Dulu sampai tak bisa penuhi pesanan, saat pandemi pesanan sulit
Sebelum terjadi pandemi Covid-19, usaha kain tenun mereka terbilang lancar. Banyak pesanan yang datang. Bahkan mereka tak sanggup memenuhi pesanan itu.
"Awal dapat bantuan, pasar sangat bagus. Dari 11 perajin tak sanggup memenuhi pesanan," kata Kholib.
Saat itu, total para perajin memiliki 40 alat tenun. Rata-rata, setiap alat menghasilkan dua potong kain sutra per minggunya. "Jadi bisa 80 potong kain per minggu," jelasnya.
Saat terjadinya pandemi, usaha tenun sutra mulai terkena dampak. Pesanan yang mayoritas berasal dari Jakarta, berkurang.
"Juni-Juli kita di-nol (tak ada pesanan). Baru awal Agustus ada pesanan lagi," kata Kholib.
Dia menambahkan, tahun 2020 dan awal 2021, pihaknya kembali mendapat bantuan berupa modal kerja, bahan baku benang, penanaman murbei hingga perbaikan kandang ulat sutera.
Saat ini, para perajin tetap memproduksi kain sutra. Hanya saja produksinya tidak maksimal mengingat berkurangnya pesanan.
"Kendalanya kita masa pandemi sejak 2020, jadi pasar ada tapi terbatas. Jadi sekarang, kita dalam kondisi bertahan," kata Kholib
Kain sutra dipesan desainer beken
Untuk memasarkan produk kain tenun sutra, Kholid dan anggota kelompoknya mengikuti sejumlah even yang digelar di Bandung maupun Jakarta. Dari mengikuti even tersebut, produk kain tenun mereka mulai dikenal desainer.
"(Dipesan) Itang Yunaz, Harry Ibrahim, karena kita sering ikut pameran," kata Kholib.
Harga kain sutra produksi warga Kampung Sutra Karanganyar bervariasi. Menurut Kholib, kain sutra sulam satu stel ada yang dibanderol Rp 1,6 juta.
Jenis kain sutra yang diproduksi baru empat jenis, yakni sulam, bulu, organdi dan bulu batang. "Rata-rata beli jenis bulu, karena harga enggak terlalu mahal. Di kisaran Rp 600 ribu hingga Rp 700 ribu per potong," kata Kholib.
Olah daun murbei menjadi teh
Di saat kondisi sulit, karena pesanan berkurang, Kholib dan kelompoknya tak tinggal diam. Mereka kemudian mengolah daun murbei menjadi teh.
"Daun kita pakai pakan ulat. Namun masih banyak sisa. Kita manfaatkan pucuknya untuk teh murbei," kata Kholib.
Selain teh, lanjut dia, ada juga konsumen yang mau beli daunnya saja. Mereka kemudian mengolah sendiri daun tersebut.
Selain daun, Kholib dan anggota kelompok juga menjual batang pohon murbei. Murbei ditanam dengan cara stek, sehingga batangnya bisa dijual dan ditanam kembali.
"Bulan April kemarin ada pesanan dari Bali, kemudian dari Lampung," kata Kholib.