Dalam visi Kepala Desa Srimulyo, Wajiran tidak pernah berkeinginan mewujudkan kawasan industri di Srimulyo.
Pertimbangannya, karakteristik warganya berpenghasilan dari sektor pertanian, peternakan, dan pariwisata didukung kondisi geografis desanya yang didominasi hamparan persawahan, perkebunan, dan lereng perbukitan.
“Jadi lahan itu (yang dijadikan proyek KIP), saya yakini bisa memberikan kesejahteraan kepada warga, sudah cukup dikembangkan dalam hal pertanian, peternakan, dan pariwisata,” kata Wajiran, Rabu (7/4/2021).
Rencana itu berubah saat Gubernur DIY, Sultan HB X berkeinginan mendirikan kawasan industri di DIY.
Baca juga: Pesan HB X untuk Penerima Miliaran Rupiah dari Kompensasi Tol: Hemat Saja Dalam Kondisi Seperti Ini
Pada 8 Desember 2000, Sultan mengeluarkan izin Gubernur Nomor 143/3440 tentang penetapan tanah Desa Srimulyo dan Sitimulyo seluas berkisar 100 hektar menjadi kawasan industri.
Pembagiannya, 65,8920 hektar tanah di di Desa Srimulyo dan 57,6580 hektar di Desa Sitimulyo.
Wajiran menduga alasan penunjukan Srimulyo dan Sitimulyo menjadi kawasan industri karena tanah desa di dua desa itu cukup luas untuk pengembangan industri. Sementara klausul Pasal 8 ayat 1 huruf a Perda Keistimewaan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten disebutkan, tanah desa yang asal-usulnya dari hak anggaduh merupakan tanah kasultanan.
Hak anggaduh didasarkan ketentuan kolonial Rijksblad Kasultanan Nomor 16 Tahun 1918.
Rijksblads sendiri sudah dihapus Perda DIY Nomor 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya UU Pokok Agraria (UU Nomor 5 Tahun 1960) di DIY.
Perda ini turunan dari Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA di DIY.
Baca juga: Kantornya Dilempar Molotov, LBH Yogyakarta: Kami Tak Takut
Sementara tanah desa yang dimaksud Pasal 33 ayat 2 Perdais Pertanahan meliputi tanah kas desa (untuk menunjang pemerintahan desa), pelungguh (dikelola kepala desa dan perangkatnya), pengarem-arem (dikelola pensiunan kepala desa dan perangkatnya), dan tanah untuk kepentingan umum.
“Tanah kasultanan di desa kami ada 250-an hektar. Yang tanah desa sekitar 147 hektar. Ini mungkin menjadi salah satu pertimbangannya. Karena dua jenis tanah itu kan langsung jadi otoritas Sultan yang lebih gampang tanpa pembebasan, dan lain sebagainya. Kira-kira begitu,” kata Wajiran.
Meski khawatir desa akan kehilangan manfaatnya sebagai ruang hidup warga desa setelah ditetapkan menjadi kawasan industri, Wajiran mengaku tak punya daya untuk menolak keputusan itu.