Salin Artikel

Cari Untung Saat Kasus Covid-19 Tinggi, Anak Mantan Ketua DPRD Surabaya Jadi Terdakwa, Begini Modusnya...

Yogi bersama dua rekannya, didakwa menjual plasma darah konvalesen kepada keluarga pasien Covid-19 yang membutuhkan.

Terdakwa Yogi merupakan anak mantan Ketua DPRD Surabaya Wisnu Wardana yang kini mendekam di penjara karena kasus dugaan korupsi.

Wisnu yang menjabat sebagai Ketua DPRD Surabaya periode 2009-2014 itu terlibat kasus korupsi pelepasan aset tanah dan bangunan milik PT PWU Jatim di Tulungagung dan Kediri pada 2013.

Saat itu, Wisnu menjabat sebagai manajer aset. Kasus ini adalah rentetan kasus yang sempat mememenjarakan mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan.

Kasus yang menjerat Yogi

Yogi telah menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Negeri Surabaya pada Kamis (21/10/2021).

Jaksa penuntut umum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Rahkmad Hari Basuki membacakan dakwaan terhadap Yogi pada sidang tersebut.

Menurut Rakhmad, Yogi tergoda mencari keuntungan di tengah tingginya permintaan plasma konvalesen untuk terapi pasien Covid-19 pada periode Juli-Agustus.

Pada periode itu, kasus positif Covid-19 di Indonesia sedang tinggi-tingginya, khususnya di Surabaya.

"Terdakwa tidak sendiri, tapi dibantu dua orang rekannya yang juga berstatus terdakwa yakni Bernadya Anisah Krismaningtyas dan Mohammad Yusuf Efendi," kata Rakhmad Hari Basuki saat dikonfirmasi, Selasa (26/10/2021).

Rakhmad menjelaskan modus yang dilakukan Yogi dan kawanannya dalam melakukan praktik jual beli plasma konvalesen.

Awalnya, Yogi yang bekerja di bagian seleksi donor PMI kota Surabaya memberi tahu Bernadya bahwa dirinya siap memberikan plasma konvalesen jika ada pasien Covid-19 yang membutuhkan.

Yogi mematok harga Rp 2,5 juta hingga Rp 4,5 juta untuk setiap kantong plasma konvalesen.

Terdakwa Bernadya dan Mohammad Yusuf mengambil untung dari harga yang dipatok Yogi. Untuk satu kantong plasma konvalesen golongan darah O dipatok Rp 3,5 juta dan golongan darah AB Rp 5 juta.

"Terdakwa Bernadya lalu mengumumkan informasi tersebut melalui Facebook dengan mencantumkan nomor telepon," kata Rakhmad.


Setelah mendapatkan keluarga pasien yang menyepakati harga tersebut, Bernadya mendatangi kantor unit transfusi PMI Surabaya. Ia menemui calon donor dan berpura-pura menjadi keluarga pasien yang membutuhkan plasma konvalesen.

"Harga yang disepakati lebih tinggi dari harga yang diberikan Yogi, sehingga per kantong Bernadya mendapatkan untung dari Rp 500.000 hingga Rp 1 juta," kata Rakhmad.

Setelah plasma konvalesen didapat, Yogi mengirim kantong plasma ke rumah sakit tempat pasien penderita Covid-19 yang memesan dirawat.

Sedangkan Mohammad Yusuf Efendi berperan sebagai pengganti jika Bernadya berhalangan mendampingi donor plasma.

Rakhmad menyebut, Yusuf juga mengaku sebagai keluarga pasien yang memesan plasma konvalesen kepada donor.

Dalam dakwaan yang dibacakan, Bernadya disebut dua kali menerima order plasma konvalesen. Sedangkan Mohammad Yusuf tercatat 12 kali mendampingi calon donor dan mengaku sebagai keluarga pasien Covid-19.

Aksinya mulai diketahui Polda Jatim

Aksi komplotan itu diendus anggota Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jatim. Polisi lalu menyamar sebagai keluarga pasien Covid-19 yang membutuhkan plasma konvalesen.

Polisi menangkap Bernadya di Desa Tambakrejo, Kecamatan Waru, Sidoarjo, pada 4 Agustus.

Selang sehari kemudian, dua terdakwa lainnya, Yogi dan Muhammad Yusuf diringkus polisi di Jalan Jambangan, Surabaya.

Akibat perbuatannya, Yogi yang merupakan pegawai PMI Surabaya itu didakwa melanggar pasal 195 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Yogi dipecat PMI Surabaya

Wakil Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Surabaya Tri Siswanto mengatakan, Yogi merupakan pegawai outsourcing yang belum lama bekerja di PMI Surabaya.

Yogi pun telah dipecat PMI Surabaya sejak diringkus polisi pada awal Agustus.

"Dia outsourcing, langsung diberhentikan dengan tidak hormat," kata Tri, saat dikonfirmasi, Rabu (27/10/2021).


Tri menyayangkan praktik jual beli plasma konvalesen itu terjadi di PMI Surabaya.

Apalagi, praktik itu terjadi saat permintaan plasma konvalesen sangat tinggi untuk pasien Covid-19.

PMI Surabaya pun berjanji akan lebih selektif merekrut pegawai.

"Kejadian kemarin jelas merusak nama PMI Surabaya, kami akan lebih selektif lagi merekrut pegawai," ujar dia.

"Itu bukan jual beli..."

Sementara itu, kuasa hukum terdakwa kasus jual beli plasma konvalesen Yogi Agung Pria Wardana, Ucok Jimmy Lamhot menyampaikan keberatan atas dakwaan jaksa.

Lewat eksepsi yang disampaikan pada sidang lanjutan di PN Surabaya, Kamis (28/10/2021), Ucok menyebut kliennya tidak melakukan praktik jual beli plasma konvalesen.

"Itu bukan jual beli, tapi bentuk ucapan terima kasih pasien," katanya usai sidang, Kamis.

Menurut Ucok, dakwaan jaksa dalam kasus tersebut kurang cermat dan salah alamat. Ia pun meminta agar kliennya dibebaskan dari dakwaan jaksa.

"Kami berharap klien kami dibebaskan," ujarnya.

(Sumber: Kompas.com - Penulis: Kontributor Surabaya Achmad Faizal | Editor: Dheri Agriesta, Robertus Belarminus, Priska Sari Pratiwi, Pythag Kurniati)

https://regional.kompas.com/read/2021/10/30/083000478/cari-untung-saat-kasus-covid-19-tinggi-anak-mantan-ketua-dprd-surabaya-jadi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke