Menurutnya orangtua murid mayoritas berprofesi sebagai seorang petani di mana penghasilan petani di Sleman tidak menentu dan tergantung dengan musim.
“Ada beberapa orangtua siswa saat zoom meeting itu tidak mampu beli HP. Bayangkan berapa sih HP yang bisa buat zoom paling Rp 800 ribu, liat sumbangannya kan nggak logis,” ungkap dia.
Saat pandemi, banyak siswa yang tidak memiliki gawai yang digunakan untuk pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Menurut W, seharusnya sekolah mementingkan kepentingan peserta didik yakni membeli ponsel agar bisa mengikuti PJJ.
“Tetapi untungnya mereka nggak berani menagih sampai lulus dan ijazah dapat,” kata dia.
“Sampai sekarang anak saya kedua masuk ke sekolah yang sama gensetnya enggak ada,” ujar dia.
Orangtua murid lainnya Robani, menyampaikan penerimaan masuk peserta didik adalah berdasarkan nilai.
Akan tetapi, saat dirinya dan orangtua murid lain hendak mengurus nilai, dirinya mendapatkan undangan wali murid yang berisi sosialisasi di sekolah.
“Sosialisasi itu intinya untuk meningkatkan mutu pendidikan harus ada sumbangan dari orangtua murid. Jumlahnya ditentukan dan waktunya juga ditentukan,” kata dia.
"Pas pertemuan wali murid dibeberkan sekian juta per anak. Masih ditambah lagi SPP padahal sejak 2017 DIY sudah menghapus," tambahnya.
Baca juga: Diduga Ada Pungli Berkedok Iuran Keamanan Pasar di Blora, Bakal Disidak Polisi
Menurutnya, ada satu kejanggalan lagi yaitu, menurut aturan, komite sekolah tidak diperbolehkan melakukan pengadaan seragam sekolah. Dalam praktiknya, pengadaan tetap dilakukan tetapi melalui paguyuban wali kelas.
"Pembagian seragam tidak di sekolahan kadang di depan Alfamart, di depan rumah wali kelas," kata dia.
Akibat dari pungutan ini banyak siswa yang tidak bisa membayar sehingga ijazah mereka ditahan oleh sekolah seperti yang diungkapkan oleh Koordinator Sarang Lidi, Yuliani.
Menurut dia pada tahun 2020, pihaknya telah mengeluarkan ribuan ijazah yang ditahan oleh pihak sekolah lantaran peserta didik belum memenuhi sumbangan-sumbangan.
"Tahun 2020 kami persoalkan ke kejaksaan tinggi di sini ada tidak sinkron karena dibilang ada kesepakatan antara sekolah dan orangtua. Pertanyaannya apa boleh kesepakatan menabrak aturan, aturannya jelas sekolah tidak boleh melakukan pungutan," kata Yuliani.