KOMPAS.com - Rohani (40), merangkak perlahan dengan bertumpu pada pantatnya. Seluruh bagian tubuhnya terasa sakit. Hanya dua jari di tangan kiri Rohani yang bisa digerakkan.
Namun dengan dua jari itu lah dia dapat melukis dan menopang keluarganya.
"Dimanfaatkan saja dua [jari] ini walaupun sakit. Dulu pakai tangan kanan sewaktu masih sehat, setelah itu kaku. Saya kira tidak akan bisa melukis lagi," kisah Rohani, yang kemudian mencoba menggunakan tangan kirinya.
"Lumayan lah. Dilatih terus, akhirnya bisa," kata Rohani kepada wartawan BBC News Indonesia, pertengahan Agustus lalu.
Baca juga: Kisah Pelukis Nasirun Koleksi Tanaman dan Debu Erupsi Gunung Berapi, Alam Jadi Inspirasi Karyanya
Lukisan hasil karya Rohani yang dipasarkan melalui media sosial, telah terjual sampai ke wilayah Bali, Pekanbaru, dan berbagai daerah di Aceh.
Rohani sendiri tinggal di Desa Pulo, Kecamatan Syamtalira Aron, Kabupaten Aceh Utara — enam jam via jalan darat dari Banda Aceh.
Di rumah panggung dari kayu yang mulai lapuk dimakan usia, Rohani hidup bertiga dengan ibu dan kakak perempuannya.
Baca juga: Penyanyi Rap hingga Pelukis Ditangkap karena Edarkan Narkoba, BNN Sita 30 Kilogram Ganja
Aminah (69), ibu Rohani, kini sudah tidak mampu lagi melihat dengan baik. Segala pekerjaan di rumah dilakukannya dengan meraba atau mengandalkan naluri, termasuk untuk menyiapkan alat-alat gambar milik putri bungsunya.
Sementara Sawiyan (47), kakak Rohani, bertugas membereskan segala urusan rumah tangga dan membantu mengirimkan paket lukisan jika Rohani menerima pesanan.
Namun selama pandemi Covid-19 ini, tak ada pesanan lukisan yang diterima Rohani. Keluarga ini pun hanya bergantung pada uang pensiunan PNS sang ayah saja untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
"Dari uang pensiunan almarhum ayah, Rp1,1 juta setiap bulan. Karena sekarang kosong orderan untuk lukisan," jelas Rohani.
Baca juga: Stok Vaksin Sinopharm Kedaluwarsa Oktober, Vaksinasi Penyandang Disabilitas di Bali Dipercepat
Setelah menyelesaikan pendidikan dari SD hingga SMA, Rohani lulus dari Sekolah Pembangunan Pertanian (SPP) pada 1996.
Sepuluh tahun menganggur, Rohani sempat menjadi guru honorer di sebuah sekolah dasar di Aceh Utara. Saat itulah, kata Rohani, dia mulai sakit-sakitan.
"Sakitnya pelan-pelan, kalau tidak salah [ingat], sekitar 2007 atau 2008 mulai sakit," cerita Rohani.
Nyeri itu dimulai dari bagian kaki, lalu merambat ke otot-otot tangan, dan bagian pinggang. Semula Rohani tak menggubris rasa nyeri itu dan hanya membeli obat di apotik untuk meredakan rasa sakitnya.
Lama-kelamaan, kondisi ini semakin parah, sampai-sampai Rohani tak mampu berjalan. Pada 2009, dia harus dirawat di rumah sakit karena sakitnya itu.
Sejak itu, berat badan Rohani mulai menyusut — dari sekitar 52 kilogram menjadi 33 kilogram. Dia menjadi susah bergerak, bahkan tidur pun harus dengan posisi setengah duduk.
"Nggak bisa makan ini itu, cuma makan untuk minum obat saja," imbuh Rohani. "Sudah lumpuh ini, tidak bisa jalan lagi."
Baca juga: Vaksinasi Massal Penyandang Disabilitas Usia 18 Tahun Digelar di Surabaya, Target 900 Peserta
Saat masih sehat dan sibuk dengan kegiatan sekolah, Rohani mengaku tak punya waktu untuk melakukan hobi ini.
