Aman Lepon mengaku membutuhkan uang untuk biaya anak-anaknya yang sekolah dan kuliah.
Anak sulungnya, Lepon Salakkirat, kuliah di Kota Padang. Sedangkan anak keduanya duduk di bangku SMA di Muara Siberut.
Baca juga: Selamatkan Seni Tato yang Hampir Punah di Mentawai, dari Motif Mata Jaring hingga Tumbuhan Berduri
Sebagian besar ternak babinya sudah dijual untuk membiayai anak-anaknya.
Ia juga pernah menjual pisang dan manau, tetapi harganya sangat murah. Satu tandan pisang hanya dihargai Rp 8.000 dan satu batang manau besar hanya Rp 2.000.
Saat itu, kata Aman Lepon, dia mengantongi Rp 200.000 dari hasil penjualan pisang dan manau. Uang itu habis untuk membeli bensin pompong ke tempat penjualannya di Muara Siberut.
"Saya ingin menangis. Sekarang semua serba uang, untuk biaya kuliah Lepon saja Rp 5 juta sampai Rp 6 jutaan tiap semester. Belum lagi uang kos dan biaya makannya setiap bulan, saya jadi bingung," katanya.
Baca juga: Gempa M 7,2 yang Guncang Nias Terasa hingga Padang dan Mentawai
Tapi ia tak ingin anak-anaknya putus sekolah. Aman Lepon menginginkan masa depan yang lebih baik untuk keturunannya.
"Kami tidak sekolah. Kami bodoh, tidak sekolah sama sekali. Kami harapkan anak-anak kami sekolah yang bagus. Biar bapak ibunya yang bodoh tapi anak-anak harus sekolah."
Aman Goddai, saudara Aman Lepon, mengeluhkan hal yang sama.
"Kalau untuk makan memang masih ada sagu, pisang, dan keladi, tapi itu tidak cukup. Kami masih butuh uang untuk membeli garam, gula, dan pakaian anak," katanya.
Aman Lepon dan Aman Goddai mengatakan tidak pernah mendapat bantuan sosial Covid dari pemerintah.
Baca juga: Wanita Rusia Kena Operasi Penyekatan, Diizinkan Lewat karena Ingin Menikah di Mentawai
"Ada orang yang sudah mendapat bantuan dari pemerintah, dapat beras sekarung, telur, dan uang, tetapi saya dan keluarga tidak pernah dapat."
"Padahal saya juga punya KTP, punya Kartu Keluarga, punya anak yang kuliah dan butuh bantuan, dan saya juga tidak punya pekerjaan," kata Aman Lepon.
Tanpa bantuan sosial dari pemerintah dan tanpa pemasukan dari pariwisata, masyarakat adat di Butui seperti terlupakan di tengah-tengah pandemi.
Baca juga: Gempa Mentawai, Ini Penjelasan BPBD soal Sirene Tsunami di Agam Berbunyi
Di Butui, masih ada sekitar 40 sikerei seperti mereka.
Menjadi sikerei adalah sebuah kehormatan tersendiri, sebut Aman Lepon, walaupun kerap kali tak ada imbalannya.
"Menjadi sikerei itu seperti kerja mulia. Untuk mengobati orang sakit, bayaran tidak kami minta," sebutnya.
Baca juga: Dampak Gempa Mentawai, Bangunan RSUD dan Puskesmas Rusak, IGD Tak Bisa Digunakan
Bila ada, warga yang sakit akan menyembelih ayam atau babi untuk dimakan bersama sikerei setelah ritual selesai.
"Lalu sikerei diberi sebagian untuk dibawa pulang," lanjut dia.
Di kawasan Sarereiket seperti Desa Madobag dan Desa Matotonan, tidak terlalu banyak kasus Covid-19.
Hanya ada enam kasus terkonfirmasi Covid di sana, yang seluruhnya dinyatakan telah sembuh pada September lalu.
Baca juga: Gempa Mentawai Sebabkan Sirene Tsunami di Agam Berbunyi, Warga Berhamburan Melarikan Diri