Salin Artikel

Praktik Kawin Kontrak di Balik Kasus Penyiraman Air Keras di Cianjur yang Tewaskan Sarah

Abdul Latif, seorang warga negara Arab Saudi, terancam hukuman penjara seumur hidup karena dituduh membunuh istrinya yang dinikahi secara siri selama 1,5 bulan di Cianjur, Jawa Barat.

Menurut kepolisian, Sarah, perempuan berumur 21 tahun, tewas setelah dianiaya dan disiram air keras sampai tubuhnya mengalami luka bakar serius.

Adik Sarah, Rai Anggraeni, mengatakan kakaknya dan Abdul Latif menikah siri dengan perjanjian.

Bupati Cianjur Herman Hermansyah menyebut bahwa dia menerima informasi bahwa keduanya melakukan kawin kontrak—tiga bulan setelah dirinya mengeluarkan peraturan bupati mengenai pencegahan kawin kontrak pada Juni 2021 lalu.

Selain mendukung peraturan bupati itu, Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Ratna Susianawati, mengatakan pemerintah juga memaksimalkan gerakan-gerakan di masyarakat, melalui forum-forum di daerah dan para aktivis untuk melakukan sosialisasi.

Akan tetapi, hal itu dipandang belum cukup.

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriani, mengatakan untuk mencegah kawin kontrak yang terus terjadi di Cianjur, dibutuhkan peran para pemuka agama yang memberikan pemahaman kepada warga bahwa kawin kontrak bisa merugikan perempuan.

Apalagi, berdasarkan data Komnas Perempuan, kekerasan yang mengakibatkan kematian perempuan alias femisida naik selama tiga tahun terakhir hingga melampaui 1.100 kasus per tahun.

"Dia juga bikin surat perjanjian. Selama punya ikatan, dicukupilah. Kalau si cowok minta cerai, berani bayar. Saya juga dengar dari pak ustaznya, yang nikahin," paparnya.

Rai mengatakan sebelum menikah Abdul Latif bersikap baik, tapi beberapa hari setelah menikah, sikapnya berubah.

"Bahkan teh [kakak] Sarah mau ke warung nggak boleh. Lebih baik nyuruh orang, daripada teh Sarah keluar sendiri. Mau antar mama ke pasar juga nggak boleh. Jadi harus di rumah, standby, kecuali sama dia keluarnya. Cemburu buta banget," kata Rai.

Puncaknya terjadi pada Sabtu (20/11/2021) dini hari. Abdul Latif diduga menganiaya dan menyiram air keras terhadap istri sirinya, Sarah.

Polisi mengungkap Abdul menganiaya Sarah karena cemburu dengan pria lain.

Sarah sempat dilarikan ke rumah sakit, tapi nyawanya tak tertolong karena luka bakar yang dia derita cukup serius.

Setelah menganiaya Sarah, Abdul Latif sempat kabur. Dia bahkan sempat membeli tiket pulang ke Arab Saudi.

Namun, aksinya itu digagalkan oleh polisi yang bekerja sama dengan pihak bandara.

Polisi mengatakan telah mengamankan bukti air keras yang digunakan Abdul untuk menganiaya Sarah. Katanya, Abdul membeli air keras itu secara online sejak beberapa hari sebelum kejadian.

Atas perbuatannya itu, Polisi menjerat Abdul Latif dengan pasal berlapis, yaitu pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dan Pasal 338 dan 351 KUHP tentang penganiayaan hingga mengakibatkan korban meninggal dunia.

'Kawin kontrak' biasa dilakukan antara warga negara asing dengan perempuan setempat dengan perjanjian tertentu.

"Informasinya adalah kawin kontrak," kata Herman kepada BBC Indonesia.

Jauh sebelum kematian Sarah, Herman mengaku sempat menerima beragam aduan terkait 'kawin kontrak'. Kata Herman, paling tidak setiap pekan ada aduan terkait pelanggaran yang terjadi dalam ikatan 'kawin kontrak'.

Oleh sebab itu, Pemerintah Kabupaten Cianjur menerbitkan peraturan bupati yang diharapkan bisa mencegah praktik 'kawin kontrak' di wilayahnya pada Juni lalu.

"Perbup sudah jalan cuma memang masyarakat ada yang tahu, ada yang nggak. Ada yang curi-curi, ya kejadiannya seperti ini. Ini kan katanya baru satu bulan setengah nikah sirinya," kata Herman.

Meski sudah membuat peraturan bupati tentang pencegahan kawin kontrak, Herman mengatakan peraturan itu tidak cukup kuat menghalangi praktik kawin kontrak karena sifat perbup hanyalah sebagai imbauan, belum memuat sanksi.

"Nah, perda itu kemarin, dari menteri perempuan dan anak mereka janji mau bikin permen (peraturan Menteri) terkait. Biasanya kuat, ada rujukannya, perda itu dari permen," ujarnya.

Di sisi lain, Herman bersyukur karena terduga pelaku pembunuhan Sarah, yang merupakan suami sirinya sendiri, bisa ditangkap.

