KOMPAS.com - Lahir dari keluarga sederhana, tidak membuat Siska Hamdani patah semangat untuk bersekolah tinggi mewujudkan cita-citanya.
Ayah Siska, Yulizar (69) merupakan seorang penjahit pakaian di Nagari Guguk, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat.
Dengan kegigihan dan semangatnya, Siska berhasil menyelesaikan S3-nya di Prancis. Bahkan, ia kini bekerja di Perusahaan Electricite de France S.A (EDF) sebuah perusahaan utilitas listrik, Prancis.
Baca juga: Kisah Anggun, Anak Tukang Es Buah di Gresik, Menuju Ajang Kompetisi Matematika Internasional
Lalu, bagaimana cerita perjalanan Siska hingga ia berhasil menyabet gelar doktor dan bekerja di Prancis?
Dikutip dari Antara, sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) Negeri Jawi-jawi, Solok, ternyata Siska sudah menujukkan prestasi gemilang dengan meraih juara umum di sekolahnya.
Setelah selesai di SD N 1992, Siska kemudian melanjutkan ke SMP 3 Gunung Talang. Di SMP itu, lagi-lagi Siska meraih juara umum.
Baca juga: Kisah Polwan Anak Tukang Sayur, Dulu Diremehkan, Kini Jadi Kasat Narkoba
Bahkan, ia juga sering dilibatkan pihak sekolahnya untuk mengikuti lomba P4 tingkat provinsi dan lomba-lomba pidato Bahasa Inggris.
Setelah menyelesaikan SMP pada tahun 1995, Siksa lalu melanjutkan sekolah ke Padang di Sekolah Menengah Analisi Kimia Padang (SMAKPA).
Saat masuk ke SMAKPA tersebut, ia sempat mendapat cemooh dari orang kampungnya. Sebab, mereka menilai biaya sekolah di Padang mahal, sementara orangtuanya hanya seorang penjahit pakaian.
Baca juga: Anak Tukang Becak Raih Gelar Doktor di Usia 27 Tahun, Ini Faktanya
Namun, cemooh itu tidak membuat Siska untuk membatalkan niatnya untuk ke SMAKPA.
Di sekolah yang berada di Kementerian Perindustrian itu, Siska juga mendapatkan beasiswa gratis SPP, karena meraih juara umum sejak dari catur wulan III.
Setelah tiga tahun menyelesaikan pendidikan di SMAKPA, Siska lalu meneruskan kuliah di Akademi Teknologi Industri Padang (ATIP).
Di kampus itu, ia mendapatkan beasiswa semester gratis dari Bumi Asih, karena meraih nilai IP rata-rata 3,98 hingga 4,0. Karena kecerdasannya, ia berhasil menyelesaikan kuliah dalam waktu 2,5 tahun.
Baca juga: Kisah Inspiratif, Anak Tukang Bubur Itu Raih Beasiswa S2 dan S3 di IPB
Usai tamat dari ATIP, Siska mendapat banyak masukan dari akademisi Unand, Prof Novesar Jamarun, dan dosen jurusan Kimia Unand Zam Sibar dan almarhum Rusdi Jamal, menyarakannya utnuk memberanikan diri untuk melanjutkan kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM).
"Mereka menyarankan saya untuk melanjutkan kuliah ke Universitas Gadjah Mada. Dengan senang hati, saya pun kemudian mengikuti saran tersebut," kata wanita kelahiran 25 Januari 1980 ini dikutip dari Antara.
Namun, upaya Siska untuk kuliah di UGM terbentut biaya dengan kondisi ekonomi orangtuanya.
Kemudian Siska meminta bantuan ke teman-temannya waktu di SMAKPA yang sudah bekerja di Jakarta untuk meminjam uang Rp 4 juta untuk biaya masuk UGM.
Baca juga: Kisah Anak Tukang Ojek Jadi Perwira AD, Pernah Daftar Bintara hingga Tidak Tahu Ibu Meninggal
Pada tahun 2002 ia berhasil menjadi mahasiswi di jurusan Kimia Fakultas MIPA, UGM. Saat menempuh pendidikan di tanah rantau Siska sempat beberapa kali terbentur biaya.