"Karena suntuk, ya coba-coba saja, biar tidak ingat [dengan] sakitnya," lanjutnya.
Rohani menggunakan berbagai media lukis, dari sketsa dengan pensil, lukisan dengan cat di atas kanvas, hingga lukisan dari kain perca.
Untuk yang terakhir ini, dia mengaku belajar dari seorang seniman di Jawa, yang dikenalnya melalui Facebook.
"Di Aceh, mungkin baru saya yang bikin lukisan dari kain perca ini. Namanya lukisan gombal," jelas Rohani.
Pada 2015, Rohani mengaku mulai aktif melukis dan menjual hasil karyanya. Satu lukisan sketsa dihargai Rp 50.000, sementara sebuah lukisan perca dibanderol harga Rp 2-3 juta.
Baca juga: Warga Disabilitas di Babel Antusias Divaksin, Pulangnya Bawa Paket Sembako
Meski, kata dia, konsumen musti bersedia menunggu agak lama untuk menikmati hasil lukisan Rohani. Karena kondisinya, Rohani hanya mampu melukis selama kira-kira dua jam per hari.
"Karena saya tidak bisa duduk lama-lama. Kadang dua, tiga jam saja duduknya. Kalau melukis kan harus menunduk, ini bahu sakit," terangnya.
"Kalau misalnya sehat, pasti satu hari sudah selesai."
Maka, untuk menyelesaikan satu buah lukisan sketsa, Rohani membutuhkan waktu tiga sampai empat hari, sementara lukisan perca baru bisa kelar dalam waktu dua bulan.
Baca juga: 100 Penyandang Disabilitas di Jombang Mulai Ikuti Vaksinasi Covid-19
"Lebih apa ya, ingin lebih banyak yang memesan lukisan saya… dan ada yang suka dengan seni saya ini," harap Rohani.
Kaena sakit yang dideritanya, tidur pun Rohani harus di posisi setengah duduk.
Keinginan sederhana ini, lanjut dia, demi membantu mencukupi kebutuhan harian keluarganya.
Selama hampir dua tahun pandemi ini, meski tak ada pesanan, Rohani mengisi waktu dengan menyelesaikan tiga karya lukisan berukuran besar.
Baca juga: 100 Penyandang Disabilitas di Jombang Mulai Ikuti Vaksinasi Covid-19
Salah satu yang pernah membeli lukisan Rohani adalah Maimun. Menurutnya, sebagai seorang yang menyandang disabilitas, "Karya Rohani sangat luar biasa."
Maimun memesan sketsa lukisan kepada Rohani untuk acara pernikahan — lukisan itu dipajang di pintu masuk rumah untuk menyambut para tetamu.
"Kalau kita bicara orang yang normal dengan karya seperti itu, itu saja luar biasa. Ini, kita bicara tentang orang dengan keterbatasan [namun karyanya] seperti itu. Jauh di atas luar biasa menurut saya," kata Maimun.
Baca juga: Dijanjikan Dapat Bansos Rp 3,6 Juta, Sejumlah Penyandang Disabilitas Kota Serang Kena Tipu
"Kalau ingin menderma kan bisa ke masjid, banyak orang lain yang bisa menerima, alasan saya ambil karya beliau ya karena memang bagus, layak untuk dipesan. Kalau masalah disabilitas itu nomor sekian."
Jatuh hati dengan hasil karya Rohani, Maimun pun berencana memesan sketsa keduanya. Kali ini gambar dirinya, istri, dengan anaknya.
Selain berdampak pada perekonomian keluarganya, tak banyak yang berubah dalam kehidupan Rohani karena pandemi Covid-19.
Ia jarang bepergian ke luar rumah, sebutnya, yang menjadi alasan dirinya tak mendaftar program vaksinasi.
"Enggak mungkin kena [Covid], di rumah saja ini, hanya melukis saja," kilah Rohani.
Di Aceh Utara sendiri, capaian vaksinasi masih tergolong rendah. Hingga akhir Juli 2021, menurut Dinas Kesehatan Aceh Utara, baru sekitar 13% warga yang sudah divaksin.
*Hidayatullah, wartawan di Aceh, berkontribusi untuk liputan ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.