Dia berharap terduga pelaku bisa dihukum seberat-beratnya agar memberikan terapi kejut bagi para WNA yang terlibat 'kawin kontrak' dan warga Cianjur sendiri.

"Harus ditindaklanjuti sesuai ketentuan yang berlaku dan dihukum seberat-beratnya, biar jadi shock therapy buat warga negara asing dan warga saya sendiri."

Praktik 'kawin kontrak' sendiri memang bukan hal baru di Cianjur.

Aktivis perempuan, yang juga menjadi Ketua Harian Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Lidya Indayani Umar, mengaku pernah melakukan penelitian bersama rekan-rekannya ke wilayah tempat terjadinya 'kawin kontrak' pada awal tahun 2000 lalu.

Rekan Lidya yang terjun langsung menjadi 'calon pengantin kawin kontrak' mengatakan dia dihadapkan dengan beberapa pria asal Timur Tengah.

"Ternyata di situ ada maminya, ada saksi-saksinya yang kalau dikawinkan kontrak itu ada nikah tetapi pernikahan itu tidak pernah sah karena tidak sesuai dengan aturan undang-undang perkawinan. Orang Arab mungkin nggak tahu, tapi orang-orang kita yang menyiapkan itu," kata Lidya.

Berbekal hasil penelitian itu tim Lidya dan teman-temannya, yang kala itu tergabung dalam Perempuan Berkoalisi Cianjur, meminta audiensi dengan DPRD.

"Kita sepakat dengan MUI langsung membuatkan fatwa bahwa pernikahan itu tidak sah dan tidak boleh terjadi di Cianjur," kata Lidya.

Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ratna Susianawati, mengatakan pihaknya tengah melakukan kajian sebelum membuat peraturan menteri yang bisa mencegah praktik kawin kontrak.

"Ada proses-proses yang harus dilalui, untuk ketika menyusun apapun itu ya, regulasi, termasuk peraturan menteri dan sebagainya. Kita juga harus melihat kalau peraturan Menteri kan nanti coverage-nya tidak hanya untuk daerah tertentu ya, kita juga harus melihat untuk daerah-daerah yang lain," kata Ratna.

Selain itu, Kementerian PPPA juga mengaku sudah melakukan sosialisasi ke[ada masyarakat mengenai kawin kontrak dan isu-isu lainnya, seperti kekerasan terhadap perempuan.

Pemerintah juga memaksimalkan gerakan-gerakan di masyarakat, melalui forum-forum di daerah dan para aktivis untuk melakukan sosialisasi.

Bahkan perempuan bisa melaporkan langsung kasusnya melalui call center Sahabat Perempuan.

"Kami memiliki layanan untuk penanganan perempuan korban kekerasan melalui call center 08111 129 129. Itu bentuk kehadiran negara untuk memberikan pendampingan kepada perempuan korban kekerasan," tambah Ratna.

"Kawin kontrak ini memang sangat sulit ya, karena memang dia tidak dikenal dalam hukum Indonesia, dan tidak diperbolehkan juga. Karena itu kita selalu mendorong pemuka agama memberikan kesadaran kepada masyarakat," kata Andy.

"Sayangnya kan dulu ada pernyataan dari salah satu elit politik yang mengatakan bahwa itu perbaikan keturunan. Nah, itu yang harus diubah. Jadi, salah satu yang kita lakukan adalah menjadikan itu bagian dari sosialisasi dan kampanye untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan," tambahnya.

Rumitnya masalah 'kawin kontrak' juga disebut Andy membutuhkan aturan yang lebih jelas di tingkat nasional karena dia menilai peraturan daerah saja tidak cukup kuat.

"Untuk aturan daerah sanksinya kan nggak berat ya, ada batasan sanksi dalam peraturan daerah. Perlu ada aturan yang lebih jelas di tingkat nasional, harus undang-undang," kata Andy.

Komnas Perempuan menyebut kasus kematian Sarah di Cianjur merupakan kasus yang dikategorikan sebagai femisida, yaitu kekerasan yang mengakibatkan kematian perempuan.

Dalam tiga tahun, kasus femisida diklaim naik hingga melampaui 1.100 kasus per tahun.

Kata Andy, femisida perlu mendapat perhatian khusus agar penanganan dan pencegahannya bisa dilakukan dengan lebih baik.

"Femisida ini belum menjadi perhatian ya, karena kita biasanya pencatatan di kepolisian itu pembunuhan ya pembunuhan saja. Komnas Perempuan mengusulkan agar tahun ke depan ada pembenahan pendataan karena dengan mengetahui polanya kita bisa melakukan intervensi lebih tepat," kata Andy.

Komnas Perempuan juga menyebut kebanyakan pelaku femisida merupakan relasi terdekat korban.

Sementara motifnya antara lain disebabkan dendam atau sakit hati, cemburu, pertengkaran, ekonomi, menolak rujuk, kehamilan yang tidak dikehendaki, selingkuh, pemerkosaan, dan menolak berhubungan seksual.

https://regional.kompas.com/read/2021/11/27/064600278/praktik-kawin-kontrak-di-balik-kasus-penyiraman-air-keras-di-cianjur-yang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke