Joko secara sukarela menjadi guru honorer dan mengajar agama di SMKN 13 Bungo.
Dia mengajar sejak 2013 hingga 2020.
Joko terpaksa berhenti mengajar karena kakinya sakit akibat diabetes.
Untuk mempromosikan sekolah baru itu, Joko sempat berjalan kaki berkeliling desa dan memberikan sosialisasi dari rumah ke rumah.
Joko pun rela dengan jumlah bayaran yang diberikan, karena niat untuk mengabdi.
"Dari mulai honor sebulan Rp 50.000. Setelah 2015, per jamnya satu pelajaran Rp 6.000. Sekarang Rp 15.000 per jam," kata dia.
Sejak awal, Joko memang menginginkan jurusan multimedia di sekolah itu, demi menciptakan sumber daya manusia yang mumpuni.
Meski demikian, Joko mengakui bahwa banyak yang berkomentar miring terhadapnya.
Apalagi, banyak yang meragukan kemampuan sekolah multimedia di tengah dusun yang sulit mendapatkan sinyal internet.
Ma'as mengatakan, kondisi di dusunnya banyak yang berubah setelah adanya SMK 13 Bungo.
Salah satunya, jumlah pengangguran yang berkurang.
"Karena banyak pekerjaan sekarang minimal harus pendidikan tingkat SMA. Jadi kepala desa saja minimal SMA," kata Ma'as.
Menurut pria yang selalu disapa Datuk Ma'as ini, nama dusun mereka pun menjadi harum.
Banyak warga yang terkendala biaya untuk pendidikan, namun terselamatkan berkat kehadiran SMKN 13 Bungo.
Namun, dia mengakui bahwa memang banyak yang harus dibenahi, termasuk fasilitas sekolah, khususnya sarana telekomunikasi dan internet.
Hendra Novera selaku Kepala SMKN 13 Bungo mengakui bahwa kondisi sekolah belum mendukung untuk proses belajar mengajar.
"Misalnya untuk informasi kelengkapan surat-surat yang harus dikirim ke Jambi, itu kami terlambat dapat informasinya," kata Hendra.
Selain itu, para murid tidak bisa belajar secara daring atau online.
"Untuk mencari sumber materi dan sumber pelajaran juga sulit jadinya, seperti men-download materi dan sebagainya," ungkap Hendra.