Bahkan, orangtuanya sempat mengajukan permohonan bantuan ke Pemda dengan bukti IP 3,98 yang didapatkan tetapi ditolak.
"Papa begitu sedih saat itu. Saya di tanah rantau ketika itu juga panik memikirkan uang kuliah. Setiap hari saya berdoa kepada Allah SWT agar diberi kemudahan," kata anak dari pasangan Yulizar dan almarhum Yasma Erni.
Akhirnya, doa Siska dijabah. Ia berhasil mendapatkan beasiswa sebesar Rp 1,2 juta dari PT Semen Padang, beasiswa itu ia dapatkan hingga tamat kuliah di tahun 2004.
Baca juga: Kisah Imam, Anak Tukang Kebun yang Masuk Paskibraka di Istana Negara
Kuliah dan bekerja di luar negeri
Setelah tamat dari UGM, Siska diterima bekerja di perusahaan multi internasional asal Amerika, yakni Buckman Laboratories (Asia) Pte Ltd.
Ia kemudian ditempatkan sebagai Sales Technical Support di PT Riau Andalan Pulp and Paper di Riau selama 6 bulan.
Kemudian, pada 2005, Siska mendapat tawaran beasiswa S2 dari Jepang, Prancis, dan Amerika. Namun, ia memilih beasiswa di Prancis, yakni France Excellence.
Kata Siska, ia memilih beasiswa tersebut karena hanya diberikan kepada 150 orang di dunia dan ia yang pertama dari Indonsia. Apalagi, kehebatan bidang Kimia di Prancis sangat terkenal di dunia.
"Selain karena keahlian kimia Prancis sangat dikenal, motivasi saya kuliah di Prancis juga ingin belajar bahasa Prancis, karena kalau untuk Bahasa Inggris saya sudah fasih," ujarnya.
Baca juga: Kisah Rahmad, Anak Tukang Ojek yang Jadi Lulusan Terbaik SPN Polda Metro
Setelah menyelesaikan program master di Ecole Nationale Supérieure de Chimie de Montpellier dengan skala 18,5 dari 20 di tahun 2007.
Siska kemudian melanjutkan pendidikan PhD atau setingkat doktor spesialis bidang polimer untuk kabel tegangan tinggi di Universite Montpellier II.
"Program PhD itu juga merupakan beasiswa yang ditawarkan oleh orang Rusia di Universite Montpellier II. Mereka menawarkannya, karena mereka tertarik dengan tesis saya, yaitu inovasi baru yang dapat meluruskan rambut keriting orang Afrika," ungkapnya.
Baca juga: Fakta Anak Tukang Sampah Diterima di UGM, Masuk Tanpa Tes hingga Kerja Keras Meski Ekonomi Pas-pasan
Setelah menyelesaikan program PhD pada 2011, Siska kemudian diangkat menjadi asiten dosen di labotarium Unversite Montpelier II.
Kemudian pada tahun 2014-2015, ia menjadi asiten dosen Ingenierie des Materiux Polymeres a I'INSA de Lyon, yang merupakan pusat polimer nomor satu di Prancis.
Setela itu, ia bekerja di Research And Onnovation Engineer Maret 2015 hingga Juli 2018.
Lalu pada Oktober 2018 hingga sekarang Siska bekerja di EDF dan ditempatkan sebagai spesialis polimer di Edvance yang merupakan perusahaan EDF.
Saat ini Siska tinggal di Kota Versailles, dekat Prancis. Meskipun tinggal Prancis, kata Siska, ia masih berstatus warga negara Indonesia.
"Sampai sekarang saya masih pegang paspoar hijau, Meski lama di Prancis dan anak saya juga sekolah di Prancis, sampai sekarang tidak terpikir untuk menjadi warga negara Prancis, karena kalau menjadi warga negara Prancis, status sebagai WNI akan hilang," kata ibu dengan dua anak ini.
Baca juga: Ini Prestasi Lailatul, Anak Tukang Becak yang Raih Gelar Doktor di Usia 27 Tahun
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.