak' mengatakan dia dihadapkan dengan beberapa pria asal Timur Tengah.
Baca juga: Kemenag: Ribuan Buku Nikah Dicuri, Diduga Diperjualbelikan untuk Kawin Kontrak
"Ternyata di situ ada maminya, ada saksi-saksinya yang kalau dikawinkan kontrak itu ada nikah tetapi pernikahan itu tidak pernah sah karena tidak sesuai dengan aturan undang-undang perkawinan. Orang Arab mungkin nggak tahu, tapi orang-orang kita yang menyiapkan itu," kata Lidya.
Berbekal hasil penelitian itu tim Lidya dan teman-temannya, yang kala itu tergabung dalam Perempuan Berkoalisi Cianjur, meminta audiensi dengan DPRD.
"Kita sepakat dengan MUI langsung membuatkan fatwa bahwa pernikahan itu tidak sah dan tidak boleh terjadi di Cianjur," kata Lidya.
Baca juga: Buku Nikah dari KUA Gunungkidul Dicuri, Dijual untuk Kawin Kontrak di Bogor
Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ratna Susianawati, mengatakan pihaknya tengah melakukan kajian sebelum membuat peraturan menteri yang bisa mencegah praktik kawin kontrak.