Setelah mendapatkan keluarga pasien yang menyepakati harga tersebut, Bernadya mendatangi kantor unit transfusi PMI Surabaya. Ia menemui calon donor dan berpura-pura menjadi keluarga pasien yang membutuhkan plasma konvalesen.
"Harga yang disepakati lebih tinggi dari harga yang diberikan Yogi, sehingga per kantong Bernadya mendapatkan untung dari Rp 500.000 hingga Rp 1 juta," kata Rakhmad.
Setelah plasma konvalesen didapat, Yogi mengirim kantong plasma ke rumah sakit tempat pasien penderita Covid-19 yang memesan dirawat.
Sedangkan Mohammad Yusuf Efendi berperan sebagai pengganti jika Bernadya berhalangan mendampingi donor plasma.
Rakhmad menyebut, Yusuf juga mengaku sebagai keluarga pasien yang memesan plasma konvalesen kepada donor.
Dalam dakwaan yang dibacakan, Bernadya disebut dua kali menerima order plasma konvalesen. Sedangkan Mohammad Yusuf tercatat 12 kali mendampingi calon donor dan mengaku sebagai keluarga pasien Covid-19.
Baca juga: Oknum Pegawai PMI Surabaya Jual Plasma Konvalesen, 1 Kantong Dijual hingga Rp 5 Juta
Aksinya mulai diketahui Polda Jatim
Aksi komplotan itu diendus anggota Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jatim. Polisi lalu menyamar sebagai keluarga pasien Covid-19 yang membutuhkan plasma konvalesen.
Polisi menangkap Bernadya di Desa Tambakrejo, Kecamatan Waru, Sidoarjo, pada 4 Agustus.
Selang sehari kemudian, dua terdakwa lainnya, Yogi dan Muhammad Yusuf diringkus polisi di Jalan Jambangan, Surabaya.
Akibat perbuatannya, Yogi yang merupakan pegawai PMI Surabaya itu didakwa melanggar pasal 195 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Yogi dipecat PMI Surabaya
Wakil Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Surabaya Tri Siswanto mengatakan, Yogi merupakan pegawai outsourcing yang belum lama bekerja di PMI Surabaya.
Yogi pun telah dipecat PMI Surabaya sejak diringkus polisi pada awal Agustus.
"Dia outsourcing, langsung diberhentikan dengan tidak hormat," kata Tri, saat dikonfirmasi, Rabu (27/10/2021).